Peran Intelektualitas Ikatan

Sejarah Berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah merupakan bagian dari AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah) yang merupakan organisasi otonom dibawah Muhammadiyah. Sesungguhnya ada dua faktor integral yang melandasi kalahiran, yaitu faktor intem dan fakor ekstem. Faktor Intem Dimaksudkan yaitu faktor yang terdapat didalam Diri Muhammadiyah itu sendiri, sedangkan fakor ekstern adalah faktor yang berawal dari luar Muhammadiyah, khususnya umat Islami Indonesia dan pada umumnya adalah seluruh umat dunia.
Faktor intern, sebenarnya lebih dominan dalam bentuk motivasi idealismse, yaitu motif untuk mengembangkan ideologi Muhammadiyah, yaitu faham dan cita cita Muhammadiyah bahwa Muhammadiyah pada hakekatnya adalah sebuah wadah oraganisasi yang punya cita-cita atau tujuan yakni menegakkan dan menjunjung tinggi agama islam , sehingga terwujud masyarakat Utama, adil dan makmur yang diridloi oleh Allah SWT. Hal ini termaktub dalam AD Muhammadiyah Bab II pasal 3. dan dalam merefleksikan cita-citanya ini, Muhammadiyah mau tidak mau harus bersinggungan dengan masyarakat bawah (jelata) atau masyarakat heterogen. Ada masyarakat petani, pedagang, peternakan dan masyarakat padat karya dan ada masyarakat administratif dan lain sebagainya yang juga termasuk didalamnya masyarakat kampus atau intelektual yaitu Masyarakat Mahasiswa.
Persinggungan Muhammadiyah dalam maksud dan tuiuannya, terutama terhadap masyarakat mahasiswa, secara teknisnya bukan secara langsung terjun mendakwahi dan mempengaruhi mahasiswa yang berarti orang-orang Mahasiswa, khususnya para mubalighnya ya langsung terjun ke mahasiswa. Tapi dalam hal ini Muhammadiyah memakai teknis yang jitu yaitu dengan menyediakan wadah yang memungkinkan menarik animo atau simpati mahasiswa untuk, memakai fasilitas yang telah disiapkan. Pada mulanya para mahasiswa yang bergabung atau yang mengikuti jejak-jejak Muhammadiyah oleh Muhammadiyah dianggapnya cukup bergabung dalam organisasi otonom yang ada dalam Muhammadiyah, seperti Pemuda Muahmmadiyah (PM) Yang diperuntukkan pada mahasiswa dan Nasyi'atul Aisyiyah (NA) untuk mahasisiwi Yang lahir pada 27 Dzulhijjah 1349 H (NA) dan pemuda pada tanggal 25 Dzulhiijjah 1350 H.
Anggapan Muhammadiyah tersebut lahir pada saat-saat Muhammadiyah bermuktamar ke-25 di Jakarta pada tahun 1936 Yang pada saat itu dihembuskan pula cita-cita besar Muhammadiyah untuk mendirikan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) dan pada saat itu pula Pimpinan Pusat (PP) Yang dipegang oleh KH. Hisyam (periode 1933-1937). Dan pada dikatakan bahwa anggapan dan pemikiran mengenai perlunya menghirnpun mahasiswa Yang sehaluan dengan Muhammadiyah yaitu sejak konggres ke-25 tersebut. Namun demikian keinginan untuk menghimpun dan membina mahasiswa Muhammadiyah pada saat itu masih vakum, karena pada waktu itu Muhammadiyah masih belum memiliki Perguruan Tinggi seperti Yang diinginkannya sehingga para mahasiswa Yang berada di Perguruan Tinggi lain baik negeri ataupun swasta Yang sudah ada pada waktu itu secara ideologi tetap berittiba' pada Muhammadiyah dalmn kondisi tetap mereka harus mau bergabung dengan PM, NA ataupun Hizbul Wathon (HW).
 Pada perkembangan keberadaan mereka yang berada dalam ketiga organisasi otonom tersebut merasa perlu adanya perkumpulan khusus mahasiswa Yang secara khusus anggotanya terdiri dari mahasiswa Islam. Alternatif yang mereka pilih yaitu bergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). bahkan ada image waktu itu yang menyatakan bahwa HMI adalah anak Muhammadiyah Yang diberi tugas khusus untuk membawa mahasiswa dalam misi dan visi yang dimiliki oleh Muhammadiyah, karena waktu itu ditubuh HMI sendiri dipegang oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah yang secara aktif mengelola HMI. Pada waktu itu Muhammadiyah secara kelembagaan turut mengeloia HMI baik dari segi moral ataupun material, sampai belakangan ini menurut data-data Yang ada di PP Muhammadiyah menyatakan bahwa Muhammadiyah (terutama PTM dan RS Sosial) secara, materiil turut membiayai hampir setiap aktifitas HMI baik mulai dari tingkat konggres sampai aktifitas sehari -hari. Disinilah sekali lagi bukan.HMI yang turut menelorkan tokoh-tokoh Muhammadiyah tapi sebaliknya bahwa Muhammadiyah yang dulu ikut aktif membesarkan HMI.
PP Pemuda Muhammadiyah yang oleh PP Muhammadiyah dan Muktamar ke-I di Palembang (1956) dibebani tugas untuk menampung aspirasi aktif para Mahasiswa Muhammadiyah, segera membentuk Study Group yang khusus Mahasiswa yang berasal dari Malang, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Padang, Ujung Pandang dan Jakarta. Menjelang Muktamar Muhammadiyah setengah abad di Jakarta tahun 1962 mengadakan kongres Mhasiswa Muhammadiyah di Yogyakarta dan dari kongres ini semakin santer upaya para tokoh Pemuda untuk melepaskan Departemen Kemahasiswaan untuk berdiri sendiri. Pada 15 Desember 1963 mulai diadakan pejajagan dengan didirikannya Dakwah mahasiswa yang dikoordinir oleh : Ir. Margono, Dr. Sudibjo Markoes dan Drs. Rosyad Saleh. Ide pembentukan ini berasal dari Drs. Moh. Djazman yang waktu itu sebagai Sekretaris PP Pemuda Muhammadiyah. Dan sementara itu desakan agar segera membentuk organisasi khusus mahasiswa dari berbagai kota seperti Jakarta dengan Nurwijo Sarjono MZ. Suherman, M. yasin, Sutrisno Muhdam, PP Pemuda Muhammadiyah dll-nya. Akhirnya dengan restu PP Muhammadiyah waktu itu diketuai oleh H.A. Badawi, dengan penuh bijaksana dan kearifan mendirikan organisasi yang khusus untuk Mahasiswa Muhammadiyah yang diketuai oleh Drs. Moh. Djazman sebagai koordinator dengan anggota M. Husni Thamrin, A. Rosyad Saleh, Soedibjo Markoes, Moh. Arief dll.
Jadi Pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan pencetus nama IMM adalah Drs. Moh. Djazman Al-kindi yang juga merupakan koordinator dan sekaligus ketua pertama. Muktamar IMM yang pertama pada 1-5 Mei 1965 di kota Barat, Solo dengan menghasilkan deklarasi yang dibawah ini. IMM adalah gerakan Mahasiswa Islam. Kepribadian Muhammadiyah adalah Landasan perjuangan IMM Fungsi IMM adalah sebagai eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah (sebagai stabilisator dan dinamisator).
Ilmu adalah amaliah dan amal adalah Ilmiah IMM. IMM adalah organisasi yang syah-mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan dan falsafah negara yang berlaku.Amal IMM dilakukan dan dibaktikan untuk kepentingan agama, nusa dan bangsa.
Faktor Ekstern, yaitu sebagaimana Yang tersebut diatas baik Yang terjadi ditubuh umat Islam sendiri ataupun yang terjadi didalam sejarah pergolakan bangsa Indonesia. Yang terjadi dimasyarakat Indonesia pada zaman dahulu hingga sekarang adalah sama saja, yaitu kebanyakan mereka masih mengutamakan budaya nenek moyang yang mencerminkan aktifitas sekritistik dan bahkan anemistik yang bertolak belakang dengan ajaran Islam murni khususnya dan tidak lagi sesuai dengan Perkembangan zaman. Hal semacam ini memunculkan signitifitasi (bias) yang begitu besar, utamanya pada kalangan mahasiswa Yang memiliki kebebasan akademik dan seharusnya memiliki pola pikir yang jauh, namun karena dampak budaya masyarakat yang demikian membumi, mereka akan menjadi jumud dan mengalami kemunduran.
Pergolakan OKP (Organisasi Kemasyarakatan Pemuda) atau Organisasi Mahasiswa periode 50 sampai 65-'an terlihat menemui jalan buntu untuk mempertahankan indpendensi mereka dan partisipasi aktif dalam pasca Proklamasi (era kemerdekaan) RI. hal ini terlihat sejak pasca Konggres Mahasiswa Indonesia pada 8 Juli 1947 di Malang Jawa Timur, yang terdiri dari HMI, PMKRI, PMU, PMY, PMJ, PMKH, MMM, SMI, yang kemudian berfusi (bergabung) menjadi PPMI (Perserikatan Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia). PPMI pada mulanya tampak kompak dalam menggalang persatuan dan kesatuan diantara mahasiswa, namun sejak PPMI menerima anggota baru pada tahun 1958 yaitu CGMI yang berkiblat dan merupakan anak komunis akhirnya PPMI mengalami keretakan yang membawa kehancuran. PPMI secara resmi membubarkan diri pada Oktober 1965.
Sebenamya PPMI sebelum membubarkan diri, sekitar tahun 1964-1965 masing-masing organisasi yang berfusi dalam PPMI itu saling berkompetisi dan sok revolosioner untuk merebut pengaruh para penguasa waktu itu, termasuk juga Bung Karno Yang tak luput dari incaran mereka. Hal ini diakibatkan karena masuknya CGMI kedalam PPMI yang seakan mendapatkan legitimasi dari pihak penguasa waktu itu sehingga CGMI (PKI) terlihat besar. HMI pun saat itu juga merevolosionerkan diri menjadi sasaran CGMI (PKI), sehingga HMI hampir rapuh akibat ulahnya sendiri, karena pada saat itu PKI merupakan partai terbesar dan pendukungnya selalu meneriakkan supaya HMI dibubarkan. HMI melihat kondisinya yang rawan tidak tinggal diam, dengan segala upaya untuk mengembangkan sayap dan memperkokohnya, HMI kembali berusaha mendapatkan legitimasi kesana-kemari untuk menangkal serangan dari PKI yang berusaha membubarkannya.
Pada saat HMI semakin terdesak itulah IMM lahir, yaitu pada tanggal 14 Maret 1964. Salah satu faktor historisnya adalah untuk membantu eksistensi HMI agar tidak mempan atas usaha-usaha yang akan membubarkannya. Sekali lagi bahwa kelahiran IMM untuk membantu dan turut Serta mempertahankan HMI dari usaha- usaha komunis yaitu PKI Yang akan membubarkannya dan sesuai dengan sifat IMM itu sendiri yang akan selalu bekerjasama dan saling membantu dengan saudaranya (saudaranya seaqidah Islam) dalam upaya beramar ma'ruf nahi mungkar Yang merupakan prinsip perjuangan IMM.  Dan sekarang kita telah tahu bahwa IMM lahir memang merupakan suatu kebutuhan Muhammadiyah dalam mengembangkan sayap dakwahnya dan sekaligus merupakan suatu aset bangsa untuk berpartisipasi aktif dalam kemerdekaan ini.Karena IMM merupakan suatu kebutuhan intern dan ekstern itu pulalah, maka tokoh-tokoh PP Pemuda Muhammadiyah yang berawal dari HMI kembali keIMM sebagai anak atau ortom.
Pergerakan mahasiswa kian hari terus bergeliat menunjukkan eksistensinya sebagai agen sosial of change, Soekarno (1966) dan Soeharto (1998) lengser oleh gerakan mahasiwa. Keduanya dimakzulkan dengan alasan telah melanggar konsitusi. Kiprah mahasiswa sebagai pionir perubahan dalam mewujudkan ide dasar negara sesuai dengan konstitusi menempatkan mahasiswa sebagai kelompok masyarakat yang disegani. Setidaknya mahasiswa memiliki peran ganda, yaitu sebagai insan akademik (intelektual) dan agen perubahan sosial. Kedua kiprah tersebut dijalankan oleh setiap mahasiswa sebagai wujud pengabdian terhadap bangsa.
Dalam perjalanannya, gerakan mahasiswa tidak terlepas dari perubahan seiring dengan perubahan kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik tanah air. Terutama perubahan orientasi gerakan. Semula gerakan mahasiswa menyuarakan suara hati nurani rakyat yang mengacu pada terpenuhinya kepentingan dan kesejahteraan rakyat, kini hampir beralih orientasi pada keuntungan pribadi dan elit tertentu. Dalam perkataan lain, gerakan mahasiswa tidak lagi murni gerakan ideologis, melainkan gerakan yang ditunggangi kepentingan tertentu. Sehingga sering terjadi sebuah gerakan yang mengarah pada tindakan yang tidak pantas dilakukan oleh mahasiswa sebagai insan akademik dan agen perubahan sosial.
Memasuki era Reformasi yang sudah menginjak umur ke -13 tahun, ternyata bukan hanya gerakan kemahasiswaan saja yang sudah keluar dari jalur yang sebenarnya,  pemerintah pun belum juga menunjukkan pergerakan ke arah perbaikkan. Sistem pemerintahan yang digulirkan justru sangat membingungkan. Tiga elemen negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) saling sikut dan saling bantai sehingga keadaan negara semakin semrawut. Keadaan itu semakin diperparah dengan kondisi sosial masyarakat yang tidak stabil. Masyarakat  awam dibuat bingung dengan parodi politik para pejabat negara yang satu persatu menyusul “mesantren” di LP, mulai dari pejabat pemerintah, anggota dewan, penegak hukum, bahkan para elit politik pun seperti tidak mau ketinggalan. Tidak hanya itu, sistem ekonomi neo-liberalisme kepitalisme yang dijalankan pemerintah saat ini juga semakin memperparah kondisi bangsa kearah keterpurukan, yang mengakibatkan kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin kentara.
Belum usai masalah kebangsaan, ummat Islam semakin resah dengan kembali menghangatnya isu NII KW 9 (Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah 9) yang mengatasnamakan agama untuk menghancurkan agama, masyarakat semakin was-was terhadap gerakan yang satu ini, mereka takut jika anak-anak mereka ikut kedalam gerakan ini. Yang menjadi aneh adalah pemerintah seolah tak mau tahu, atau mungkin pura-pura tak tahu terhadap permasalahan ini. Tidak ada penanggulangan yang dilakukan, untuk setidaknya menelusuri dan menindak keberadaan NII KW 9 yang sekarang sudah menjadi rahasia umum lagi. Data-data sudah di depan mata, tapi apa mau dikata, kalau niat memang tidak ada. Ditambah lagi, Muhammadiyah sebagai Ormas Islam modern terbesar di Indonesia yang sejatinya memiliki tujuan menegakkan dan menjungjung tinggi ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya (Roni, 2010), justru ikut memperuncing keadaan, hal ini terlihat pada Musyawarah Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat yang diadakan di Tasikmalaya awal tahun ini. Salah seorang kader Muhammadiyah terpilih menjadi Ketua PWM Jawa Barat, tetapi setelah ditelusuri, ternyata kader tersebut melakukan kecurangan dengan adanya indikasi money politik. Maka semakin kompleks saja pemasalahan bangsa ini.
Organisasi kepemudaan, yang di dalamnya terdapat IMM, diharapkan menjadi jawaban nyata terhadap berbagai permasalahan bangsa. Sekali lagi, harapan itu belum dapat terwujud untuk waktu sekarang ini, karena IMM, dalam hal ini merupakan kader intelektual Muhammadiyah, belum mampu untuk berbuat kesana, pergerakan IMM masih cenderung ekslusif pada kader-kader di bawahnya saja, itupun masih tertaih-tatih. Pergerakan IMM belum mampu menyentuh keruang publik, baik itu ke intern Muhammadiyah sebagai organisasi induk, ataupun pada masyarakat secara umum. Kegiatan yang dilakukan hanya sebatas kajian-kajian tanpa pergerakan adapun kegiatan yang bersifat actuating, itupun masih dalam lingkup kader saja.  
Terkait dengan hal di atas, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sebagai salahsatu pionir gerakan mahasiswa di tanah air hendaknya tetap berpegang pada landasan organisasi dan mulai berbenah diri. Menata kembali arah gerakan supaya tidak terbawa pusaran arus yang menyesatkan. Reorientasi gerakan pada yang lebih baik mutlak harus dilakukan sejak dini. Tanpa hal itu Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah hanya tinggal nama yang kerap dibanggakan sebagai kejayaan masa lalu. Pembenahan yang pertama harus dilakukan adalah melakukan kaderisasi yang berkualitas dengan mendasarkan pada tri kompetensi kader yang meliputi intelektualitas, humanitas dan spiritualitas. Intelektualitas dapat mengantarkan kader menjadi insan akademik yang berpola pikir rasional dalam mengahadapi setiap permasalahan. Humanitas mendorong kader menjadi pendamping masyarakat dan melatih kepekaan sosial terhadap sesama. Dan spiritualitas membentuk kepribadian kader yang moralis dengan dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah harus menjadi pionir gerakan moral rasional yang membawa perbaikan bagi bangsa. Sebuah gerakan perubahan yang berdasarkan prinsip menjunjung tinggi moralitas, demokrasi, dan pluralisme dalam bingkai integrasi. Mudah-mudahan ini dapat terwujud sebagai bagian dari pelaksanaan tri fungsi kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Kader persyarikatan, kader keumatan dan kader kebangsaan.
Sebagai kader persyarikatan, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi otonom di bawah Muhammadiyah yang memiliki tujuan mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam ranka mencapai tujuan Muhammadiyah (Tanfidz keputusan Muktamar, 2010) yang merupakan kader intelektual bagi Muhammadiyah. Oleh karena itu, sudah sewajarnya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah menjadi sebuah organisasi otonom yang bersifat kritis terhadap perkembangan yang ada dalam organisasi induknya, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah jangan hanya menjadi “anak baik”  yang mengiyakan setiap perkataan dan perbuatan induknya, tetapi harus menjadi sebuah katalisator yang dinamis menyuarakan perbaikan dalam tubuh Muhammadiyah. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah harus mendukung Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Sebagai organisasi Islam modern terbesar di Indonesia yang selama ini dikenal sebagai sebuah organisasi massa. Muhammadiyah lebih banyak berperan dalam tataran sosial keagamaan. Ribuan sekolah, ratusan Rumah Sakit, dan puluhan perguruan tinggi telah didirikan. Namun hal itu belum dapat berjalan sempurna jika ternyata kader-kadernya tidak memiliki akhlak yang mulia. Karena sudah kita ketahui bahwa Islam adalah agama yang menyempurnakan akhlak. IMM dengan intelektualitas yang dimilikinya, mesti memberikan konstribusi positif bagi perbaikan Muhammadiyah secara keseluruhan. Tidak sulit mencari pengurus Muhammadiyah yang ahli dalam bidang muamalah, sebaliknya akan sulit ditemukan pengurus Muhammadiyah yang memiliki kedalaman ilmu agama yang mumpuni. Justru itulah bekal penting yang harus dimilki oleh setiap kader Muhammadiyah dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam bidang keummatan, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah panjang pergerakan ummat Islam Indonesia yang begitu dinamis. Setelah hampir 1 abad Muhammadiyah berdiri, ternyata penyakit masyarakat, dalam hal ini TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Khurafat) masih saja merajalela. Penyakit TBC ini, menurut kalangan sejarawan, antara lain diakibatkan dakwah walisongo yang belum tuntas. Sehingga, kondisi masyarakat Islam kala itu masih seperti masyarakat Islam Mekah. Saat berada di Mekah, Nabi Muhammad saw baru memberi pemahaman tentang tauhid, mengenai Islam serta ajaran-ajarannya. Beliau masih membiarkan ummatnya mempraktekkan amalan-amalan lama pengaruh dari agama dan kebudayaan seetempat.
Sebagai misal, beliau masih membiarkan sebagian sahabat-sahabatnya mabuk-mabukkan, berjudi, dan seterusnya. Beliau baru meluruskan amalan-amalan yang tak sesuai dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam itu setelah berada di Madinah. Di Madinah ini pulalah beliau mlai menegakkan hukum-hukum Islam. Berbagai praktek yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam beliau luruskan, bahkan beliau terapkan pula sanksinya.
Hal yang demikian itu pulalah yang dilakukakn Walisongo ketika mengislamkan Tanah Jawa. Tugas itu tidaklah ringan, mengingat ajaran  animisme, Hindu, dan Budha sudah begitu mengakar. Agama Islam bisa diterima masyarakat para wali terpaksa menggunakan idiom-idiom budaya serta agama setempat. Misalnya saja pengguanaan gamelan untuk mengumpulkan masyarakat, bedug untuk menyeru masyarakat melaksankan shalat, selamatan untuk memperingati orang yang meninggal dunia, dan seterusnya. Para Walisongo belum sempat melaksanakan hukum Islam secara ketat sebagaimana Rasulullah SAW saat di Madinah. Penyakit TBC itu juga diperparah oleh kedatangan kaum penjajah. Mereka sengaja memelihara penyakit masyarakat itu. Tujuannya agar ummat Islam terninabobokan, tidak memberontak.
Ternyata ummat Islam terninabobokan sampai sekarang. Karena penyakit masyarakat itu tidak juga hilang samapi saat ini, tidak hanya itu, bahkan akidah ummat Islam pun sudah tergoyahkan dengan arus globalisasi yang semakin mencenngkram ummat ini. Ini merupakan penjajahan bentuk baru yang dialami ummat Islam Indonesia. Westrenisasi yang tak pandang bulu terus menghantam akidah ummat yang sedang goyah dengan kondisi sosial ekonomi yang yang tak karuan.  Hal itu semakin mengkerdilkan pemikiran ummat ini dengan antipati terhadap pembaruan yang positif. Maka makin betah saja ummat ini dengan perilaku ibadah mereka yang menyimpang ini.  Padahal KH.A Dahlan telah mengajarkan kepada kita “Semua ibadah diharamkan keculai ada perintah dan semua muammalah (masalah dunia) boleh dilakukan kecuali ada larangan.” Yang bermakna bahwa semua ibadah itu harus berdasarkan al-Quran dan Hadits (Sunnah Rasulullah SAW). Apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah tak perlu dikerjakan.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sebagai kader intelektual Muhammadiyah mesti menjadi Muhammad Darwis masa kini, yang dengan daya fikir kritisnya peka terhadap permasalahan yang terjadi di masyarakat. Memiliki pengetahuan agama yang luas dan mendalam, berani memberikan perubahan positif dalam kehidupan beragama dimasyarakat dengan cara yang santun dan tidak mendeskriditkan orang lain. Ada banyak orang di sekeliling kita yang masih melakukan ritual-ritual yang tidak perlu dalam menjalankan agama. Tugas IMM lah untuk memberikan pengertian Islam yang benar kepada masyarakat.
 Islam adalah suatu agama yang hidup dalam sebagian besar rakyat Indonesia. Bukan itu saja, Islam adalah suatu ideologi. Islam bukan semata-mata suatu agama dalam arti hubungan manusai dengan Tuhan. Islam mengandung dua unsur. Unsur hubungan manusia denga Tuhan-Nya dan manusai dengan dengan sesama makhluk. Unsur ibadah dan muamalah. Unsur yang kedua ini, yaitu unsur muamalah, meliputi kehidupan secara perseorangan, kehidupan secara kekeluargaan, dan kehidupan kenegaraan (M. Natsir dalam Kholid .O Santosa, 2006).
Disinilah IMM dituntut untuk bersikap inklusif pada masyarakat, Descartes mengatakan “Cogito ergo sum, aku berfikir maka aku ada”. IMM adalah gerakan Intelektual yang memiliki kelebihan dalam hal pola fikir dan daya fikir, tapi berfikir saja tidak cukup, tapi harus direalisasikan dalam sebuah wacana, dan diimplementasikan dalam sebuah gerakan. Gerakan yang dilakukan adalah gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang memberikan pencerahan pada masyarakat tentang ajaran Islam yang sebenarnya.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, selain sebagai kader persyarikatan, keumatan, juga memiliki kepentingan dalam bidang politik. Ini terlihat dari doktrin IMM yang terdapat dalam trifungsi kader, yaitu kader kebangsaan. IMM memiliki asas Islam yang berarti doktrin tauhid sebagai landasan pergerakan. Lambang IMM dengan jelas memberikan sinyal pada kita untuk berfastabiqul khairat dalam kehidupan dengan memegang teguh dua kalimat syahadat. Dimana dua kalimat syahadat itu dijadikan landasan gerak dalam tiap amal.
Selanjutnya, keterlibatan IMM dalam perpolitikan nasional bukan berarti IMM itu berafiliasi dengan salah satu partai politik, tetapi IMM justru menjadi kontrol terhadap jalannya perpolitikan nasional. IMM harus peka terhadap isu-isu kebangsaan yang terjadi di Indonesia sebagai langkah awal gerak IMM sebagai agen kontrol sosial bagi kepentingan masyarakat. IMM harus vokal menyuarakan kepentingan-kepentingan masyarakat bawah dan menjadi jembatan antara masyarakat dengan pemerintah sehingga terjadi harmonisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Artinya kader IMM harus masuk kedalam semua elemen masyarakat dengan tanpa memilih-milih. Dampaknya bahwa kader IMM harus memiliki keilmuan yang luas dan mendalam sebagai bekal untuk terjun langsung kemasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
A.Zakaria, Etika Hidup Seorang Muslim, Azka, Garut, 2003
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Rosdakarya, Bandung, 2000.
Ali Syari’ati, Pemimpin Mustadh’afin, Muthahhari Papperback, Bandung, 2002
DPP IMM, Tanfidz Keputusan Muktamar XIV IMM di Bandung, Jakarta 2010.
Heri Sucipto & Nadjamuddin Ramly, Tajdid Muhammadiyah, Grafindo, Jakarta, 2005
http://imm, kotabandung.blogspot.com/2010/01/imm-sebagai-gerakan-moral.html
Kholid. O Santosa, Mencari Demokrasi, Sega Asri, Bandung, 2006.
Roni Tabroni, Etika Politik Muhammadiyah, Ar Raafii, Bandung, 2010.

BERITAHU TEMAN

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites