Tampilkan postingan dengan label Pemikiran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemikiran. Tampilkan semua postingan

Imam Shalat dan Pemimpin

Imam shalat adalah sebuah ‘jabatan’ yang sangat mulia dan memiliki tanggung jawab yang sanggat besar. Tidak setiap orang dapat menjadi imam dalam shalat karena harus memiliki kompetensi tertentu yang sudah menjadi konsesus ulama fiqih. Oleh karena itu, orang yang menjadi imam adalah orang yang terbaik diantara yang lainnya bukan berdasarkan lamanya hidup didunia tetapi kualitas individu yang dimiliki yang menyebabkan seseorang bisa menjadi seorang imam. Begitupun dengan seorang pemimpin harus memiliki kompetensi yang lebih dari yang lain, sehingga bisa membuat visi dan misi yang bisa dilaksanakan oleh para pembantu serta kebijakan yang dikeluarkan dapat dilaksanakan dengan baik oleh seluruh pembantunya. Dan hasilnya kemajuan atau kesejahtraan yang dicita-citakan akan dapat tercapai.
Namun yang menjadi persoalan adalah ketika seorang imam dan pemimpin dipilih bukan berdasarkan kompetensi yang ditetapkan tapi berdasarkan kekayaan dan kekuatan uang atau besarnya uang yang diberikan kepada masyarakat. Maka kemajuan yang diharapkan sulit karena pemimpin yang dipilih tidak memiliki keahlian dibidangnya, begitupun dengan seorang imam shalat bukan tidak mungkin akan menyebabkan tidak sahnya proses ibadah (shalat) karena kesalahan yang dilakukan atau diperbuat sang imam.
Kekeliruan Imam dan Pemimpin
Berbicara kekeliruan setiap orang meski pernah mengalami namun jangan sampai diulangi kembali, agar kredibelitas tidak tereduksi karena sering berbuat yang tidak sesuai dengan aturan janji yang disampaikan. Hal yang patut menjadi teladan dalam proses melaksanakan shalat berjamaah untuk seorang pemimpin atau pejabat publik. Ketika seorang dipilih menjadi seorang imam shalat maka semua mematuhi gerakan dan arahan dari imam tidak boleh ada yang membantah bahkan memprotes, selama semua itu dalam koridor aturan agama dan tidak melakukan kesalahan yang fatal.
Namun ketika imam melakukan kesalahan atau keluar dari koridor yang telah ditentukan imam harus dan akan diingatkan oleh makmun (umat) yang ada dibelakangnya. Dan hal ini dilakukan agar proses ibadah berjalan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, sehingga ibadah yang dilakukan tidak sia-sia. Yang menjadi imam ketika diingatkan tidak boleh dan tidak akan marah namun menyadari kesalahan dan memperbaiki kesalahannya.
Kita bandingkan dengan pemimpin yang ada di Negeri ini apakah seperti imam dalam shalat atau sebaliknya. Ketika masyarakat mengingatkan kesalahan pemimpinnya justru pimpinan kita membela diri dan balik mengkritik, bukan menyadari dan berterima kasih telah diingatkan. Sejatinya masyarakat itu mencintai pemimpinnya dan untuk kebaikan seluruh yang dipimpinnya. Namun gengsi dan arogansi telah mengalahkan filosofi shalat dalam proses kepemimpinan seseorang. Ini fakta bahwa shalat yang dilakukan hanya sebatas pada proses ritual semata belum pada tataran aplikasi nyata dan diterapkan dalam kehidupan sosial.
Metode Mengingatkan
Dalam shalat ada metode mengingatkan seorang imam apabila melakukan kekeliruan dan dengan maksud bukan untuk menjatuhkan atau menghinakan imam. Sebaliknya seorang imam justru harus peka terhadap kesalahan yang dilakukannya dan kembali kepada jalan yang benar. Ketika seorang imam membaca keliru satu ayat saja dalam bacaan shalatnya maka dengan cepat orang yang berada dibelakang mengingatkan, jadi orang yang ada di belakang imam atau wakil imam harus benar-benar orang yang memiliki kompetensi untuk menjadi seorang imam. Dan ketika keliru dalam gerakan shalat maka makmum yang berada dibelakang harus mengingatkan dengan membaca bacaan yang sudah ditentukan yaitu subhanallah  dan imam harus menyadari kekeliruannya dan kembali kepada aturan yang sesungguhnya. Begitu indanya kebersamaan dalam shalat ada proses kebersamaan dan saling mengingatkan antara pimpinan dan orang yang dipimpin.
Begitupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara maka filosofi dalam shalat berjamaah ini dapat dijadikan pegangan dalam kehidupan bernegara dan dijadikan acuan oleh seorang pemimpin. Dengan melihat metode mengingatkan dalam shalat maka dapat takwilkan atau diqiyaskan ketika seorang pemimpin keluar dari aturan yang sebenarnya maka seorang wakil harus selalu mengingatkan agar kembali kepada aturan yang sesungguhnya. Hal ini semata-mata dilakukan dengan ikhlas dengan tujuan untuk seluruh orang yang dipimpin. Maka ketika proses mengingatkan tersebut tidak boleh ada tendensi apapun, namun murni untuk perbaikan dan kebaikan bersama. Sebaliknya seorang pemimpin harus menyadari itu dan jangan arogan merasa orang yang paling benar sendiri.
Imam dan Ketegasan Pemimpin
Seorang imam shalat memiliki ketegasan dalam membawa jamaahnya dan telah memiliki idikator yang sangat jelas dan memiliki batasan yang jelas. Jadi semua makmum yang mengikutinya merasa yakin dan percaya apa yang dilakukan oleh imamnya. Maka dari itu seorang imam tidak boleh was-was atau ragu-ragu, seorang imam harus memiliki keyakinan yang nyata dan ketegasan sehingga makmum menjadi percaya kepada imam dan ibadah yang dilaksanakan sah dan benar.
Ini berlaku bagi seorang pemimpin yang harus memiliki ketegasan dalam memimpin bangsa agar rakyat yang dipimpinnya memiliki keyakinan bangsa ini akan maju. Namun akan menjadi sebaliknya apabila pemimpin peragu maka rakyat yang dipimpinnya akan kurang yakin dengan kemampuan yang sesungguhnya. Perlu diingat seorang pemimipin juga harus memiliki indikator yang jelas dalam mencapai program-programnya supaya masyarakatnya bisa mengevaluasi dan mengawasi. Dan ketidakjujuran yang dilakukan oleh para pembantu pemimpin dapat diminimalisir mungkin. Tulisan ini bukan untuk mencari kesalahan seorang pemimpin ataupun yang lainnya hanya kita dapat mengambil pelajaran dari proses Ibadah Shalat yang selalu kita lakukan.
Shalat yang selama ini kita lakukan hendaknya dapat kita ejawantahkan dalam prilaku sosial sehingga fungsi shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar dapat direalisasikan. Sejatinya juga perintah shalat dalam al-Qur’an dengan jelas yaitu disuruh menegakan shalat, hal ini kalau kita maknai secara mendalam adalah bukan hanya dilakukan tapi dapat difahami filosofi dari nilai-nilai shalat tersebut. Yang pada akhirnya segala apa yang dilakukan dalam shalat dapat dimanifestasikan dalam kehidupan yang nyata. Maka kalau sudah memahami nilai-nilai shalat dan dapat dilaksanakan dengan baik bukan tidak mungkin fungsi shalat seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an dapat terwujud.
Ketika semua itu terwujud maka segala bentuk ketidakjujuran yang menggerogoti kepercayaan bangsa ini terhadap pemimpinnya akan hilang dengan sendirinya. Disinilah sesungguhnya fungsi agama dalam kehidupan nyata, sehingga agama tidak difahami hanya sebatas ritual semata tetapi dapat diejawantakan dalam kehidupan sehingga pada akhirnya dapat menjadi kontrol kehidupan sosial masyarakat kita.
Negara baldatun toyibatun warrofun ghofur tidak hanya sebatas selogan tapi dapat diwujudkan dengan nyata. Untuk mencapai hal tersebut perlu adanya keterlibatan seluruh steakholder masyarakat sehingga menjadi gerakan sosial yang massif, dan dapat merubah kehidupan kebangsaan kearah yang lebih baik. Kita masih memiliki harapan terhadap bangsa ini untuk menjadi bangsa yang kuat dan disegani. Tidak perlu adanya formalisasi aturan agama dalam kehidupan bernegara tapi cukup mengamalkan filosfi shalat itu sendiri yang ada akan dengan baik dan tidak adanya pemakasaan terhadap umat Islam. Semoga bangsa ini bisa menjadi lebih baik serta terbebas dari korupsi dan kebohongan yang terus dilakukan oleh seluruh rakyat dan pimpinannya.
 *Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang dan Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.

Gagasan Profetik Kuntowijoyo

Gagasan profetik Kuntowijoyo berpijak pada tiga elemen utama: humanisasi (ta’muru bil ma’ruf), liberasi (tanhawna ‘anil munkar), dan transendensi (tu’minu billah). Konsep ini berakar dari Al-Qur’an Surah Ali Imran: 110: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah”. Konsepsi Kuntowijoyo diderivasikan dari tiga elemen yang Allah sebut sebagai prasyarat umat terbaik tersebut.
Menurut Kuntowijoyo, Amar Ma’ruf (menyuruh kepada yang baik) tidak hanya berada dalam konteks individual, melakukan kebaikan pada sesama. Ia harus ditransformasikan dalam konteks sosial budaya. Kuntowijoyo menafsirkannya sebagai emansipasi manusia kepada fitrah-nya: pada posisinya sebagai makhluk yang mulia. Inilah yang ia sebut sebagai humanisasi teosentris: kembalinya manusia pada fitrahnya sebagai makhluk Allah yang diberi tanggung jawab untuk mengelola bumi. Humanisasi berarti menebar kebaikan dengan titik pijak keadilan. Misi humanisasi adalah menempatkan manusia sebagai khalifatullah fil ‘ardli, pemimpin di muka bumi, yang mesti menjalankan misi keadilan. Upaya-upaya rekonstruksi ini perlu dijalankan dalam konteks sosial-budaya, termanifestasi dalam ruang-ruang publik yang konkret, dan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Sementara itu, Nahyi Munkar (mencegah kemunkaran) juga tidak bisa hanya dimaknai dalam kerangka individual. Secara sosial, nahyi munkar berarti pembebasan manusia atas penindasan dari manusia lainnya, pembebasan dari segala bentuk kegelapan (zhulumat), kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dsb. Juga pembebasan manusia atas kezaliman yang dilakukan oleh manusia lainnya. Artinya, konsep nahyi munkar memiliki implikasi gerakan dan struktural. Spirit pembebasan ini banyak ditemui dari puisi-puisi Kuntowijoyo, sebagaimana penulis kutip di atas: “Karena kakiku masih di bumi Hingga kejahatan terakhir dimusnahkan Hingga para du’afa dan Mustada’afin diangkat Tuhan dari penderitaan”.
Dalam pelbagai tulisannya, Kuntowijoyo juga banyak memberikan kritik-kritik sosial atas realitas yang ada. Ia banyak melihat kondisi sejarah sosial Indonesia yang diwarnai oleh praktik-praktik eksploitasi kapital. Potret penindasan ini muncul dalam bentuk oligarki antara pemodal besar dengan negara yang kemudian menyebabkan akses rakyat kecil atas ekonomi menjadi terhambat. Ia menyebutnya sebagai dhuafa dan mustadh’afin. Pembebasan juga perlu dilakukan pada praktik kezaliman ekonomi seperti ini. Spirit Marx atas pembebasan manusia dari keterasingan juga senada dengan konsepsi beliau tentang pembebasan.
Adapun tu’minu billah berarti pengembalian segala sesuatu pada hakikatnya yang paling mendasar: tauhid. Pada titik inilah gagasan ilmu sosial profetik menjadi penting. Gagasan tauhid tidak hanya berada pada level teologis, tetapi juga harus diterjemahkan melalui langkah-langkah sosial konkret. Konsep transendensi ini dapat dibaca melalui konsep tauhid sosial yang digagas Amien Rais dan Teologi Al-Ma’un yang dicanangkan KH. Ahmad Dahlan.
Wacana tauhid sosial mengejawantahkan tauhid dalam semua dimensi kehidupan. Menurut Amien Rais, Tauhid Sosial merupakan dimensi sosial dari konsep tauhid (pengesaan Allah secara mutlak), agar konsepsi tauhid yang telah terintegrasi di pola pikir umat Islam dapat dipraktikkan pada tataran masyarakat.Implikasi yang diharapkan dari Tauhid Sosial ini adalah munculnya manusia-tauhid (meminjam istilah Amien Rais, lihat Muzakki, 2004) yang mampu berpikir secara arif dengan landasan tauhid dan syariah. Tauhid harus ditransformasikan dalam bentuk akhlak dan etika sosial. Dalam konteks sosial-politik, etika tersebut tidak hanya diwujudkan dalam aktivitas berinteraksi dengan individu, tetapi juga dalam ruang-ruang publik. (Amien Rais, 1997).
Sementara itu, KH. Ahmad Dahlan memperkenalkan cara berpikir yang sederhana: mengamalkan perintah Allah dalam Al-Qur’an secara nyata. Dalam konteks ini, Kyai Dahlan mengajarkan murid-muridnya Surah Al-Ma’un secara berulang-ulang. Sudah barang tentu, murid-muridnya bertanya. . Kyai Dahlan kemudian mengajak murid-muridnya ke pasar dan membeli kebutuhan hidup sehari-hari mereka, lantas pergi ke tempat orang-orang miskin dan memberikan barang-barang tersebut kepada mereka. Tak cukup sampai di situ, Kyai Dahlan juga mengajak murid-muridnya untuk memelihara anak-anak yatim yang miskin, sebagaimana dipesankan dalam surah Al-Ma’un tersebut.
Ada satu semangat yang bisa ditangkap dari kisah sederhana tersebut. Kyai Dahlan mengajak kita untuk mengejawantahkan ajaran tauhid dan ayat-ayat Al-Qur’an dalam bentuknya yang sangat praksis dan implementatif, yaitu pengamalan nyata. Bentuk inilah yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai “Gerakan Sosial Muhammadiyah”.(Kuntowijoyo, 2008).
Menafsirkan Kuntowijoyo: Konteks Indonesia Kontemporer
Sebetulnya, gagasan Kuntowijoyo memiliki banyak relevansi dengan konteks Indonesia kontemporer. Saya akan melihat satu fakta saja dalam masalah Indonesia, yaitu adanya arus globalisasi yang tidak hanya memberi dampak positif bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga memberi dampak-dampak sosial negatif di semua aspek.
Kita sedang berada di era globalisasi. The world is flat, kata Thomas Friedman, seorang kolumnis di New York Times. Arus globalisasi yang dicirikan oleh “interconnectedness” –kata Martin Wolf— atau “distanciation” –menurut Anthony Giddens— menjadi tak lagi terhindarkan di seluruh pelosok dunia.
Serbuan-serbuan kultural tak ayal masuk ke generasi muda . Kita menghadapi problem yang cukup serius: mulai memudarnya sinyal religiusitas dalam masyarakat dunia, terutama di kalangan generasi muda. Berbicara mengenai globalisasi, maka akan berbicara pula mengenai fenomena sosial-budaya yang melintasi batas negara, mengakibatkan perubahan-perubahan sosial di berbagai aspek. James Rosenau, pakar Hubungan Internasional di George Washington University, telah memberikan dua kata kunci yang menentukan arah geraknya yang begitu luas ke berbagai penjuru dunia: integrasi dan fragmentasi.
Hal tersebut, jika kita tafsirkan secara lebih luas, dapat berarti bahwa globalisasi memiliki karakteristik “menyatukan aspek-aspek sosial ke dalam sebuah standard baru” dan memfragmentasikan standard tersebut ke berbagai penjuru dunia”. Implikasinya, terjadi perubahan kultural dan sosial. Globalisasi memiliki dua sisi. Di satu sisi, globalisasi membuat kemajuan teknologi dapat dirasakan oleh semua orang. Namun, di sisi lain globalisasi juga punya dampak sosial yang tak terelakkan bagi kehidupan.
Dalam era globalisasi, kondisi yang fragmentaris tersebut menimbulkan dampak negatif berupa perluasan dimensi dan lokus konflik. Maraknya gerakan transnasional serta pemahaman-pemahaman keagamaan yang bertabrakan dengan garis pemahaman yang sudah pakem –dalam bentuk radikalisme agama dan liberalisme pemikiran keamaan  juga membuat adanya konflik yang sama di tempat yang berbeda.
Problem lain adalah munculnya hegemoni dalam politik internasional yang mengatur order yang ada. Proses globalisasi pada perkembangannya bukan sebuah proses yang bebas nilai. Ia adalah sebuah jelmaan kepentingan dari kekuatan politik dan ekonomi yang mendominasi tata dunia saat ini. Proses globalisasi menawarkan nilai baru yang secara kultural berpotensi menggerus lokalitas dan tatanan baku yang ada. Jika tidak dihadapi, proses globalisasi akan berbenturan dengan upaya mempertahankan tradisi dan paham keagamaan. Globalisasi akan membentur nilai tradisi dan lokalitas yang ada, dan yang paling rawan terkena ekses ini adalah generasi muda. Pendeknya, kita akan melihat tidak hanya transformasi sosial progresif dalam bentuk kemajuan teknologi, tetapi juga keruntuhan budaya.
Gagasan Kuntowijoyo yang cukup relevan dalam melihat masalah ini adalah gagasan mengenai strategi budaya. Semua proses sosial, baik itu yang terjadi secara vertikal (dari negara ke masyarakat) maupun horisontal (antarmasyarakat) mesti memperhatikan nilai budaya. Kebijakan penanaman modal asing, misalnya, tidak hanya berdampak pada kondisi ekonomi-politik, melainkan juga punya ekses sosial-budaya. Kita dapat melihat banyaknya pertambangan yang mengalami konflik dengan petani dan masyarakat lokal karena menabrak rambu-rambu tradisi. Atau, persoalan pemiskinan struktural yang terjadi akibat negara memfasilitasi praktik-praktik akumulasi kapital. Tentu saja, ini memerlukan strategi kebudayaan dari semua pihak.
Strategi kebudayaan harus dimulai dari penghargaan atas nilai-nilai tradisi yang ada. Kebudayaan modern harus pula mempertimbangkan tradisi yang ada. Kuntowijoyo menyebut beberapa warisan tradisi di Sumatera, seperti Aceh, yang melihat al-malik al-adl sebagai sebuah konsep kepemimpinan yang adil. Pemimpin tidak harus demokratis, tetapi ia harus mampu mengayomi masyarakatnya dan bersikap adil tanpa pandang bulu. Atau, simbol-simbol kebudayaan di Jawa pada konsep “ngelmu” sebenarnya memiliki keterkaitan dengan cara hidup yang menyeluruh, menjadi panduan sederhana untuk menuntut ilmu apapun. Konsep seperti ini jika dihilangkan tidak hanya akan menggerus dasar kebudayaan, tetapi juga akan berpengaruh pada degradasi moral.
Ilmu Sosial Profetik sebagai Alat Transformasi Sosial
Kuntowijoyo memformulasikan konsep transformasi sosialnya ke dalam empat tahapan berikut: Dari teologi, bertransformasi ke dalam filsafat sosial, perumusan teori sosial, lalu perancangan agenda perubahan sosial. Dengan logika berpikir tersebut, Prof. Kunto ingin menyatakan pada semua aktivis gerakan, bahwa tidak mungkin berpikir melompat dari basis ideologi yang paling mendasar lantas langsung berpikir untuk menghadirkan perubahan sosial instan.
Perlu ada ketepatan pembacaan makro dan filosofis atas realitas sosial. Setelah pembacaan makro, perlu ada upaya untuk merumuskan teori dan aplikasi konkret dari pembacaan makro tersebut. Bagaimana caranya? tentu saja melalui riset-riset empiris yang dilakukan secara langsung. Sadar atau tidak, strategi perubahan sosial yang dirancang oleh banyak gerakan kontemporer cenderung melupakan perumusan teori sosial. Kita kadang terlalu asyik dalam pembahasan mengenai dikotomisasi mengenai Islam dan Barat dalam tataran normatif seperti referensi atau kerangka berpikir, tetapi melupakan rancangan metodologis.
Memang, kita sangat perlu membedakan cara berpikir “ala Barat” dengan “ala Islam” dalam tataran epistemologis. Akan tetapi, apakah kita harus menghabiskan waktu hanya untuk berdebat dalam soal-soal filsafat ilmu an sich? Mengapa kita tidak segera beranjak ke tahapan selanjutnya, yaitu perumusan teori sosial, jika cara pandang mengenai kebenaran kita sudah bersifat final?
Pada titik inilah gagasan ilmu sosial profetik (ISP) relevan diangkat. Menurut Azmy Basyarahil, ISP tidak hanya berhenti pada usaha menjelaskan realitas sosial. Tetapi, bergerak lebih jauh dengan mentransformasikannya menuju cita-cita masyarakat. ISP merumuskan tiga nilai penting sebagai pijakan, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi.
Sumber : www.bungsucikal.com

BERITAHU TEMAN

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites