Tampilkan postingan dengan label Pemikiran Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemikiran Islam. Tampilkan semua postingan

Peran Intelektualitas Ikatan

Sejarah Berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah merupakan bagian dari AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah) yang merupakan organisasi otonom dibawah Muhammadiyah. Sesungguhnya ada dua faktor integral yang melandasi kalahiran, yaitu faktor intem dan fakor ekstem. Faktor Intem Dimaksudkan yaitu faktor yang terdapat didalam Diri Muhammadiyah itu sendiri, sedangkan fakor ekstern adalah faktor yang berawal dari luar Muhammadiyah, khususnya umat Islami Indonesia dan pada umumnya adalah seluruh umat dunia.
Faktor intern, sebenarnya lebih dominan dalam bentuk motivasi idealismse, yaitu motif untuk mengembangkan ideologi Muhammadiyah, yaitu faham dan cita cita Muhammadiyah bahwa Muhammadiyah pada hakekatnya adalah sebuah wadah oraganisasi yang punya cita-cita atau tujuan yakni menegakkan dan menjunjung tinggi agama islam , sehingga terwujud masyarakat Utama, adil dan makmur yang diridloi oleh Allah SWT. Hal ini termaktub dalam AD Muhammadiyah Bab II pasal 3. dan dalam merefleksikan cita-citanya ini, Muhammadiyah mau tidak mau harus bersinggungan dengan masyarakat bawah (jelata) atau masyarakat heterogen. Ada masyarakat petani, pedagang, peternakan dan masyarakat padat karya dan ada masyarakat administratif dan lain sebagainya yang juga termasuk didalamnya masyarakat kampus atau intelektual yaitu Masyarakat Mahasiswa.
Persinggungan Muhammadiyah dalam maksud dan tuiuannya, terutama terhadap masyarakat mahasiswa, secara teknisnya bukan secara langsung terjun mendakwahi dan mempengaruhi mahasiswa yang berarti orang-orang Mahasiswa, khususnya para mubalighnya ya langsung terjun ke mahasiswa. Tapi dalam hal ini Muhammadiyah memakai teknis yang jitu yaitu dengan menyediakan wadah yang memungkinkan menarik animo atau simpati mahasiswa untuk, memakai fasilitas yang telah disiapkan. Pada mulanya para mahasiswa yang bergabung atau yang mengikuti jejak-jejak Muhammadiyah oleh Muhammadiyah dianggapnya cukup bergabung dalam organisasi otonom yang ada dalam Muhammadiyah, seperti Pemuda Muahmmadiyah (PM) Yang diperuntukkan pada mahasiswa dan Nasyi'atul Aisyiyah (NA) untuk mahasisiwi Yang lahir pada 27 Dzulhijjah 1349 H (NA) dan pemuda pada tanggal 25 Dzulhiijjah 1350 H.
Anggapan Muhammadiyah tersebut lahir pada saat-saat Muhammadiyah bermuktamar ke-25 di Jakarta pada tahun 1936 Yang pada saat itu dihembuskan pula cita-cita besar Muhammadiyah untuk mendirikan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) dan pada saat itu pula Pimpinan Pusat (PP) Yang dipegang oleh KH. Hisyam (periode 1933-1937). Dan pada dikatakan bahwa anggapan dan pemikiran mengenai perlunya menghirnpun mahasiswa Yang sehaluan dengan Muhammadiyah yaitu sejak konggres ke-25 tersebut. Namun demikian keinginan untuk menghimpun dan membina mahasiswa Muhammadiyah pada saat itu masih vakum, karena pada waktu itu Muhammadiyah masih belum memiliki Perguruan Tinggi seperti Yang diinginkannya sehingga para mahasiswa Yang berada di Perguruan Tinggi lain baik negeri ataupun swasta Yang sudah ada pada waktu itu secara ideologi tetap berittiba' pada Muhammadiyah dalmn kondisi tetap mereka harus mau bergabung dengan PM, NA ataupun Hizbul Wathon (HW).
 Pada perkembangan keberadaan mereka yang berada dalam ketiga organisasi otonom tersebut merasa perlu adanya perkumpulan khusus mahasiswa Yang secara khusus anggotanya terdiri dari mahasiswa Islam. Alternatif yang mereka pilih yaitu bergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). bahkan ada image waktu itu yang menyatakan bahwa HMI adalah anak Muhammadiyah Yang diberi tugas khusus untuk membawa mahasiswa dalam misi dan visi yang dimiliki oleh Muhammadiyah, karena waktu itu ditubuh HMI sendiri dipegang oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah yang secara aktif mengelola HMI. Pada waktu itu Muhammadiyah secara kelembagaan turut mengeloia HMI baik dari segi moral ataupun material, sampai belakangan ini menurut data-data Yang ada di PP Muhammadiyah menyatakan bahwa Muhammadiyah (terutama PTM dan RS Sosial) secara, materiil turut membiayai hampir setiap aktifitas HMI baik mulai dari tingkat konggres sampai aktifitas sehari -hari. Disinilah sekali lagi bukan.HMI yang turut menelorkan tokoh-tokoh Muhammadiyah tapi sebaliknya bahwa Muhammadiyah yang dulu ikut aktif membesarkan HMI.
PP Pemuda Muhammadiyah yang oleh PP Muhammadiyah dan Muktamar ke-I di Palembang (1956) dibebani tugas untuk menampung aspirasi aktif para Mahasiswa Muhammadiyah, segera membentuk Study Group yang khusus Mahasiswa yang berasal dari Malang, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Padang, Ujung Pandang dan Jakarta. Menjelang Muktamar Muhammadiyah setengah abad di Jakarta tahun 1962 mengadakan kongres Mhasiswa Muhammadiyah di Yogyakarta dan dari kongres ini semakin santer upaya para tokoh Pemuda untuk melepaskan Departemen Kemahasiswaan untuk berdiri sendiri. Pada 15 Desember 1963 mulai diadakan pejajagan dengan didirikannya Dakwah mahasiswa yang dikoordinir oleh : Ir. Margono, Dr. Sudibjo Markoes dan Drs. Rosyad Saleh. Ide pembentukan ini berasal dari Drs. Moh. Djazman yang waktu itu sebagai Sekretaris PP Pemuda Muhammadiyah. Dan sementara itu desakan agar segera membentuk organisasi khusus mahasiswa dari berbagai kota seperti Jakarta dengan Nurwijo Sarjono MZ. Suherman, M. yasin, Sutrisno Muhdam, PP Pemuda Muhammadiyah dll-nya. Akhirnya dengan restu PP Muhammadiyah waktu itu diketuai oleh H.A. Badawi, dengan penuh bijaksana dan kearifan mendirikan organisasi yang khusus untuk Mahasiswa Muhammadiyah yang diketuai oleh Drs. Moh. Djazman sebagai koordinator dengan anggota M. Husni Thamrin, A. Rosyad Saleh, Soedibjo Markoes, Moh. Arief dll.
Jadi Pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan pencetus nama IMM adalah Drs. Moh. Djazman Al-kindi yang juga merupakan koordinator dan sekaligus ketua pertama. Muktamar IMM yang pertama pada 1-5 Mei 1965 di kota Barat, Solo dengan menghasilkan deklarasi yang dibawah ini. IMM adalah gerakan Mahasiswa Islam. Kepribadian Muhammadiyah adalah Landasan perjuangan IMM Fungsi IMM adalah sebagai eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah (sebagai stabilisator dan dinamisator).
Ilmu adalah amaliah dan amal adalah Ilmiah IMM. IMM adalah organisasi yang syah-mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan dan falsafah negara yang berlaku.Amal IMM dilakukan dan dibaktikan untuk kepentingan agama, nusa dan bangsa.
Faktor Ekstern, yaitu sebagaimana Yang tersebut diatas baik Yang terjadi ditubuh umat Islam sendiri ataupun yang terjadi didalam sejarah pergolakan bangsa Indonesia. Yang terjadi dimasyarakat Indonesia pada zaman dahulu hingga sekarang adalah sama saja, yaitu kebanyakan mereka masih mengutamakan budaya nenek moyang yang mencerminkan aktifitas sekritistik dan bahkan anemistik yang bertolak belakang dengan ajaran Islam murni khususnya dan tidak lagi sesuai dengan Perkembangan zaman. Hal semacam ini memunculkan signitifitasi (bias) yang begitu besar, utamanya pada kalangan mahasiswa Yang memiliki kebebasan akademik dan seharusnya memiliki pola pikir yang jauh, namun karena dampak budaya masyarakat yang demikian membumi, mereka akan menjadi jumud dan mengalami kemunduran.
Pergolakan OKP (Organisasi Kemasyarakatan Pemuda) atau Organisasi Mahasiswa periode 50 sampai 65-'an terlihat menemui jalan buntu untuk mempertahankan indpendensi mereka dan partisipasi aktif dalam pasca Proklamasi (era kemerdekaan) RI. hal ini terlihat sejak pasca Konggres Mahasiswa Indonesia pada 8 Juli 1947 di Malang Jawa Timur, yang terdiri dari HMI, PMKRI, PMU, PMY, PMJ, PMKH, MMM, SMI, yang kemudian berfusi (bergabung) menjadi PPMI (Perserikatan Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia). PPMI pada mulanya tampak kompak dalam menggalang persatuan dan kesatuan diantara mahasiswa, namun sejak PPMI menerima anggota baru pada tahun 1958 yaitu CGMI yang berkiblat dan merupakan anak komunis akhirnya PPMI mengalami keretakan yang membawa kehancuran. PPMI secara resmi membubarkan diri pada Oktober 1965.
Sebenamya PPMI sebelum membubarkan diri, sekitar tahun 1964-1965 masing-masing organisasi yang berfusi dalam PPMI itu saling berkompetisi dan sok revolosioner untuk merebut pengaruh para penguasa waktu itu, termasuk juga Bung Karno Yang tak luput dari incaran mereka. Hal ini diakibatkan karena masuknya CGMI kedalam PPMI yang seakan mendapatkan legitimasi dari pihak penguasa waktu itu sehingga CGMI (PKI) terlihat besar. HMI pun saat itu juga merevolosionerkan diri menjadi sasaran CGMI (PKI), sehingga HMI hampir rapuh akibat ulahnya sendiri, karena pada saat itu PKI merupakan partai terbesar dan pendukungnya selalu meneriakkan supaya HMI dibubarkan. HMI melihat kondisinya yang rawan tidak tinggal diam, dengan segala upaya untuk mengembangkan sayap dan memperkokohnya, HMI kembali berusaha mendapatkan legitimasi kesana-kemari untuk menangkal serangan dari PKI yang berusaha membubarkannya.
Pada saat HMI semakin terdesak itulah IMM lahir, yaitu pada tanggal 14 Maret 1964. Salah satu faktor historisnya adalah untuk membantu eksistensi HMI agar tidak mempan atas usaha-usaha yang akan membubarkannya. Sekali lagi bahwa kelahiran IMM untuk membantu dan turut Serta mempertahankan HMI dari usaha- usaha komunis yaitu PKI Yang akan membubarkannya dan sesuai dengan sifat IMM itu sendiri yang akan selalu bekerjasama dan saling membantu dengan saudaranya (saudaranya seaqidah Islam) dalam upaya beramar ma'ruf nahi mungkar Yang merupakan prinsip perjuangan IMM.  Dan sekarang kita telah tahu bahwa IMM lahir memang merupakan suatu kebutuhan Muhammadiyah dalam mengembangkan sayap dakwahnya dan sekaligus merupakan suatu aset bangsa untuk berpartisipasi aktif dalam kemerdekaan ini.Karena IMM merupakan suatu kebutuhan intern dan ekstern itu pulalah, maka tokoh-tokoh PP Pemuda Muhammadiyah yang berawal dari HMI kembali keIMM sebagai anak atau ortom.
Pergerakan mahasiswa kian hari terus bergeliat menunjukkan eksistensinya sebagai agen sosial of change, Soekarno (1966) dan Soeharto (1998) lengser oleh gerakan mahasiwa. Keduanya dimakzulkan dengan alasan telah melanggar konsitusi. Kiprah mahasiswa sebagai pionir perubahan dalam mewujudkan ide dasar negara sesuai dengan konstitusi menempatkan mahasiswa sebagai kelompok masyarakat yang disegani. Setidaknya mahasiswa memiliki peran ganda, yaitu sebagai insan akademik (intelektual) dan agen perubahan sosial. Kedua kiprah tersebut dijalankan oleh setiap mahasiswa sebagai wujud pengabdian terhadap bangsa.
Dalam perjalanannya, gerakan mahasiswa tidak terlepas dari perubahan seiring dengan perubahan kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik tanah air. Terutama perubahan orientasi gerakan. Semula gerakan mahasiswa menyuarakan suara hati nurani rakyat yang mengacu pada terpenuhinya kepentingan dan kesejahteraan rakyat, kini hampir beralih orientasi pada keuntungan pribadi dan elit tertentu. Dalam perkataan lain, gerakan mahasiswa tidak lagi murni gerakan ideologis, melainkan gerakan yang ditunggangi kepentingan tertentu. Sehingga sering terjadi sebuah gerakan yang mengarah pada tindakan yang tidak pantas dilakukan oleh mahasiswa sebagai insan akademik dan agen perubahan sosial.
Memasuki era Reformasi yang sudah menginjak umur ke -13 tahun, ternyata bukan hanya gerakan kemahasiswaan saja yang sudah keluar dari jalur yang sebenarnya,  pemerintah pun belum juga menunjukkan pergerakan ke arah perbaikkan. Sistem pemerintahan yang digulirkan justru sangat membingungkan. Tiga elemen negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) saling sikut dan saling bantai sehingga keadaan negara semakin semrawut. Keadaan itu semakin diperparah dengan kondisi sosial masyarakat yang tidak stabil. Masyarakat  awam dibuat bingung dengan parodi politik para pejabat negara yang satu persatu menyusul “mesantren” di LP, mulai dari pejabat pemerintah, anggota dewan, penegak hukum, bahkan para elit politik pun seperti tidak mau ketinggalan. Tidak hanya itu, sistem ekonomi neo-liberalisme kepitalisme yang dijalankan pemerintah saat ini juga semakin memperparah kondisi bangsa kearah keterpurukan, yang mengakibatkan kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin kentara.
Belum usai masalah kebangsaan, ummat Islam semakin resah dengan kembali menghangatnya isu NII KW 9 (Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah 9) yang mengatasnamakan agama untuk menghancurkan agama, masyarakat semakin was-was terhadap gerakan yang satu ini, mereka takut jika anak-anak mereka ikut kedalam gerakan ini. Yang menjadi aneh adalah pemerintah seolah tak mau tahu, atau mungkin pura-pura tak tahu terhadap permasalahan ini. Tidak ada penanggulangan yang dilakukan, untuk setidaknya menelusuri dan menindak keberadaan NII KW 9 yang sekarang sudah menjadi rahasia umum lagi. Data-data sudah di depan mata, tapi apa mau dikata, kalau niat memang tidak ada. Ditambah lagi, Muhammadiyah sebagai Ormas Islam modern terbesar di Indonesia yang sejatinya memiliki tujuan menegakkan dan menjungjung tinggi ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya (Roni, 2010), justru ikut memperuncing keadaan, hal ini terlihat pada Musyawarah Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat yang diadakan di Tasikmalaya awal tahun ini. Salah seorang kader Muhammadiyah terpilih menjadi Ketua PWM Jawa Barat, tetapi setelah ditelusuri, ternyata kader tersebut melakukan kecurangan dengan adanya indikasi money politik. Maka semakin kompleks saja pemasalahan bangsa ini.
Organisasi kepemudaan, yang di dalamnya terdapat IMM, diharapkan menjadi jawaban nyata terhadap berbagai permasalahan bangsa. Sekali lagi, harapan itu belum dapat terwujud untuk waktu sekarang ini, karena IMM, dalam hal ini merupakan kader intelektual Muhammadiyah, belum mampu untuk berbuat kesana, pergerakan IMM masih cenderung ekslusif pada kader-kader di bawahnya saja, itupun masih tertaih-tatih. Pergerakan IMM belum mampu menyentuh keruang publik, baik itu ke intern Muhammadiyah sebagai organisasi induk, ataupun pada masyarakat secara umum. Kegiatan yang dilakukan hanya sebatas kajian-kajian tanpa pergerakan adapun kegiatan yang bersifat actuating, itupun masih dalam lingkup kader saja.  
Terkait dengan hal di atas, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sebagai salahsatu pionir gerakan mahasiswa di tanah air hendaknya tetap berpegang pada landasan organisasi dan mulai berbenah diri. Menata kembali arah gerakan supaya tidak terbawa pusaran arus yang menyesatkan. Reorientasi gerakan pada yang lebih baik mutlak harus dilakukan sejak dini. Tanpa hal itu Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah hanya tinggal nama yang kerap dibanggakan sebagai kejayaan masa lalu. Pembenahan yang pertama harus dilakukan adalah melakukan kaderisasi yang berkualitas dengan mendasarkan pada tri kompetensi kader yang meliputi intelektualitas, humanitas dan spiritualitas. Intelektualitas dapat mengantarkan kader menjadi insan akademik yang berpola pikir rasional dalam mengahadapi setiap permasalahan. Humanitas mendorong kader menjadi pendamping masyarakat dan melatih kepekaan sosial terhadap sesama. Dan spiritualitas membentuk kepribadian kader yang moralis dengan dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah harus menjadi pionir gerakan moral rasional yang membawa perbaikan bagi bangsa. Sebuah gerakan perubahan yang berdasarkan prinsip menjunjung tinggi moralitas, demokrasi, dan pluralisme dalam bingkai integrasi. Mudah-mudahan ini dapat terwujud sebagai bagian dari pelaksanaan tri fungsi kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Kader persyarikatan, kader keumatan dan kader kebangsaan.
Sebagai kader persyarikatan, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi otonom di bawah Muhammadiyah yang memiliki tujuan mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam ranka mencapai tujuan Muhammadiyah (Tanfidz keputusan Muktamar, 2010) yang merupakan kader intelektual bagi Muhammadiyah. Oleh karena itu, sudah sewajarnya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah menjadi sebuah organisasi otonom yang bersifat kritis terhadap perkembangan yang ada dalam organisasi induknya, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah jangan hanya menjadi “anak baik”  yang mengiyakan setiap perkataan dan perbuatan induknya, tetapi harus menjadi sebuah katalisator yang dinamis menyuarakan perbaikan dalam tubuh Muhammadiyah. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah harus mendukung Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Sebagai organisasi Islam modern terbesar di Indonesia yang selama ini dikenal sebagai sebuah organisasi massa. Muhammadiyah lebih banyak berperan dalam tataran sosial keagamaan. Ribuan sekolah, ratusan Rumah Sakit, dan puluhan perguruan tinggi telah didirikan. Namun hal itu belum dapat berjalan sempurna jika ternyata kader-kadernya tidak memiliki akhlak yang mulia. Karena sudah kita ketahui bahwa Islam adalah agama yang menyempurnakan akhlak. IMM dengan intelektualitas yang dimilikinya, mesti memberikan konstribusi positif bagi perbaikan Muhammadiyah secara keseluruhan. Tidak sulit mencari pengurus Muhammadiyah yang ahli dalam bidang muamalah, sebaliknya akan sulit ditemukan pengurus Muhammadiyah yang memiliki kedalaman ilmu agama yang mumpuni. Justru itulah bekal penting yang harus dimilki oleh setiap kader Muhammadiyah dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam bidang keummatan, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah panjang pergerakan ummat Islam Indonesia yang begitu dinamis. Setelah hampir 1 abad Muhammadiyah berdiri, ternyata penyakit masyarakat, dalam hal ini TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Khurafat) masih saja merajalela. Penyakit TBC ini, menurut kalangan sejarawan, antara lain diakibatkan dakwah walisongo yang belum tuntas. Sehingga, kondisi masyarakat Islam kala itu masih seperti masyarakat Islam Mekah. Saat berada di Mekah, Nabi Muhammad saw baru memberi pemahaman tentang tauhid, mengenai Islam serta ajaran-ajarannya. Beliau masih membiarkan ummatnya mempraktekkan amalan-amalan lama pengaruh dari agama dan kebudayaan seetempat.
Sebagai misal, beliau masih membiarkan sebagian sahabat-sahabatnya mabuk-mabukkan, berjudi, dan seterusnya. Beliau baru meluruskan amalan-amalan yang tak sesuai dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam itu setelah berada di Madinah. Di Madinah ini pulalah beliau mlai menegakkan hukum-hukum Islam. Berbagai praktek yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam beliau luruskan, bahkan beliau terapkan pula sanksinya.
Hal yang demikian itu pulalah yang dilakukakn Walisongo ketika mengislamkan Tanah Jawa. Tugas itu tidaklah ringan, mengingat ajaran  animisme, Hindu, dan Budha sudah begitu mengakar. Agama Islam bisa diterima masyarakat para wali terpaksa menggunakan idiom-idiom budaya serta agama setempat. Misalnya saja pengguanaan gamelan untuk mengumpulkan masyarakat, bedug untuk menyeru masyarakat melaksankan shalat, selamatan untuk memperingati orang yang meninggal dunia, dan seterusnya. Para Walisongo belum sempat melaksanakan hukum Islam secara ketat sebagaimana Rasulullah SAW saat di Madinah. Penyakit TBC itu juga diperparah oleh kedatangan kaum penjajah. Mereka sengaja memelihara penyakit masyarakat itu. Tujuannya agar ummat Islam terninabobokan, tidak memberontak.
Ternyata ummat Islam terninabobokan sampai sekarang. Karena penyakit masyarakat itu tidak juga hilang samapi saat ini, tidak hanya itu, bahkan akidah ummat Islam pun sudah tergoyahkan dengan arus globalisasi yang semakin mencenngkram ummat ini. Ini merupakan penjajahan bentuk baru yang dialami ummat Islam Indonesia. Westrenisasi yang tak pandang bulu terus menghantam akidah ummat yang sedang goyah dengan kondisi sosial ekonomi yang yang tak karuan.  Hal itu semakin mengkerdilkan pemikiran ummat ini dengan antipati terhadap pembaruan yang positif. Maka makin betah saja ummat ini dengan perilaku ibadah mereka yang menyimpang ini.  Padahal KH.A Dahlan telah mengajarkan kepada kita “Semua ibadah diharamkan keculai ada perintah dan semua muammalah (masalah dunia) boleh dilakukan kecuali ada larangan.” Yang bermakna bahwa semua ibadah itu harus berdasarkan al-Quran dan Hadits (Sunnah Rasulullah SAW). Apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah tak perlu dikerjakan.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sebagai kader intelektual Muhammadiyah mesti menjadi Muhammad Darwis masa kini, yang dengan daya fikir kritisnya peka terhadap permasalahan yang terjadi di masyarakat. Memiliki pengetahuan agama yang luas dan mendalam, berani memberikan perubahan positif dalam kehidupan beragama dimasyarakat dengan cara yang santun dan tidak mendeskriditkan orang lain. Ada banyak orang di sekeliling kita yang masih melakukan ritual-ritual yang tidak perlu dalam menjalankan agama. Tugas IMM lah untuk memberikan pengertian Islam yang benar kepada masyarakat.
 Islam adalah suatu agama yang hidup dalam sebagian besar rakyat Indonesia. Bukan itu saja, Islam adalah suatu ideologi. Islam bukan semata-mata suatu agama dalam arti hubungan manusai dengan Tuhan. Islam mengandung dua unsur. Unsur hubungan manusia denga Tuhan-Nya dan manusai dengan dengan sesama makhluk. Unsur ibadah dan muamalah. Unsur yang kedua ini, yaitu unsur muamalah, meliputi kehidupan secara perseorangan, kehidupan secara kekeluargaan, dan kehidupan kenegaraan (M. Natsir dalam Kholid .O Santosa, 2006).
Disinilah IMM dituntut untuk bersikap inklusif pada masyarakat, Descartes mengatakan “Cogito ergo sum, aku berfikir maka aku ada”. IMM adalah gerakan Intelektual yang memiliki kelebihan dalam hal pola fikir dan daya fikir, tapi berfikir saja tidak cukup, tapi harus direalisasikan dalam sebuah wacana, dan diimplementasikan dalam sebuah gerakan. Gerakan yang dilakukan adalah gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang memberikan pencerahan pada masyarakat tentang ajaran Islam yang sebenarnya.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, selain sebagai kader persyarikatan, keumatan, juga memiliki kepentingan dalam bidang politik. Ini terlihat dari doktrin IMM yang terdapat dalam trifungsi kader, yaitu kader kebangsaan. IMM memiliki asas Islam yang berarti doktrin tauhid sebagai landasan pergerakan. Lambang IMM dengan jelas memberikan sinyal pada kita untuk berfastabiqul khairat dalam kehidupan dengan memegang teguh dua kalimat syahadat. Dimana dua kalimat syahadat itu dijadikan landasan gerak dalam tiap amal.
Selanjutnya, keterlibatan IMM dalam perpolitikan nasional bukan berarti IMM itu berafiliasi dengan salah satu partai politik, tetapi IMM justru menjadi kontrol terhadap jalannya perpolitikan nasional. IMM harus peka terhadap isu-isu kebangsaan yang terjadi di Indonesia sebagai langkah awal gerak IMM sebagai agen kontrol sosial bagi kepentingan masyarakat. IMM harus vokal menyuarakan kepentingan-kepentingan masyarakat bawah dan menjadi jembatan antara masyarakat dengan pemerintah sehingga terjadi harmonisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Artinya kader IMM harus masuk kedalam semua elemen masyarakat dengan tanpa memilih-milih. Dampaknya bahwa kader IMM harus memiliki keilmuan yang luas dan mendalam sebagai bekal untuk terjun langsung kemasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
A.Zakaria, Etika Hidup Seorang Muslim, Azka, Garut, 2003
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Rosdakarya, Bandung, 2000.
Ali Syari’ati, Pemimpin Mustadh’afin, Muthahhari Papperback, Bandung, 2002
DPP IMM, Tanfidz Keputusan Muktamar XIV IMM di Bandung, Jakarta 2010.
Heri Sucipto & Nadjamuddin Ramly, Tajdid Muhammadiyah, Grafindo, Jakarta, 2005
http://imm, kotabandung.blogspot.com/2010/01/imm-sebagai-gerakan-moral.html
Kholid. O Santosa, Mencari Demokrasi, Sega Asri, Bandung, 2006.
Roni Tabroni, Etika Politik Muhammadiyah, Ar Raafii, Bandung, 2010.

Pengembangan Pemikiran Islam


Harus jujur diakui, meski telah memproklamirkan sebagai gerakan modernis-substansialis di Indonesia, tetapi masih tampak kegagapan dan kegamangan Muhammadiyah dalam mengaitkan doktrin agama dengan persoalan publik. Seperti tampak secara jelas (sering) keterlambatannya dalam merespon persoalan-persoalan politik, sosial, dan budaya yang berkembang begitu cepat. Di sisi lain, bahkan ada kecenderungan Angkatan Muda Muhammadiyah tengah mengembangkan wacana intelaktual “formalisme Islam”, yang tampak seperti gerakan “back to salaf”, dan gerakan jilbabisasi yang marak di kampus-kampus Muhammadiyah.
Dari semula, paham keagamaaan Muhammadiyah selalu mengaitkan dan mempertautkan dimensi ajaran ke sumber al-Qur’an dan Sunnah yang shahih dengan dimensi ‘Ijtihad’ dan ‘Tauhid’ dalam satu kesatuan yang utuh. Ibarat sebuah mata uang logam, paham keagamaan tersebut memiliki dua permukaan, yakni dua sisi permukaan yang dapat dibedakan antara keduanya, tetapi tidak dapat dipisahkan. Begitu pula hubungan antara adagium ‘kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah’ pada satu sisi dengan adagium lain yakni ‘ijtihad’dan ‘tajdid’. Keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Jika keduanya sampai terpisah atau sengaja dipisahkan maka paham keagaman tersebut tidak layak lagi digunakan sebagai predikat paham keagamaan Muhammadiyah. Menurut Amin Abdullah, dalam studi agama-agama, pemahaman dan pendekatan yang bersifat utuh komprehenshif tersebut disebut pendekatan yang bersifat scientific cum doctrinaire.
Tetapi sekali lagi, selama ini Muhammadiyah telah terjebak dalam kubangan puritanisme yang akut, sehingga adagium ar-ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah hanya semata-mata terkait dengan persoalan ibadah mahdlah, untuk tidak mengatakan hanya terfokus pada persoalan-persoalan fiqih. Tidak mencoba untuk dikembangkan dalam arti yang lebih luas dan fundamental yakni back to the principle of Qur’anic ethical values. Dan ‘ijtihad’ di Muhammadiyah hanya terkait dengan isu-isu hukum agama atau hukum-hukum fiqih an sich dan tidak melebar pada al-ulum al-kauniyyah dan al-hayat al-insaniyyah.
Kecenderungan konservatisme dalam alam pikiran Muhammadiyah tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, keterjebakan Muhammadiyah terhadap aktivisme yang cenderung memperluas demografi dan keanggotaan. Aktivisme tersebut mengakibatkan para aktivis Muhammadiyah terlalu bersifat politis-idiologis dan apologis ketimbang berfikir secara reflektif-kontemplatif dan folosofis. Kedua peran Majlis Tarjih sebagai thik-thank Muhammadiyah terlalu bersifat fiqh-oriented dan tekstual normatif. Kecenderungan ini telah menafikan konteks perkembangan jaman dan perubahan sosial yang menghajatkan suatu pola pemikiran keislaman yang asumtif-probabilistik-pluralis. Ketiga, di tingkat aplikasi praktis, muncul truth claim dari pensakralan produk-produk Majlis Tarjih seperti Himpunan Putusan Tarjih (HPT) terhadap masalah-masalah muamalah. Keempat, belum meluasnya tradisi berfikir empirik di kalangan para anggota Majlis Tarjih.
Sebuah Pendekatan
Dalam wacana klasik, secara bahasa ijtihad berarti antara lain “kesungguhan” mencurahkan segala kemampuan”, dan “menanggung beban”. Dari pengertian ijtihad yang dikatakan al-Ghazali di atas, dapat dipahami bahwa lapangan ijtihad hanya terbatas pada mengeluarkan hukum syara’ yang bersifat praksis dan yang merujuk kepada nash peringkat dzanni. Tetapi apakah wilayah ijtihad sesempit itu?
Dr. Yusuf al-Qordlawi termasuk salah seorang ulama terkemuka saat ini yang tidak membatasi ijtihad dengan tema terbatas hukum syara’, tetapi melebar pada persoalan-persoalan ijtima’iyah (kemasyarakat), iqtishadiyyah (ekonomi) dan siyasah (politik). Labih lanjut, dia menjelaskan bahwa ijtihad pada zaman modern ini merupakan sebuah kebutuhan, bahkan suatu keharusan bagi masyarakat Islam. Sambil merujuk pada pendapat Imam Hambali, Qordlawi berpendapat bahwa tidak boleh pada suatu masa vakum dari seorang mujtahid yang dapat dijadikan rujukan oleh masyarakat dalam persoalan-persoalan yang muncul di tengah-tengah mereka.
Muhammad Iqbal pernah mengatakan bahwa ijtihad adalah prinsip ‘gerak dalam Islam’, sambil mengutip Ibn Taimiyyah yang mengatakan bahwa al-haqiqatu fi al-a’yan la fi al-‘addzan (kebenaran terletak pada realitas, bukan pada konsepsi-konsepsi akal semata). Memang kemudian timbul pertanyaan, gerak macam apa yang dimaksud ? Apakah gerak tersebut berlaku semata-mata untuk hukum-hukum fiqih atau juga untuk berbagai aspek kehidupan?
Lebih lanjut Amin Abdullah mengelaborasi pertanyaan-pertanyaan di atas dengan melontarkan pertanyaan kritisnya, yakni mana yang perlu diprioritaskan ? Apakah back to the principle of Qur’anic ethical values yang dalam hal ini menggunakan pendekatan aksiologis, atau apakah pendekatan ushuliyyah al-bayaniyyah lewat qaidah ushuliyyah ? Atau kedua-duanya memang sama-sama penting, tetapi mempunyai wilayah kerja masing-masing?
Back to the principle of Qur’anic ethical values (pendekatan aksiologis) mempunyai ruang lingkup dan wilayah kerja yang bersifat universal inklusif, sedangkan pendekatan qa’idah bayaniyyah-ushuliyyah hanya mempunyai wilayah yang berrsifat partikular-eksklusif, yakni diperuntukkan khusus bagi kalangan sendiri. Lalu bagaimana hubungan yang proporsional antara keduanya ? Itu karena umat Islam selain hidup dalam dan dengan komunitasnya sendiri, mereka juga hidup dengan komunitas lain dalam era kemajemukan (pluralitas).
Pertanyaan-pertanyaan dari Amin Abdullah di atas dinilai sebagai sebuah kegelisahan intelektual paling awal sebelum memulai langkah konseptual untuk menggagas pendekatan baru dalam ijtihad Muhammadiyah. Sebenarnya langkah menuju ke sana sudah dirintis oleh beberapa kalangan kritis di Muhammadiyah, sebagai contoh terlontarkannya tiga corak pendekatan dalam mengembangkan pemikiran Islam di Muhammadiyah, yaitu pendekatan bayani, burhani dan irfani. Memang ketiga model pendekatan tersebut bukan gagasan genuine dari dalam Muhammadiyah, tetapi terambil dari konsep kritik nalar Arab al-Jabiri. Tetapi satu hal yang bebeda dengan al-Jabiri yaitu penerapan ketiganya yang tidak terpisah-pisah melainkan sebagai satu pola hubungan yang sirkuler. Amin Abdullah sendiri menamai teori tersebut dengan at-Ta’wil al-Ilmi.
Akan tetapi agaknya jalan ke arah metode baru ijtihad Muhammadiyah masih memerlukan perjuangan panjang. Dalam munas Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam beberapa waktu lalu di Padang, metode baru yang dirintis Amin Abdullah dkk. agaknya mengalami hambatan, karena sebagian peserta masih enggan dengan metode irfani menjadi salah satu metode atau pendekatan dalam berijtihad di Muhammadiyah, sungguh sebuah kesenjangan intelektual yang perlu untuk segera diretas.
Sebagai perbandingan akan penulis sampaikan ringkasan metode dan pendekatan ijtihad yang selama ini dipakai Muhammadiyah. Dalam Putusan Munas Tarjih XXIV majlis Tarjih dan pengembanganm pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah dinyatakan bahwa ijtihad adalah ‘Mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan ajaran Islam baik bidang hukum, aqidah, filsafat, tasawuf, maupun disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu”.
Sedangkan metode atau pendekatan yang dipakai dalam berijtihad, sesuai dengan keputusan Munas Majlis Tarjih PP Muhammadiyah XXIV di Malang, disepakati sebagai berikut : a) bayani (semantik), yaitu metode yang menggunakan pendekatan kebahasaan b) ta’lili (rasionalistik), yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan penalaran; c) istishlahi (filosofis), yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kemashlahatan.
Secara prinsip apa yang menjadi prinsip ijtihad Muhammadiyah tidak jauh berbeda dengan apa yang juga menjadi prinsip berijtihad Yusuf Qardlawi, masing-masing masih memiliki keterikatan dengan ijtihad terdahulu, khususnya dilihat dari metodenya. Hanya saja keduanya tidak mengikatkan diri pada madzab tertentu dan terikat pada syarat-syarat mujtahid, sebagaimana telah dikemukakan oleh ulama ushul fiqh. Pada sisi lain, keduanya menonjolkan aspek kemashlahatan umat atau maqashid al-Syar’iyyah.
Dari paparan metode atau pendekatan ijtidah dalam Muhammadiyah dapat dilihat begitu kentalnya pendekatan qa’idah bayaniyyah-ushuliyyah yang bercorak pertikular-eksklufif sehingga sulit untuk bisa mengatasi persoalan-persoalan yang bersifat lintas agama dan keyakinan. Padahal persoalan-persoalan yang bersifat lintas agama itu sangatlah mendesak untuk diselesaikan mengingat banyaknya persoalan bangsa yang berbasis hubungan antar agama.
Kritik kedua berkaitan mode ijtihad Muhammadiyah di atas adalah adanya asumsi bahwa sebagian hasil ijtihad ulama masa lampau adalah sudah final (qath’iy). Padahal pemikiran keagamaan bersifat open ended, terbuka, terus menerus dapat diperdebatkan, dipertanyakan, dikoreksi dan diangun kembali. Para ahli keislaman kontemporer mengatakan bahwa pemikiran keagamaan tidak boleh disakralkan atau disucikan. Begitu ia disakralkan atau disucikan, tanpa disadari ia berubah menjadi idiologi yang bersifat tertutup. Begitu ia tertutup, akan sangat sulit berkomunikasi dan berdialog dengan bentuk pemikiran-pemikiran sejawat yang lain.
Untuk itu perlu pendekatan baru dalam melakukan ijtihad di Muhammadiyah. Jangan sampai kritikan berbagai kalangan terhadap kelambanan pihak Islam dalam merespon persoalan zaman, seperti ketidakmampuan organisasi-organisasi Islam dalam menangani nasib TKI, diabaikan begitu saja. Sepertinya agama dipahami sebagai ajaran yang mengurusi masalah keagamaan an sich (baca : masalah-masalah fiqih), sedangkan masalah-masalah kemanusiaan dan kekinian (al-mu’ashir) dianggap bukan tanggung jawab agama.
Pendekatan dan metode baru ijtihad itu meliputi pemakaian alat-alat analisis yang tidak semata-mata berasal dari ulum ad-din, seperti ulum al-Qur’an, ulum al- Hadis maupun ushu al-fiqh, tetapi juga melibatkan ulum al-ijtima’iyyah (ilmu-ilmu sosial dan humaniora) seperti sosiologi, antropologi, sejarah, politik bahkan ulum al-lughawiyah al-mu’ashirah (ilmu-ilmu bahasa kontemporer). Dengan itu diharapkan akan ada warna baru baik dalam kerangka proses maupun hasil ijtihad. Disamping itu persoalan yang disentuh dalam proyek ijtihad meliputi segala aspek kemodernan yang memang membutuhkan jawaban-jawaban etis-normatif ajaran Islam. Ketidakpekaan agamawan dalam menyoroti masalah kemanusiaan adalah bentuk lain dari pemberian legitimasi terhadap pelanggaran kemanusiaan.
Jika agama terlambat dalam menangani dan mengatasi masalah kemanusiaan, agama akan mengalami dua masalah bersamaan15) : Pertama, agama akan manja dalam kemapanannya. Agama akan selalu dianggap sebagai doktrin yang mapan dan tak perlu melihat ke bawah. Agama akan selalu suci dalam kapasitasnya sebagai wahyu, bukan seperangkat nilai yang semestinya menyapa kemanusiaan. Kedua peran agama akan semakin sempit hanya pada masalah ritual belaka, yang kedua ini menjadikan agama tidak berarti apa-apa dalam panggung sejarah manusia.
Untuk itu Ijtihad dalam Muhammadiyah harus terkait dengan proyek untuk mendefinisikan posisi agama dengan tanggungjawab kemanusiaannya. Agama harus keluar dari persembunyaiannya di ruang privat yang sepi dan hening dan harus tampil keluar di arena publik yang ramai dengan berbagai masalahnya.
C. SEBUAH CONTOH PERSOALAN
a. Muhammadiyah dan pluralitas Agama
Berikut ini akan dipaparkan sebuah persoalan yang secara real ada dalam panggung sejarah kehidupan di mana Muhammadiyah melakukan aktifikas pergerakannya. Masalah pertama adalah bagaimana sikap Muhammadiyah dalam merespon persoalan pluralisme agama di Indonesia sedangkan masalah kedua adalah bagaimana Muhammadiyah berinteraksi dengan budaya lokal.
A. N. Wilson (1989)16), seorang jurnalis, dalam bukunya yang sangat sinis terhadap agama, Agains Religion : Why The Should Try to Live Without It (Melawan Agama : Mengapa Kita Harus Mencoba Hidup Tanpa Dia), mengatakan bahwa agama adalah tragedi umat manusia. Ia mengajak yang paling luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa manusia, namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidak ikut bertanggungjawab atas berbagai peperangan, tirani dan penindasan peperangan. Marx menggambarkan agama sebagai candu rakyat, tetapi agama jauh lebih berbahaya daripada candu. Agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain. Untuk mengklaim bagi diri mereka sendiri sebagai pemilik kebenaran.
Wilson dalam buku tersebut menunjukkan dilema dalaam konflik-konflok antar agama, yang jika diringkas, jika seseorang dalam sebuah agama konflik dengan orang lain yang berbeda agama akan dianggap sebagai “sebuah tindakan kebenaran melawan kedhaliman”. Sedang jika orang itu ada di agama lain yang dilawan itu, maka dia akan mengganggap sebaliknya, agamanya sendiri sebagai yang benar, melawan agama lawannya itu sebagai yang salah, yang dhalim. Tetapi jika seseorang berada di luar dua agama yang sedang konflik itu, ia akan melihat keduanya da dalam kesesatan, dan ia akan menganggap konflik yang sama-sama menggunakan klaim kebenaran itu sebagai kenaifan, karena jelas keduanya salah.
Wilson menggambaran bahwa agama yang ada dalam kenyataan itulah yang sering mewarnai konflik-konflik antar agama sepanjang zaman hingga hingga dewasa ini. Seorang beragama bisa mengatakan bahwa yang salah adalah yang beragama itu, yang tidak mengerti arti agamanya itu. Tetapi Wilson menjawab, “Kalau agama itu yang benar, namun tidak mampu mempengaruhi pemeluknya, lalu bagaimana membuktikan kebenaran agama itu? Dan apa gunanya agama yang benar namun tidak bisa mempengaruhi pemeluknya?”. Tentu hal itu menjadi sebuah pertanyaan retorik yang menggugah kearifan jawaban dari seorang penganut agama.
Dari gugatan Wilson di atas umat dapat merefleksikan apa yang bisa terjadi jika agama menjadi tertutup dan penuh kemunafikan. Lalu mengklaim kebenaran sendiri dengan mengirim ke neraka agama yang lain inilah yang menimbulkan problema yang studi agama-agama sebagai “masalah klaim kebenaran” (the problem of truch claim).
Nurcholish Madjid (1999)17), cendekiawan Muslim terkemuka Indonesia menawarkan sebuah teologi alternatif yang dia namai teologi pluralistik. Dalam defininisinya yang fundamental, teologi pluralistik adalah percaya bahwa seluruh kepercayaan agama lain ada juga dalam agama kita (all religions are the some different parths leading to some goal). Pada dasarnya semua agama adalah sama (dan satu), walaupun mempunyai jalan yang berbeda-beda untuk suatu tujuan yang sama dan satu. Dalam al-Qur’an, misalnya diilustrasikan bahwa semua Nabi dan Rsul itu adalah Muslim (orang yang pasrah kepada Allah). Semua agama para Nabi dan Rasul itu adalah Islam (berserah diri secara total kepada Allah). Sementara Islam par exellence adalah bentuk terlembaga dari agama yang sama, sehingga semua agama itu sebenarnya adalah satu dan sama. Perbedaannya hanyalah dalam bentuk syariah. Dalam bahasa keagamaan inilah yang disebut “jalan”. Semua agama adalah “jalan” kepada Tuhan. Di dalam al-Qur’an istilah jalan diekspresikan dengan banyak kata, sesuai dengan maknanya yang memang plural, adanya banyak jalan itulah yang dipakai al-Qur’an, seperti shirat, sabil, syari’ah, thariqah, minhaj, mansak (jamaknya manasik) dan maslak (jamaknya suluk).
Semua istilah seorang-olah menggambarkan bahwa jalan dalam beragama kelihatan tidaklah satu, tetapi banyak, dan sangat tergantung pada masing-masing pribadi yang mempunyai idiom sendiri-sendiri mengenai bagaimana beragama. Tetapi sesungguhnya jalan itu satu, tetapi jalurnya banyak. Inilah prinsip yang menggambarkan kesatuan dalam keanekaragaman. Misalnya dalam al-Qur’an Surat al-Maidah/5:16, Allah berfirman :
“Dengan itu Allah memberi petunjuk kepada siapa saja yang mengikuti keridlaan-Nya menuju jalan kedamaian dan keselamatan, dan mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, -dengan izin-Nya dan menunjuki mereka jalan yang lurus.”
Dalam ayat tersebut tidak dipakai kata sabilassalami tetapi dalam jamak (plural) subulassslami (berbagai jalan). Sehingga kira-kira tafsirnya, “Mereka yang sungguh-sungguh mencari jalan-Ku (ridla-Ku), pasti Kami akan tunjukkan berbagai jalan-Ku.”
Di tengah keragaman atau pluralitas keberagamaan pada masa kenabian Muhammad, tidaklah menghalangi beliau untuk mengembangkan sikap-sikap toletansi antar pemeluk agama atau kepercayaan yang berbeda. Bahkan, Muhammad pernah memberi suri tauladan yang sangat inspiring dihadapan para pengikutnya. Sejarah mencatat bahwa, Nabi pernah dikucilkan dan bahkan diusir dari tumpah darahnya (Makkah). Beliau terpaksa hijrah ke Madinah untuk beberapa lama dan kemudian kembali ke Makkah. Peristiwa itu dikenal dalam Islam dengan fathul Makkah. Dalam peristiwa yang penuh kemenangan ini, Nabi tidak menggambil langkah balas dendam kepada siapapun juga yang telah mengusirnya dahulu dari tanah kelahirannya. “Antum Tulaqa (kamu sekalian bebas)”, Begitu ucapan Nabi kepada mereka.
Peristiwa itu sangat memberi inspirasi dan memberi kesan yang mendalam terhadap penganut agama Islam di mana pun mereka berada. Nabi telah memberi contoh kongkret dan sekaligus contoh pemahaman dan penghayatan pluralisme keagamaan yang amat riel dihadapan umatnya. Tanpa didahului polemik pergumulan filosofis-teologis, Nabi tidak menuntut “truth claim” atas nama dirinya maupun atas nama agama yang dianutnya. Dia mengambil sikap agree in disagreement (al-Qur’an s. al-Takatsur : 1-8), dia tidak memaksakan agamanya untuk diterima oleh orang lain (al-Qur’an s. al-Kafirun : 1-6).
Etika Islam, sebagaiman telah disebut oleh George F. Hourani (1985), adalah sifat “Ethical Voluntarism”, sebenarnya mengandung dimensi historisitas keteladanan (uswatun hasanah) yang terpancar dari perilaku Nabi Muhammad SAW. Etika pemihakan terhadap fundamental values kemanusiaan sangat dijunjung tinggi oleh penganut Islam. Memihak kepada fundamental values, aturannya, berarti menepikan segala macam sekat-sekat teologis yang selama ini telah terkristal dan terbentuk oleh perjalanan hidup sejarah kemanusiaan itu sendiri dalam perspeksif Islam, konsepsi etika keberagamaan, khususnya yang menyangkut hubungan antar umat beragama, adalah bersifat sangat terbuka dan dialogis. Panggilan untuk mencari titik temu (kalimatun sawa’) antar berbagai penganut ahli kitab adalah tipikal model panggilan al-Qur’an.
Menciptakan kondisi ideal untuk mencapai titik temu antar umat beragama adalah merupakan kepentingan semua pihak dan tanggung jawab bersama. Beban itu sepenuhnya tidak dapat dipikul oleh umat Islam atau Protestan atau oleh pihak-pihak umat Katholik dan lain-lain secara sepihak. Hal demikian juga terjadi dalam sejarah kehidupan Nabi terutama yang terkait langsung dengan deklarasi “konstitusi Madinah” yang oleh Robert N. Bellah (1965) disebut sebagai deklarasi “modern” yang muncul sebelum peradaban manusia yang benar-benar modern timbul.
Dalam perspektif Islam, dasar-dasar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang pluralistik secara religius, sejak semula, memang telah dibangun di atas landasan normativ dan historis sekaligus. Jika ada hambatan atau anomali-anomali di sana sini, penyebab utamanya bukan karena inti ajaran Islam itu sendiri yang bersifat intoleran atau eksklusif, tetapi lebih banyak ditentukan dan dikondisikan oleh situasi historis-ekonomis-politis yang melingkari komunitas umat Islam di berbagai tempat. Kompetisi untuk menguasai sumber-sumber ekonomi, hegemoni kekuasaan, jauh lebih mewarnai ketidak-mesraan hubungan antar pemeluk beragama dan bukannya oleh kandungan ajaran etika agama itu.
 Itu sumbangan pemikiran yang perlu disampaikan kepada Muhammadiyah terkait dengan realitas pluralistik yang seringkali menimbulkan konfik antar-agama yang sangat akut adalah bagaimana menjadikan teologi pluralistik sebagai teologi baru (new teology) agar klaim-klaim kebenaran dapat terhapus dalam cara pandang warga Muhammadiyah. Dan tidak klah pentingnya adalah bagaimana Muhammadiyah sebagai institusi gerakan gerakan Islam mampu berbuat banyak dalam mengatasi konflik agama yang telah mengoyak persatuan dan persaudaraan bangsa.
Sedikitnya, ada dua langkah yang bisa dilakukan dalam kerangka pencegahan dan penanganan konflik antar agama. Satu, mengubah cara pandang umat terhadap agama dari citra yang impersonal menuju citra yang personal. Dari sesuatu yang simbolistik menjadi sesuatu yang substantif. Karena, memang, hal yang paling esensial dari keberadaan suatu agama bukanlah penyelenggaraan ritus-ritus dan upacara praksis keagamaan lainnya; melainkan bagaimana nilai-nilai keluhuran, keadilan, kemanusiaan, rahmat dan kedamaian -yang notebene merupakan pesan pokok turunnya agama itu sendiri-bisa teraplikasi dalam keseharian para pemeluknya. Dalam wawasan agama Islam misalnya, Allâh Swt. Berfirman: “Dan bukanlah kebajikan itu memasuki rumah-rumah [kabah] dari pintu belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang-orang yang bertakwa ” (Qs. 2; 189).
Agama bukanlah sekumpulan doktrin yang mati, statis, simbolis, ataupun utopis. Agama harus benar-benar dipahami sebagai kesatuan nilai-nilai tersebut di atas yang amat personal dan realistis. Sebab itulah penghayatan keagamaan yang baik bisa dilihat dari amal perbuatan, moralitas, serta praktek kehidupan sosial setiap umat.
Dua, mengembangkan dialog antar umat beragama. Sejauh ini, wacana dialog antar agama cenderung menjadi konsumsi kalangan elit umat beragama saja. Sementara pada tingkatan grass root umat, wacana ini relatif asing. Padahal, potensi konflik antar umat beragama justru menguat pada level akar rumput. Maka diperlukan pengembangan wacana dialog antar agama dengan lebih intens lagi melibatkan kalangan grass root umat.
Pada tahap awal, dialog tersebut bisa berupa kajian masing-masing umat terhadap ajaran agamanya tentang persaudaraan, kemanusiaan, interaksi antar umat beragama, dst. Karena toh pada setiap agama itu terdapat nilai-nilai universal yang bisa menyatukan persepsi setiap pemeluk agama yang berbeda akan hubungan sosial yang sehat dan wajar. Dan pada tahapan berikutnya, umat dari agama yang berbeda tersebut bisa mulai membicarakan permasalahan yang mereka hadapi secara bersama-sama, dalam format “kita” semua berbicara tentang “kita”. Bukan lagi dalam format “kami” berbicara tentang “kalian”.
b. Masalah Kearifan Muhamadiyah Atas Budaya Lokal
Sebagai sebuah kenyatan sejarah, begitu kata Kuntowijioyo, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat.
Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau budaya Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.
Berbeda dengan agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara begitu elastis. Baik itu yang berhubungan dengan pengenalan simbol-simbol Islami (misalnya bentuk bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan (untuk memahami nilai-nilai Islam).
Dapat kita lihat, masjid-masjid pertama yang dibangun di sini bentuknya menyerupai arsitektur lokal-warisan dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih toleran terhadap warna/corak budaya lokal. Tidak seperti, misalnya Budha yang masuk “membawa stupa”, atau bangunan gereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat. Dengan demikian, Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah (Arab), tempat lahirnya agama Islam.
Demikian pula untuk memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam kita dulu, memang lebih luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat yang heterogen setting nilai budayanya. Mungkin kita masih ingat para wali –yang di Jawa dikenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka dapat dengan mudah memasukkan Islam karena agama tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan kemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi “bingkisan” yang dibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam.
Sunan Kalijaga misalnya, ia banyak menciptakan kidung-kidung Jawa bernafaskan Islam, misalnya Ilir-ilir, tandure wis semilir. Perimbangannya jelas menyangkut keefektifan memasukkan nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat ruang gerak dakwah yang lebih memadai. Meminjam pendapat Mohammad Sobary (1994: 32)24) dakwah Islam di Jawa masa lalu memang lebih banyak ditekankan pada aspek esoteriknya, karena orang Jawa punya kecenderungan memasukkan hal-hal ke dalam hati. Apa-apa urusan hati. Dan banyak hal dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan budi. Islam di masa lalu cenderung sufistik sifatnya.
Akan tetapi Kaitannya dengan ketegangan kreatif antara dakwah Islam dengan budaya lokal, Amin Abdullah dalam sebuah tulisan di Suara Muhammadiyah mengingatkan para pelaku dakwah sekarang ini (muballigh/da’i) untuk pandai memilah-milah mana yang substansi agama dan mana yang hanya sekadar budaya lokal. Metode dakwah al-Qur’an yang sangat menekankan “hik-mah dan mau’idzah hasanah” adalah tegas-tegas menekankan pentingnya “dialog intelektual”, “dialog budaya”, “dialog sosial” yang sejuk dan ramah terhadap kultur dan struktur budaya setempat. Hal demkian menuntut ‘kesabaran’ yang prima serta membutuhkan waktu yang cukup lama, karena dakwah ujung-ujungnya adalah merubah kebiasaan cara berfikir (habits of mind) masyarakat.
Lalu akhir-akhir ini dapat melihat, misalnya, kelompok umat yang mempunyai orientasi keagamaan Syiah juga menggunakan sumber daya budaya. Penulis tidak tahu apakah Haddad Alwi itu mengikuti paham Syiah atau tidak, tapi kalau dilihat lagu-lagunya (misalnya lagu ana madinatul ‘ilm, wa-aliyyu babuha) sungguh luar biasa. Itu merupakan representasi dakwah Syiah yang memakai instrumen budaya dan hasilnya sangat efektif.
Wujud dakwah dalam Islam yang demikian tentunya tidak lepas dari latar belakang kebudayaan itu sendiri. Untuk mengetahui latar belakang budaya, diperlukan sebuah teori budaya. Menurut Kuntowijoyo dalam magnum opusnya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, sebuah teori budaya akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut: Pertama, apa struktur dari budaya. Kedua, atas dasar apa struktur itu dibangun. Ketiga, bagaimana struktur itu mengalami perubahan. Keempat, bagaimana menerangkan variasi dalam budaya.
Persoalan pertama dan kedua, akan memberikan penjelasan mengenai hubungan antar simbol dan mendasarinya. Paradigma positivisme –pandangan Marx di antaranya– melihat hubungan keduanya sebagai hubungan atas bawah yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi, yakni modus produksi.
Berbeda dengan pandangan Weber yang dalam metodologinya menggunakan verstehen atau menyatu rasa. Dari sini dapat dipahami makna subyektif dari perbuatan-perbuatan berdasarkan sudut pandang pelakunya. Realitas ialah realitas untuk pelakunya, bukan pengamat. Hubungan kausal –fungsional dalam ilmu empiris-positif– digantikan hubungan makna dalam memahami budaya. Sehingga dalam budaya tak akan ditemui usaha merumuskan hukum-hukum (nomotetik), tapi hanya akan melukiskan gejala (ideografik).
Dengan demikian, mengikuti premis Weber di atas, dalam simbol-simbol budaya yang seharusnya dipahami atau ditangkap esensinya adalah makna yang tersirat. Dari sini lalu dapat dikatakan bahwa dalam satu makna (esensi), simbol boleh berbeda otoritas asal makna masih sama.
Dari kerangka berfikir di atas, dapat dipakai untuk menilai sekaligus memaknai fenomena budaya yang ada di masyarakat yang selama ini dibid’ahkan oleh Muhammadiyah, ruwahan, nyadran, sekaten tahlilan, selamatan, berjanjen, kholdan puji-pujian. Dalam bahasa Kuntowijoyo inilah gejala gerakan kebudayaan baru Muhammadiyah yang tanpa kebudayaan lama.
Semua tradisi yang tersebut diatas, pada level penampakannya (appearence) adalah simbo-simbol pengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga dapat mengungkapkan makna ‘subyektif’ (kata ini mesti diartikan sejauhmana tingkat religiusitas pemeluknya) dari pelakunya. Tindakan seperti ini ada yang menyebut sebagai syahadat yang tidak diungkapkan, tetapi dijalankan dalam dimensi transeden dan imanen.
Dengan kata lain high tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika ingin ditampakkan, perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition yang niscaya merupakan hasil pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisi tahlilan misalnya, high tradition yang diusung adalah taqarrub ilallah, dan itu diapresiasikan dalam sebuah bentuk dzikir kolektif yang dalam tahlilan kentara sekali warna tradisi jawaismenya. Lalu muncul simbol kebudayan bernama tahlilan yang didalamnya melekat nilai ajaran Islam. Dan Kuntowijiyo merekomendasikan kepada umat Islam untuk berkreasi lebih banyak dalam hal demikian, karena akan lebih mendorong gairah masyarakat banyak menikmati agamanya.
Hanya saja yanag perlu dikoreksi adalah bahwa simbol-simbol (pengungkapan) tadi pada dasarnya adalah kata benda. Sedangkan menurut logika berpikir, kata benda atau simbol-simbol tadi yang sering diperdebatkan untuk kemungkinan disalahkan atau dibenarkan. Perdebatan simbol itu akan menggiring kita untuk kemudian memitoskan sesuatu.
Dengan kata lain, yang bisa dibenarkan atau disalahkan adalah pernyataan yang menyertai (kata benda tadi). Pendek kata, nyadran yang bagaimana? Ruwahan yang bagaimana? Sebab ritus-ritus tersebut, sebagai suatu simbol (pengungkapan) dapat direkayasa oleh pernyataan-pernyataan yang menyertainya. Nah, kita dapat menilainya (benar atau salah) dari pernyataan itu, bukan simbolnya. Memang itu tugas besar bagi pemikir maupun tokoh-tokoh Islam kita sekarang. Orang zaman dahulu menciptakan simbol agar perasaan kita tajam. Namun apa yang terjadi sekarang? Karena pengaruh pemikiran Barat (baca: positivisme) kita menangkap semua itu dengan visi dan paradigma positivisme. Sehingga makna yang tersembul dalam ritus-ritus itu dipahami dengan kacamata fiqih ansich. Artinya, simbol-simbol budaya yang hanya menjelaskan gejala, sering dihakimi supaya dapat menentukan hukum-hukum halal haram.




DAFTAR PUSTAKA
A.N. Wilson, Againt Religion, Why The Should Try to Live Without It, London : Chattp and Windus,1986
Amin Abdullah, “Al-Ta’wil Al-‘Ilm : Keraah Perubahan Paradigma Penafsran al-Qur’an”, dalam Journal of Islamic Studies al-Jam’iah, Yogyakarta : State Institute of Islamic Studies (IAIN) Sunan Kalijaga,2001
_____________Tauhid Sosial ke Tauhid Ke Dakwah Kultural”, dalam Suara Muhammadiyah, No 24/TH.Ke-87//16-31 Desember 2002
_____________, “Manhaj Trajih dan Pengembangan Pemikiran Keislaman” dalam Muhammad Azhar dan Hamim Ilyas, Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah ; Purifikasi & Dinamisasi, Yogyakarta LPPi UMY, 2000
_____________, Dinamika Islam Kultural, Bandung : Mizan, 2000
_____________, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme transendental, Bandung : Mizan, 2001
___________, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, Bandung : Mizan, 1990
___________, Pengantar Buku Membendung Arus, Alwi Syihab, Bandung : Mizan.
Mammad Azar dan Hamim Ilyas, Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah ; Purifikasi & Dinamisasi, Yogyakarta LPPi UMY, 2000
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan : Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1996
_______________, Islam Doktrin dan Peradaban, Badung : Mizan, 2000.
PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, Hasil Keputusan Munas Tarjih ke XXIV, Malang : Universitas Muhammadiyah Malang, 22-24 Syawal 1420 H.
Robert N. Bellah (ed)., Religion and Progress in Modern Asia, New York : The Free Press, 1965.
Yusuf Qardlawi, al-Ijtihad al-Mu’ashir Baina al-Indilbath wa al-Infirath, terj. Abu Bazani, Surabaya : Risalah Gusti, 1995
(Tulisan Muhammad Amilan untuk DAM Sukoharjo)


BERITAHU TEMAN

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites