Gagasan profetik Kuntowijoyo berpijak pada tiga elemen utama: humanisasi (ta’muru bil ma’ruf), liberasi (tanhawna ‘anil munkar), dan transendensi (tu’minu billah). Konsep ini berakar dari Al-Qur’an Surah Ali Imran: 110: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah”. Konsepsi Kuntowijoyo diderivasikan dari tiga elemen yang Allah sebut sebagai prasyarat umat terbaik tersebut.
Menurut Kuntowijoyo, Amar Ma’ruf (menyuruh kepada yang baik) tidak hanya berada dalam konteks individual, melakukan kebaikan pada sesama. Ia harus ditransformasikan dalam konteks sosial budaya. Kuntowijoyo menafsirkannya sebagai emansipasi manusia kepada fitrah-nya: pada posisinya sebagai makhluk yang mulia. Inilah yang ia sebut sebagai humanisasi teosentris: kembalinya manusia pada fitrahnya sebagai makhluk Allah yang diberi tanggung jawab untuk mengelola bumi. Humanisasi berarti menebar kebaikan dengan titik pijak keadilan. Misi humanisasi adalah menempatkan manusia sebagai khalifatullah fil ‘ardli, pemimpin di muka bumi, yang mesti menjalankan misi keadilan. Upaya-upaya rekonstruksi ini perlu dijalankan dalam konteks sosial-budaya, termanifestasi dalam ruang-ruang publik yang konkret, dan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Sementara itu, Nahyi Munkar (mencegah kemunkaran) juga tidak bisa hanya dimaknai dalam kerangka individual. Secara sosial, nahyi munkar berarti pembebasan manusia atas penindasan dari manusia lainnya, pembebasan dari segala bentuk kegelapan (zhulumat), kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dsb. Juga pembebasan manusia atas kezaliman yang dilakukan oleh manusia lainnya. Artinya, konsep nahyi munkar memiliki implikasi gerakan dan struktural. Spirit pembebasan ini banyak ditemui dari puisi-puisi Kuntowijoyo, sebagaimana penulis kutip di atas: “Karena kakiku masih di bumi Hingga kejahatan terakhir dimusnahkan Hingga para du’afa dan Mustada’afin diangkat Tuhan dari penderitaan”.
Dalam pelbagai tulisannya, Kuntowijoyo juga banyak memberikan kritik-kritik sosial atas realitas yang ada. Ia banyak melihat kondisi sejarah sosial Indonesia yang diwarnai oleh praktik-praktik eksploitasi kapital. Potret penindasan ini muncul dalam bentuk oligarki antara pemodal besar dengan negara yang kemudian menyebabkan akses rakyat kecil atas ekonomi menjadi terhambat. Ia menyebutnya sebagai dhuafa dan mustadh’afin. Pembebasan juga perlu dilakukan pada praktik kezaliman ekonomi seperti ini. Spirit Marx atas pembebasan manusia dari keterasingan juga senada dengan konsepsi beliau tentang pembebasan.
Adapun tu’minu billah berarti pengembalian segala sesuatu pada hakikatnya yang paling mendasar: tauhid. Pada titik inilah gagasan ilmu sosial profetik menjadi penting. Gagasan tauhid tidak hanya berada pada level teologis, tetapi juga harus diterjemahkan melalui langkah-langkah sosial konkret. Konsep transendensi ini dapat dibaca melalui konsep tauhid sosial yang digagas Amien Rais dan Teologi Al-Ma’un yang dicanangkan KH. Ahmad Dahlan.
Wacana tauhid sosial mengejawantahkan tauhid dalam semua dimensi kehidupan. Menurut Amien Rais, Tauhid Sosial merupakan dimensi sosial dari konsep tauhid (pengesaan Allah secara mutlak), agar konsepsi tauhid yang telah terintegrasi di pola pikir umat Islam dapat dipraktikkan pada tataran masyarakat.Implikasi yang diharapkan dari Tauhid Sosial ini adalah munculnya manusia-tauhid (meminjam istilah Amien Rais, lihat Muzakki, 2004) yang mampu berpikir secara arif dengan landasan tauhid dan syariah. Tauhid harus ditransformasikan dalam bentuk akhlak dan etika sosial. Dalam konteks sosial-politik, etika tersebut tidak hanya diwujudkan dalam aktivitas berinteraksi dengan individu, tetapi juga dalam ruang-ruang publik. (Amien Rais, 1997).
Sementara itu, KH. Ahmad Dahlan memperkenalkan cara berpikir yang sederhana: mengamalkan perintah Allah dalam Al-Qur’an secara nyata. Dalam konteks ini, Kyai Dahlan mengajarkan murid-muridnya Surah Al-Ma’un secara berulang-ulang. Sudah barang tentu, murid-muridnya bertanya. . Kyai Dahlan kemudian mengajak murid-muridnya ke pasar dan membeli kebutuhan hidup sehari-hari mereka, lantas pergi ke tempat orang-orang miskin dan memberikan barang-barang tersebut kepada mereka. Tak cukup sampai di situ, Kyai Dahlan juga mengajak murid-muridnya untuk memelihara anak-anak yatim yang miskin, sebagaimana dipesankan dalam surah Al-Ma’un tersebut.
Ada satu semangat yang bisa ditangkap dari kisah sederhana tersebut. Kyai Dahlan mengajak kita untuk mengejawantahkan ajaran tauhid dan ayat-ayat Al-Qur’an dalam bentuknya yang sangat praksis dan implementatif, yaitu pengamalan nyata. Bentuk inilah yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai “Gerakan Sosial Muhammadiyah”.(Kuntowijoyo, 2008).
Menafsirkan Kuntowijoyo: Konteks Indonesia Kontemporer
Sebetulnya, gagasan Kuntowijoyo memiliki banyak relevansi dengan konteks Indonesia kontemporer. Saya akan melihat satu fakta saja dalam masalah Indonesia, yaitu adanya arus globalisasi yang tidak hanya memberi dampak positif bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga memberi dampak-dampak sosial negatif di semua aspek.
Kita sedang berada di era globalisasi. The world is flat, kata Thomas Friedman, seorang kolumnis di New York Times. Arus globalisasi yang dicirikan oleh “interconnectedness” –kata Martin Wolf— atau “distanciation” –menurut Anthony Giddens— menjadi tak lagi terhindarkan di seluruh pelosok dunia.
Serbuan-serbuan kultural tak ayal masuk ke generasi muda . Kita menghadapi problem yang cukup serius: mulai memudarnya sinyal religiusitas dalam masyarakat dunia, terutama di kalangan generasi muda. Berbicara mengenai globalisasi, maka akan berbicara pula mengenai fenomena sosial-budaya yang melintasi batas negara, mengakibatkan perubahan-perubahan sosial di berbagai aspek. James Rosenau, pakar Hubungan Internasional di George Washington University, telah memberikan dua kata kunci yang menentukan arah geraknya yang begitu luas ke berbagai penjuru dunia: integrasi dan fragmentasi.
Hal tersebut, jika kita tafsirkan secara lebih luas, dapat berarti bahwa globalisasi memiliki karakteristik “menyatukan aspek-aspek sosial ke dalam sebuah standard baru” dan memfragmentasikan standard tersebut ke berbagai penjuru dunia”. Implikasinya, terjadi perubahan kultural dan sosial. Globalisasi memiliki dua sisi. Di satu sisi, globalisasi membuat kemajuan teknologi dapat dirasakan oleh semua orang. Namun, di sisi lain globalisasi juga punya dampak sosial yang tak terelakkan bagi kehidupan.
Dalam era globalisasi, kondisi yang fragmentaris tersebut menimbulkan dampak negatif berupa perluasan dimensi dan lokus konflik. Maraknya gerakan transnasional serta pemahaman-pemahaman keagamaan yang bertabrakan dengan garis pemahaman yang sudah pakem –dalam bentuk radikalisme agama dan liberalisme pemikiran keamaan juga membuat adanya konflik yang sama di tempat yang berbeda.
Problem lain adalah munculnya hegemoni dalam politik internasional yang mengatur order yang ada. Proses globalisasi pada perkembangannya bukan sebuah proses yang bebas nilai. Ia adalah sebuah jelmaan kepentingan dari kekuatan politik dan ekonomi yang mendominasi tata dunia saat ini. Proses globalisasi menawarkan nilai baru yang secara kultural berpotensi menggerus lokalitas dan tatanan baku yang ada. Jika tidak dihadapi, proses globalisasi akan berbenturan dengan upaya mempertahankan tradisi dan paham keagamaan. Globalisasi akan membentur nilai tradisi dan lokalitas yang ada, dan yang paling rawan terkena ekses ini adalah generasi muda. Pendeknya, kita akan melihat tidak hanya transformasi sosial progresif dalam bentuk kemajuan teknologi, tetapi juga keruntuhan budaya.
Gagasan Kuntowijoyo yang cukup relevan dalam melihat masalah ini adalah gagasan mengenai strategi budaya. Semua proses sosial, baik itu yang terjadi secara vertikal (dari negara ke masyarakat) maupun horisontal (antarmasyarakat) mesti memperhatikan nilai budaya. Kebijakan penanaman modal asing, misalnya, tidak hanya berdampak pada kondisi ekonomi-politik, melainkan juga punya ekses sosial-budaya. Kita dapat melihat banyaknya pertambangan yang mengalami konflik dengan petani dan masyarakat lokal karena menabrak rambu-rambu tradisi. Atau, persoalan pemiskinan struktural yang terjadi akibat negara memfasilitasi praktik-praktik akumulasi kapital. Tentu saja, ini memerlukan strategi kebudayaan dari semua pihak.
Strategi kebudayaan harus dimulai dari penghargaan atas nilai-nilai tradisi yang ada. Kebudayaan modern harus pula mempertimbangkan tradisi yang ada. Kuntowijoyo menyebut beberapa warisan tradisi di Sumatera, seperti Aceh, yang melihat al-malik al-adl sebagai sebuah konsep kepemimpinan yang adil. Pemimpin tidak harus demokratis, tetapi ia harus mampu mengayomi masyarakatnya dan bersikap adil tanpa pandang bulu. Atau, simbol-simbol kebudayaan di Jawa pada konsep “ngelmu” sebenarnya memiliki keterkaitan dengan cara hidup yang menyeluruh, menjadi panduan sederhana untuk menuntut ilmu apapun. Konsep seperti ini jika dihilangkan tidak hanya akan menggerus dasar kebudayaan, tetapi juga akan berpengaruh pada degradasi moral.
Ilmu Sosial Profetik sebagai Alat Transformasi Sosial
Kuntowijoyo memformulasikan konsep transformasi sosialnya ke dalam empat tahapan berikut: Dari teologi, bertransformasi ke dalam filsafat sosial, perumusan teori sosial, lalu perancangan agenda perubahan sosial. Dengan logika berpikir tersebut, Prof. Kunto ingin menyatakan pada semua aktivis gerakan, bahwa tidak mungkin berpikir melompat dari basis ideologi yang paling mendasar lantas langsung berpikir untuk menghadirkan perubahan sosial instan.
Perlu ada ketepatan pembacaan makro dan filosofis atas realitas sosial. Setelah pembacaan makro, perlu ada upaya untuk merumuskan teori dan aplikasi konkret dari pembacaan makro tersebut. Bagaimana caranya? tentu saja melalui riset-riset empiris yang dilakukan secara langsung. Sadar atau tidak, strategi perubahan sosial yang dirancang oleh banyak gerakan kontemporer cenderung melupakan perumusan teori sosial. Kita kadang terlalu asyik dalam pembahasan mengenai dikotomisasi mengenai Islam dan Barat dalam tataran normatif seperti referensi atau kerangka berpikir, tetapi melupakan rancangan metodologis.
Memang, kita sangat perlu membedakan cara berpikir “ala Barat” dengan “ala Islam” dalam tataran epistemologis. Akan tetapi, apakah kita harus menghabiskan waktu hanya untuk berdebat dalam soal-soal filsafat ilmu an sich? Mengapa kita tidak segera beranjak ke tahapan selanjutnya, yaitu perumusan teori sosial, jika cara pandang mengenai kebenaran kita sudah bersifat final?
Pada titik inilah gagasan ilmu sosial profetik (ISP) relevan diangkat. Menurut Azmy Basyarahil, ISP tidak hanya berhenti pada usaha menjelaskan realitas sosial. Tetapi, bergerak lebih jauh dengan mentransformasikannya menuju cita-cita masyarakat. ISP merumuskan tiga nilai penting sebagai pijakan, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi.
Sumber : www.bungsucikal.com