Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Gerakan Budaya yang Terlupakan


Kritik Kuntowijoyo (Muslim Tanpa Masjid) bahwa Muhammadiyah adalah gerakan budaya tanpa kebudayaan penting menjadi catatan abad kedua nya.Ini terlihat saat Muhammadiyah sekadar meniru Kiai Dahlan tanpa memahami gagasan dan etos gerakannya. Daya kreatif pembaruan bagi kemajuan dan kesejahteraan umat terperangkap birokrasi organisasi, gurita pendidikan dan rumah sakit sehingga terasing dari kehidupan rakyat. Hal serupa dihadapi bangsa ini saat praktik pendidikan nasional menjadi ritual dan kehilangan etos budaya kreatif.
Awalnya, gerakan ini sibuk memberdayakan fakir miskin melalui pendidikan, kesehatan, dan aksi sosial. Seperti tesis Max Weber tentang Etika Protestan dengan paradigma this worldly, aktivis gerakan ini memandang kesalehan surgawi bisa dicapai dengan memajukan dan menyejahterakan rakyat tertindas.
Tahun 1930-an lebih sebagai gerakan kelas menengah kota ketika purifikasi dipahami sebagai pembersihan Islam dari tradisi bermuatan virus TBC (takhayul, bidah, k(c)hurafat). Akibatnya, kian kehilangan nuansa budaya dan terasing dari dinamika kehidupan mayoritas penduduk.
Citra antitradisi secara keras memberantas TBC seperti Wahabi adalah episode generasi kedua sesudah Kiai Dahlan wafat Februari 1923. Posisi Kiai sebagai abdi dalem keraton, yang saat itu menjadi pusat tradisi dan ikon budaya rakyat, tidak mungkin melancarkan kritik dan memberantas tradisi secara terbuka.
Posisi Kiai itu lebih jelas dalam paparan GBPH Joyokusumo, adik Sultan Hamengku Buwono X pada Sidang Tanwir ’Aisyiyah 2002, tentang peran Hamengku Buwono VII dalam kelahiran Muhammadiyah. Rajalah yang memberangkatkan Kiai naik haji, mengganti nama Mohammad Darwis menjadi Ahmad Dahlan, mendorong Kiai terlibat dalam Budi Utomo. Problem yang dihadapi generasi pendiri bukan tradisi lokal, tetapi penolakan umat terhadap sistem pendidikan dan kesehatan modern, penerjemahan Al Quran ke bahasa Melayu atau Jawa, pembagian zakat, fitrah, dan korban kepada fakir miskin.
Tujuan didirikan Muhammadiyah: a. memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam..., b. memajukan dan menggembirakan cara kehidupan sepanjang kemauan agama Islam.... Kegiatannya meliputi: a. mendirikan dan memeliharakan atau membantu sekolah yang diberi pengajaran agama Islam, lain dari ilmu-ilmu yang biasa diajarkan di sekolah; b. mengadakan perkumpulan sekutu-sekutunya dan orang-orang yang suka datang; ...dibicarakan perkara-perkara agama Islam; c. mendirikan dan memeliharakan atau membantu tempat sembah yang..., yang dipakai melakukan agama buat orang banyak; dan d. menerbitkan serta membantu terbitnya kitab-kitab... sebaran... khotbah, surat kabar ...yang muat perkara ilmu agama Islam, ilmu ketertiban cara Islam dan iktikad cara Islam... tetapi sekali-kali tiada boleh menyalahi undang-undang Tanah di sini dan tiada boleh melanggar keamanan umum atau ketertiban.
Masa itu anggotanya menjadi: anggota biasa, kehormatan, dan donatur. Anggota biasa ialah semua orang Islam, kehormatan ialah yang berjasa besar pada Muhammadiyah, donatur ialah siapa saja tanpa memandang agama dan kebangsaan yang bersedia memberi bantuan.
Sasaran kegiatan Muhammadiyah masa generasi pendiri ialah mengubah cara pandang umat tentang kehidupan duniawi melalui pendidikan, dakwah, penerbitan, pendirian tempat ibadah, penerjemahan Al Quran, penerbitan buku, pelatihan dan pendidikan guru desa dan guru keliling, santunan kesehatan dan ekonomi bagi fakir-miskin. Zakat mal dan fitrah, korban dan infak dikelola secara modern bagi peningkatan taraf hidup rakyat kebanyakan sehingga berkemajuan dan sejahtera. Dengan sendirinya umat akan menanggalkan tradisi TBC diganti ilmu dan teknologi.
Pengelolaan rumah sakit melibatkan dokter-dokter Nasrani Belanda yang bekerja sukarela, sekolah dikelola secara modern guna meningkatkan taraf hidup dan berperan dalam dunia modern. Umat mulai menyadari manfaat bekerja sama dengan semua pihak tanpa melihat agama dan kebangsaan bagi kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Citra gerakan berubah setelah Ahmad Dahlan wafat saat orientasi budaya digeser orientasi legal-formal. TBC diberantas dan bersamaan pembentukan lembaga tarjih tahun 1927. Nuansa budaya tergerus regulasi birokratis berbagai praktik ibadah dan amalan sosial.
Orientasi budaya bisa dibaca dari naskah Tali Pengikat Hidup Manusia, pidato Kiai dalam Kongres 1922 (Almanak Muhammadiyah 1923; lihat The Humanity of Human Life dalam Charles Kurzman Modernist Islam: A Sourcebook).
Bersediakah Muhammadiyah melakukan kritik budaya mengaktualkan kembali peran kreatif ijtihad membela duafa? Saatnya menjawab ”untuk siapa gerakan ini bekerja, untuk anggota atau bangsa dan kemanusiaan?”
Dari sini Muhammadiyah bisa berperan bagi kemajuan bangsa dan pemeliharaan martabat kemanusiaan universal. (http://www.bungsucikal.com)

Pengembangan Pemikiran Islam


Harus jujur diakui, meski telah memproklamirkan sebagai gerakan modernis-substansialis di Indonesia, tetapi masih tampak kegagapan dan kegamangan Muhammadiyah dalam mengaitkan doktrin agama dengan persoalan publik. Seperti tampak secara jelas (sering) keterlambatannya dalam merespon persoalan-persoalan politik, sosial, dan budaya yang berkembang begitu cepat. Di sisi lain, bahkan ada kecenderungan Angkatan Muda Muhammadiyah tengah mengembangkan wacana intelaktual “formalisme Islam”, yang tampak seperti gerakan “back to salaf”, dan gerakan jilbabisasi yang marak di kampus-kampus Muhammadiyah.
Dari semula, paham keagamaaan Muhammadiyah selalu mengaitkan dan mempertautkan dimensi ajaran ke sumber al-Qur’an dan Sunnah yang shahih dengan dimensi ‘Ijtihad’ dan ‘Tauhid’ dalam satu kesatuan yang utuh. Ibarat sebuah mata uang logam, paham keagamaan tersebut memiliki dua permukaan, yakni dua sisi permukaan yang dapat dibedakan antara keduanya, tetapi tidak dapat dipisahkan. Begitu pula hubungan antara adagium ‘kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah’ pada satu sisi dengan adagium lain yakni ‘ijtihad’dan ‘tajdid’. Keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Jika keduanya sampai terpisah atau sengaja dipisahkan maka paham keagaman tersebut tidak layak lagi digunakan sebagai predikat paham keagamaan Muhammadiyah. Menurut Amin Abdullah, dalam studi agama-agama, pemahaman dan pendekatan yang bersifat utuh komprehenshif tersebut disebut pendekatan yang bersifat scientific cum doctrinaire.
Tetapi sekali lagi, selama ini Muhammadiyah telah terjebak dalam kubangan puritanisme yang akut, sehingga adagium ar-ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah hanya semata-mata terkait dengan persoalan ibadah mahdlah, untuk tidak mengatakan hanya terfokus pada persoalan-persoalan fiqih. Tidak mencoba untuk dikembangkan dalam arti yang lebih luas dan fundamental yakni back to the principle of Qur’anic ethical values. Dan ‘ijtihad’ di Muhammadiyah hanya terkait dengan isu-isu hukum agama atau hukum-hukum fiqih an sich dan tidak melebar pada al-ulum al-kauniyyah dan al-hayat al-insaniyyah.
Kecenderungan konservatisme dalam alam pikiran Muhammadiyah tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, keterjebakan Muhammadiyah terhadap aktivisme yang cenderung memperluas demografi dan keanggotaan. Aktivisme tersebut mengakibatkan para aktivis Muhammadiyah terlalu bersifat politis-idiologis dan apologis ketimbang berfikir secara reflektif-kontemplatif dan folosofis. Kedua peran Majlis Tarjih sebagai thik-thank Muhammadiyah terlalu bersifat fiqh-oriented dan tekstual normatif. Kecenderungan ini telah menafikan konteks perkembangan jaman dan perubahan sosial yang menghajatkan suatu pola pemikiran keislaman yang asumtif-probabilistik-pluralis. Ketiga, di tingkat aplikasi praktis, muncul truth claim dari pensakralan produk-produk Majlis Tarjih seperti Himpunan Putusan Tarjih (HPT) terhadap masalah-masalah muamalah. Keempat, belum meluasnya tradisi berfikir empirik di kalangan para anggota Majlis Tarjih.
Sebuah Pendekatan
Dalam wacana klasik, secara bahasa ijtihad berarti antara lain “kesungguhan” mencurahkan segala kemampuan”, dan “menanggung beban”. Dari pengertian ijtihad yang dikatakan al-Ghazali di atas, dapat dipahami bahwa lapangan ijtihad hanya terbatas pada mengeluarkan hukum syara’ yang bersifat praksis dan yang merujuk kepada nash peringkat dzanni. Tetapi apakah wilayah ijtihad sesempit itu?
Dr. Yusuf al-Qordlawi termasuk salah seorang ulama terkemuka saat ini yang tidak membatasi ijtihad dengan tema terbatas hukum syara’, tetapi melebar pada persoalan-persoalan ijtima’iyah (kemasyarakat), iqtishadiyyah (ekonomi) dan siyasah (politik). Labih lanjut, dia menjelaskan bahwa ijtihad pada zaman modern ini merupakan sebuah kebutuhan, bahkan suatu keharusan bagi masyarakat Islam. Sambil merujuk pada pendapat Imam Hambali, Qordlawi berpendapat bahwa tidak boleh pada suatu masa vakum dari seorang mujtahid yang dapat dijadikan rujukan oleh masyarakat dalam persoalan-persoalan yang muncul di tengah-tengah mereka.
Muhammad Iqbal pernah mengatakan bahwa ijtihad adalah prinsip ‘gerak dalam Islam’, sambil mengutip Ibn Taimiyyah yang mengatakan bahwa al-haqiqatu fi al-a’yan la fi al-‘addzan (kebenaran terletak pada realitas, bukan pada konsepsi-konsepsi akal semata). Memang kemudian timbul pertanyaan, gerak macam apa yang dimaksud ? Apakah gerak tersebut berlaku semata-mata untuk hukum-hukum fiqih atau juga untuk berbagai aspek kehidupan?
Lebih lanjut Amin Abdullah mengelaborasi pertanyaan-pertanyaan di atas dengan melontarkan pertanyaan kritisnya, yakni mana yang perlu diprioritaskan ? Apakah back to the principle of Qur’anic ethical values yang dalam hal ini menggunakan pendekatan aksiologis, atau apakah pendekatan ushuliyyah al-bayaniyyah lewat qaidah ushuliyyah ? Atau kedua-duanya memang sama-sama penting, tetapi mempunyai wilayah kerja masing-masing?
Back to the principle of Qur’anic ethical values (pendekatan aksiologis) mempunyai ruang lingkup dan wilayah kerja yang bersifat universal inklusif, sedangkan pendekatan qa’idah bayaniyyah-ushuliyyah hanya mempunyai wilayah yang berrsifat partikular-eksklusif, yakni diperuntukkan khusus bagi kalangan sendiri. Lalu bagaimana hubungan yang proporsional antara keduanya ? Itu karena umat Islam selain hidup dalam dan dengan komunitasnya sendiri, mereka juga hidup dengan komunitas lain dalam era kemajemukan (pluralitas).
Pertanyaan-pertanyaan dari Amin Abdullah di atas dinilai sebagai sebuah kegelisahan intelektual paling awal sebelum memulai langkah konseptual untuk menggagas pendekatan baru dalam ijtihad Muhammadiyah. Sebenarnya langkah menuju ke sana sudah dirintis oleh beberapa kalangan kritis di Muhammadiyah, sebagai contoh terlontarkannya tiga corak pendekatan dalam mengembangkan pemikiran Islam di Muhammadiyah, yaitu pendekatan bayani, burhani dan irfani. Memang ketiga model pendekatan tersebut bukan gagasan genuine dari dalam Muhammadiyah, tetapi terambil dari konsep kritik nalar Arab al-Jabiri. Tetapi satu hal yang bebeda dengan al-Jabiri yaitu penerapan ketiganya yang tidak terpisah-pisah melainkan sebagai satu pola hubungan yang sirkuler. Amin Abdullah sendiri menamai teori tersebut dengan at-Ta’wil al-Ilmi.
Akan tetapi agaknya jalan ke arah metode baru ijtihad Muhammadiyah masih memerlukan perjuangan panjang. Dalam munas Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam beberapa waktu lalu di Padang, metode baru yang dirintis Amin Abdullah dkk. agaknya mengalami hambatan, karena sebagian peserta masih enggan dengan metode irfani menjadi salah satu metode atau pendekatan dalam berijtihad di Muhammadiyah, sungguh sebuah kesenjangan intelektual yang perlu untuk segera diretas.
Sebagai perbandingan akan penulis sampaikan ringkasan metode dan pendekatan ijtihad yang selama ini dipakai Muhammadiyah. Dalam Putusan Munas Tarjih XXIV majlis Tarjih dan pengembanganm pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah dinyatakan bahwa ijtihad adalah ‘Mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan ajaran Islam baik bidang hukum, aqidah, filsafat, tasawuf, maupun disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu”.
Sedangkan metode atau pendekatan yang dipakai dalam berijtihad, sesuai dengan keputusan Munas Majlis Tarjih PP Muhammadiyah XXIV di Malang, disepakati sebagai berikut : a) bayani (semantik), yaitu metode yang menggunakan pendekatan kebahasaan b) ta’lili (rasionalistik), yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan penalaran; c) istishlahi (filosofis), yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kemashlahatan.
Secara prinsip apa yang menjadi prinsip ijtihad Muhammadiyah tidak jauh berbeda dengan apa yang juga menjadi prinsip berijtihad Yusuf Qardlawi, masing-masing masih memiliki keterikatan dengan ijtihad terdahulu, khususnya dilihat dari metodenya. Hanya saja keduanya tidak mengikatkan diri pada madzab tertentu dan terikat pada syarat-syarat mujtahid, sebagaimana telah dikemukakan oleh ulama ushul fiqh. Pada sisi lain, keduanya menonjolkan aspek kemashlahatan umat atau maqashid al-Syar’iyyah.
Dari paparan metode atau pendekatan ijtidah dalam Muhammadiyah dapat dilihat begitu kentalnya pendekatan qa’idah bayaniyyah-ushuliyyah yang bercorak pertikular-eksklufif sehingga sulit untuk bisa mengatasi persoalan-persoalan yang bersifat lintas agama dan keyakinan. Padahal persoalan-persoalan yang bersifat lintas agama itu sangatlah mendesak untuk diselesaikan mengingat banyaknya persoalan bangsa yang berbasis hubungan antar agama.
Kritik kedua berkaitan mode ijtihad Muhammadiyah di atas adalah adanya asumsi bahwa sebagian hasil ijtihad ulama masa lampau adalah sudah final (qath’iy). Padahal pemikiran keagamaan bersifat open ended, terbuka, terus menerus dapat diperdebatkan, dipertanyakan, dikoreksi dan diangun kembali. Para ahli keislaman kontemporer mengatakan bahwa pemikiran keagamaan tidak boleh disakralkan atau disucikan. Begitu ia disakralkan atau disucikan, tanpa disadari ia berubah menjadi idiologi yang bersifat tertutup. Begitu ia tertutup, akan sangat sulit berkomunikasi dan berdialog dengan bentuk pemikiran-pemikiran sejawat yang lain.
Untuk itu perlu pendekatan baru dalam melakukan ijtihad di Muhammadiyah. Jangan sampai kritikan berbagai kalangan terhadap kelambanan pihak Islam dalam merespon persoalan zaman, seperti ketidakmampuan organisasi-organisasi Islam dalam menangani nasib TKI, diabaikan begitu saja. Sepertinya agama dipahami sebagai ajaran yang mengurusi masalah keagamaan an sich (baca : masalah-masalah fiqih), sedangkan masalah-masalah kemanusiaan dan kekinian (al-mu’ashir) dianggap bukan tanggung jawab agama.
Pendekatan dan metode baru ijtihad itu meliputi pemakaian alat-alat analisis yang tidak semata-mata berasal dari ulum ad-din, seperti ulum al-Qur’an, ulum al- Hadis maupun ushu al-fiqh, tetapi juga melibatkan ulum al-ijtima’iyyah (ilmu-ilmu sosial dan humaniora) seperti sosiologi, antropologi, sejarah, politik bahkan ulum al-lughawiyah al-mu’ashirah (ilmu-ilmu bahasa kontemporer). Dengan itu diharapkan akan ada warna baru baik dalam kerangka proses maupun hasil ijtihad. Disamping itu persoalan yang disentuh dalam proyek ijtihad meliputi segala aspek kemodernan yang memang membutuhkan jawaban-jawaban etis-normatif ajaran Islam. Ketidakpekaan agamawan dalam menyoroti masalah kemanusiaan adalah bentuk lain dari pemberian legitimasi terhadap pelanggaran kemanusiaan.
Jika agama terlambat dalam menangani dan mengatasi masalah kemanusiaan, agama akan mengalami dua masalah bersamaan15) : Pertama, agama akan manja dalam kemapanannya. Agama akan selalu dianggap sebagai doktrin yang mapan dan tak perlu melihat ke bawah. Agama akan selalu suci dalam kapasitasnya sebagai wahyu, bukan seperangkat nilai yang semestinya menyapa kemanusiaan. Kedua peran agama akan semakin sempit hanya pada masalah ritual belaka, yang kedua ini menjadikan agama tidak berarti apa-apa dalam panggung sejarah manusia.
Untuk itu Ijtihad dalam Muhammadiyah harus terkait dengan proyek untuk mendefinisikan posisi agama dengan tanggungjawab kemanusiaannya. Agama harus keluar dari persembunyaiannya di ruang privat yang sepi dan hening dan harus tampil keluar di arena publik yang ramai dengan berbagai masalahnya.
C. SEBUAH CONTOH PERSOALAN
a. Muhammadiyah dan pluralitas Agama
Berikut ini akan dipaparkan sebuah persoalan yang secara real ada dalam panggung sejarah kehidupan di mana Muhammadiyah melakukan aktifikas pergerakannya. Masalah pertama adalah bagaimana sikap Muhammadiyah dalam merespon persoalan pluralisme agama di Indonesia sedangkan masalah kedua adalah bagaimana Muhammadiyah berinteraksi dengan budaya lokal.
A. N. Wilson (1989)16), seorang jurnalis, dalam bukunya yang sangat sinis terhadap agama, Agains Religion : Why The Should Try to Live Without It (Melawan Agama : Mengapa Kita Harus Mencoba Hidup Tanpa Dia), mengatakan bahwa agama adalah tragedi umat manusia. Ia mengajak yang paling luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa manusia, namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidak ikut bertanggungjawab atas berbagai peperangan, tirani dan penindasan peperangan. Marx menggambarkan agama sebagai candu rakyat, tetapi agama jauh lebih berbahaya daripada candu. Agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain. Untuk mengklaim bagi diri mereka sendiri sebagai pemilik kebenaran.
Wilson dalam buku tersebut menunjukkan dilema dalaam konflik-konflok antar agama, yang jika diringkas, jika seseorang dalam sebuah agama konflik dengan orang lain yang berbeda agama akan dianggap sebagai “sebuah tindakan kebenaran melawan kedhaliman”. Sedang jika orang itu ada di agama lain yang dilawan itu, maka dia akan mengganggap sebaliknya, agamanya sendiri sebagai yang benar, melawan agama lawannya itu sebagai yang salah, yang dhalim. Tetapi jika seseorang berada di luar dua agama yang sedang konflik itu, ia akan melihat keduanya da dalam kesesatan, dan ia akan menganggap konflik yang sama-sama menggunakan klaim kebenaran itu sebagai kenaifan, karena jelas keduanya salah.
Wilson menggambaran bahwa agama yang ada dalam kenyataan itulah yang sering mewarnai konflik-konflik antar agama sepanjang zaman hingga hingga dewasa ini. Seorang beragama bisa mengatakan bahwa yang salah adalah yang beragama itu, yang tidak mengerti arti agamanya itu. Tetapi Wilson menjawab, “Kalau agama itu yang benar, namun tidak mampu mempengaruhi pemeluknya, lalu bagaimana membuktikan kebenaran agama itu? Dan apa gunanya agama yang benar namun tidak bisa mempengaruhi pemeluknya?”. Tentu hal itu menjadi sebuah pertanyaan retorik yang menggugah kearifan jawaban dari seorang penganut agama.
Dari gugatan Wilson di atas umat dapat merefleksikan apa yang bisa terjadi jika agama menjadi tertutup dan penuh kemunafikan. Lalu mengklaim kebenaran sendiri dengan mengirim ke neraka agama yang lain inilah yang menimbulkan problema yang studi agama-agama sebagai “masalah klaim kebenaran” (the problem of truch claim).
Nurcholish Madjid (1999)17), cendekiawan Muslim terkemuka Indonesia menawarkan sebuah teologi alternatif yang dia namai teologi pluralistik. Dalam defininisinya yang fundamental, teologi pluralistik adalah percaya bahwa seluruh kepercayaan agama lain ada juga dalam agama kita (all religions are the some different parths leading to some goal). Pada dasarnya semua agama adalah sama (dan satu), walaupun mempunyai jalan yang berbeda-beda untuk suatu tujuan yang sama dan satu. Dalam al-Qur’an, misalnya diilustrasikan bahwa semua Nabi dan Rsul itu adalah Muslim (orang yang pasrah kepada Allah). Semua agama para Nabi dan Rasul itu adalah Islam (berserah diri secara total kepada Allah). Sementara Islam par exellence adalah bentuk terlembaga dari agama yang sama, sehingga semua agama itu sebenarnya adalah satu dan sama. Perbedaannya hanyalah dalam bentuk syariah. Dalam bahasa keagamaan inilah yang disebut “jalan”. Semua agama adalah “jalan” kepada Tuhan. Di dalam al-Qur’an istilah jalan diekspresikan dengan banyak kata, sesuai dengan maknanya yang memang plural, adanya banyak jalan itulah yang dipakai al-Qur’an, seperti shirat, sabil, syari’ah, thariqah, minhaj, mansak (jamaknya manasik) dan maslak (jamaknya suluk).
Semua istilah seorang-olah menggambarkan bahwa jalan dalam beragama kelihatan tidaklah satu, tetapi banyak, dan sangat tergantung pada masing-masing pribadi yang mempunyai idiom sendiri-sendiri mengenai bagaimana beragama. Tetapi sesungguhnya jalan itu satu, tetapi jalurnya banyak. Inilah prinsip yang menggambarkan kesatuan dalam keanekaragaman. Misalnya dalam al-Qur’an Surat al-Maidah/5:16, Allah berfirman :
“Dengan itu Allah memberi petunjuk kepada siapa saja yang mengikuti keridlaan-Nya menuju jalan kedamaian dan keselamatan, dan mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, -dengan izin-Nya dan menunjuki mereka jalan yang lurus.”
Dalam ayat tersebut tidak dipakai kata sabilassalami tetapi dalam jamak (plural) subulassslami (berbagai jalan). Sehingga kira-kira tafsirnya, “Mereka yang sungguh-sungguh mencari jalan-Ku (ridla-Ku), pasti Kami akan tunjukkan berbagai jalan-Ku.”
Di tengah keragaman atau pluralitas keberagamaan pada masa kenabian Muhammad, tidaklah menghalangi beliau untuk mengembangkan sikap-sikap toletansi antar pemeluk agama atau kepercayaan yang berbeda. Bahkan, Muhammad pernah memberi suri tauladan yang sangat inspiring dihadapan para pengikutnya. Sejarah mencatat bahwa, Nabi pernah dikucilkan dan bahkan diusir dari tumpah darahnya (Makkah). Beliau terpaksa hijrah ke Madinah untuk beberapa lama dan kemudian kembali ke Makkah. Peristiwa itu dikenal dalam Islam dengan fathul Makkah. Dalam peristiwa yang penuh kemenangan ini, Nabi tidak menggambil langkah balas dendam kepada siapapun juga yang telah mengusirnya dahulu dari tanah kelahirannya. “Antum Tulaqa (kamu sekalian bebas)”, Begitu ucapan Nabi kepada mereka.
Peristiwa itu sangat memberi inspirasi dan memberi kesan yang mendalam terhadap penganut agama Islam di mana pun mereka berada. Nabi telah memberi contoh kongkret dan sekaligus contoh pemahaman dan penghayatan pluralisme keagamaan yang amat riel dihadapan umatnya. Tanpa didahului polemik pergumulan filosofis-teologis, Nabi tidak menuntut “truth claim” atas nama dirinya maupun atas nama agama yang dianutnya. Dia mengambil sikap agree in disagreement (al-Qur’an s. al-Takatsur : 1-8), dia tidak memaksakan agamanya untuk diterima oleh orang lain (al-Qur’an s. al-Kafirun : 1-6).
Etika Islam, sebagaiman telah disebut oleh George F. Hourani (1985), adalah sifat “Ethical Voluntarism”, sebenarnya mengandung dimensi historisitas keteladanan (uswatun hasanah) yang terpancar dari perilaku Nabi Muhammad SAW. Etika pemihakan terhadap fundamental values kemanusiaan sangat dijunjung tinggi oleh penganut Islam. Memihak kepada fundamental values, aturannya, berarti menepikan segala macam sekat-sekat teologis yang selama ini telah terkristal dan terbentuk oleh perjalanan hidup sejarah kemanusiaan itu sendiri dalam perspeksif Islam, konsepsi etika keberagamaan, khususnya yang menyangkut hubungan antar umat beragama, adalah bersifat sangat terbuka dan dialogis. Panggilan untuk mencari titik temu (kalimatun sawa’) antar berbagai penganut ahli kitab adalah tipikal model panggilan al-Qur’an.
Menciptakan kondisi ideal untuk mencapai titik temu antar umat beragama adalah merupakan kepentingan semua pihak dan tanggung jawab bersama. Beban itu sepenuhnya tidak dapat dipikul oleh umat Islam atau Protestan atau oleh pihak-pihak umat Katholik dan lain-lain secara sepihak. Hal demikian juga terjadi dalam sejarah kehidupan Nabi terutama yang terkait langsung dengan deklarasi “konstitusi Madinah” yang oleh Robert N. Bellah (1965) disebut sebagai deklarasi “modern” yang muncul sebelum peradaban manusia yang benar-benar modern timbul.
Dalam perspektif Islam, dasar-dasar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang pluralistik secara religius, sejak semula, memang telah dibangun di atas landasan normativ dan historis sekaligus. Jika ada hambatan atau anomali-anomali di sana sini, penyebab utamanya bukan karena inti ajaran Islam itu sendiri yang bersifat intoleran atau eksklusif, tetapi lebih banyak ditentukan dan dikondisikan oleh situasi historis-ekonomis-politis yang melingkari komunitas umat Islam di berbagai tempat. Kompetisi untuk menguasai sumber-sumber ekonomi, hegemoni kekuasaan, jauh lebih mewarnai ketidak-mesraan hubungan antar pemeluk beragama dan bukannya oleh kandungan ajaran etika agama itu.
 Itu sumbangan pemikiran yang perlu disampaikan kepada Muhammadiyah terkait dengan realitas pluralistik yang seringkali menimbulkan konfik antar-agama yang sangat akut adalah bagaimana menjadikan teologi pluralistik sebagai teologi baru (new teology) agar klaim-klaim kebenaran dapat terhapus dalam cara pandang warga Muhammadiyah. Dan tidak klah pentingnya adalah bagaimana Muhammadiyah sebagai institusi gerakan gerakan Islam mampu berbuat banyak dalam mengatasi konflik agama yang telah mengoyak persatuan dan persaudaraan bangsa.
Sedikitnya, ada dua langkah yang bisa dilakukan dalam kerangka pencegahan dan penanganan konflik antar agama. Satu, mengubah cara pandang umat terhadap agama dari citra yang impersonal menuju citra yang personal. Dari sesuatu yang simbolistik menjadi sesuatu yang substantif. Karena, memang, hal yang paling esensial dari keberadaan suatu agama bukanlah penyelenggaraan ritus-ritus dan upacara praksis keagamaan lainnya; melainkan bagaimana nilai-nilai keluhuran, keadilan, kemanusiaan, rahmat dan kedamaian -yang notebene merupakan pesan pokok turunnya agama itu sendiri-bisa teraplikasi dalam keseharian para pemeluknya. Dalam wawasan agama Islam misalnya, Allâh Swt. Berfirman: “Dan bukanlah kebajikan itu memasuki rumah-rumah [kabah] dari pintu belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang-orang yang bertakwa ” (Qs. 2; 189).
Agama bukanlah sekumpulan doktrin yang mati, statis, simbolis, ataupun utopis. Agama harus benar-benar dipahami sebagai kesatuan nilai-nilai tersebut di atas yang amat personal dan realistis. Sebab itulah penghayatan keagamaan yang baik bisa dilihat dari amal perbuatan, moralitas, serta praktek kehidupan sosial setiap umat.
Dua, mengembangkan dialog antar umat beragama. Sejauh ini, wacana dialog antar agama cenderung menjadi konsumsi kalangan elit umat beragama saja. Sementara pada tingkatan grass root umat, wacana ini relatif asing. Padahal, potensi konflik antar umat beragama justru menguat pada level akar rumput. Maka diperlukan pengembangan wacana dialog antar agama dengan lebih intens lagi melibatkan kalangan grass root umat.
Pada tahap awal, dialog tersebut bisa berupa kajian masing-masing umat terhadap ajaran agamanya tentang persaudaraan, kemanusiaan, interaksi antar umat beragama, dst. Karena toh pada setiap agama itu terdapat nilai-nilai universal yang bisa menyatukan persepsi setiap pemeluk agama yang berbeda akan hubungan sosial yang sehat dan wajar. Dan pada tahapan berikutnya, umat dari agama yang berbeda tersebut bisa mulai membicarakan permasalahan yang mereka hadapi secara bersama-sama, dalam format “kita” semua berbicara tentang “kita”. Bukan lagi dalam format “kami” berbicara tentang “kalian”.
b. Masalah Kearifan Muhamadiyah Atas Budaya Lokal
Sebagai sebuah kenyatan sejarah, begitu kata Kuntowijioyo, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat.
Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau budaya Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.
Berbeda dengan agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara begitu elastis. Baik itu yang berhubungan dengan pengenalan simbol-simbol Islami (misalnya bentuk bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan (untuk memahami nilai-nilai Islam).
Dapat kita lihat, masjid-masjid pertama yang dibangun di sini bentuknya menyerupai arsitektur lokal-warisan dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih toleran terhadap warna/corak budaya lokal. Tidak seperti, misalnya Budha yang masuk “membawa stupa”, atau bangunan gereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat. Dengan demikian, Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah (Arab), tempat lahirnya agama Islam.
Demikian pula untuk memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam kita dulu, memang lebih luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat yang heterogen setting nilai budayanya. Mungkin kita masih ingat para wali –yang di Jawa dikenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka dapat dengan mudah memasukkan Islam karena agama tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan kemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi “bingkisan” yang dibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam.
Sunan Kalijaga misalnya, ia banyak menciptakan kidung-kidung Jawa bernafaskan Islam, misalnya Ilir-ilir, tandure wis semilir. Perimbangannya jelas menyangkut keefektifan memasukkan nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat ruang gerak dakwah yang lebih memadai. Meminjam pendapat Mohammad Sobary (1994: 32)24) dakwah Islam di Jawa masa lalu memang lebih banyak ditekankan pada aspek esoteriknya, karena orang Jawa punya kecenderungan memasukkan hal-hal ke dalam hati. Apa-apa urusan hati. Dan banyak hal dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan budi. Islam di masa lalu cenderung sufistik sifatnya.
Akan tetapi Kaitannya dengan ketegangan kreatif antara dakwah Islam dengan budaya lokal, Amin Abdullah dalam sebuah tulisan di Suara Muhammadiyah mengingatkan para pelaku dakwah sekarang ini (muballigh/da’i) untuk pandai memilah-milah mana yang substansi agama dan mana yang hanya sekadar budaya lokal. Metode dakwah al-Qur’an yang sangat menekankan “hik-mah dan mau’idzah hasanah” adalah tegas-tegas menekankan pentingnya “dialog intelektual”, “dialog budaya”, “dialog sosial” yang sejuk dan ramah terhadap kultur dan struktur budaya setempat. Hal demkian menuntut ‘kesabaran’ yang prima serta membutuhkan waktu yang cukup lama, karena dakwah ujung-ujungnya adalah merubah kebiasaan cara berfikir (habits of mind) masyarakat.
Lalu akhir-akhir ini dapat melihat, misalnya, kelompok umat yang mempunyai orientasi keagamaan Syiah juga menggunakan sumber daya budaya. Penulis tidak tahu apakah Haddad Alwi itu mengikuti paham Syiah atau tidak, tapi kalau dilihat lagu-lagunya (misalnya lagu ana madinatul ‘ilm, wa-aliyyu babuha) sungguh luar biasa. Itu merupakan representasi dakwah Syiah yang memakai instrumen budaya dan hasilnya sangat efektif.
Wujud dakwah dalam Islam yang demikian tentunya tidak lepas dari latar belakang kebudayaan itu sendiri. Untuk mengetahui latar belakang budaya, diperlukan sebuah teori budaya. Menurut Kuntowijoyo dalam magnum opusnya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, sebuah teori budaya akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut: Pertama, apa struktur dari budaya. Kedua, atas dasar apa struktur itu dibangun. Ketiga, bagaimana struktur itu mengalami perubahan. Keempat, bagaimana menerangkan variasi dalam budaya.
Persoalan pertama dan kedua, akan memberikan penjelasan mengenai hubungan antar simbol dan mendasarinya. Paradigma positivisme –pandangan Marx di antaranya– melihat hubungan keduanya sebagai hubungan atas bawah yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi, yakni modus produksi.
Berbeda dengan pandangan Weber yang dalam metodologinya menggunakan verstehen atau menyatu rasa. Dari sini dapat dipahami makna subyektif dari perbuatan-perbuatan berdasarkan sudut pandang pelakunya. Realitas ialah realitas untuk pelakunya, bukan pengamat. Hubungan kausal –fungsional dalam ilmu empiris-positif– digantikan hubungan makna dalam memahami budaya. Sehingga dalam budaya tak akan ditemui usaha merumuskan hukum-hukum (nomotetik), tapi hanya akan melukiskan gejala (ideografik).
Dengan demikian, mengikuti premis Weber di atas, dalam simbol-simbol budaya yang seharusnya dipahami atau ditangkap esensinya adalah makna yang tersirat. Dari sini lalu dapat dikatakan bahwa dalam satu makna (esensi), simbol boleh berbeda otoritas asal makna masih sama.
Dari kerangka berfikir di atas, dapat dipakai untuk menilai sekaligus memaknai fenomena budaya yang ada di masyarakat yang selama ini dibid’ahkan oleh Muhammadiyah, ruwahan, nyadran, sekaten tahlilan, selamatan, berjanjen, kholdan puji-pujian. Dalam bahasa Kuntowijoyo inilah gejala gerakan kebudayaan baru Muhammadiyah yang tanpa kebudayaan lama.
Semua tradisi yang tersebut diatas, pada level penampakannya (appearence) adalah simbo-simbol pengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga dapat mengungkapkan makna ‘subyektif’ (kata ini mesti diartikan sejauhmana tingkat religiusitas pemeluknya) dari pelakunya. Tindakan seperti ini ada yang menyebut sebagai syahadat yang tidak diungkapkan, tetapi dijalankan dalam dimensi transeden dan imanen.
Dengan kata lain high tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika ingin ditampakkan, perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition yang niscaya merupakan hasil pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisi tahlilan misalnya, high tradition yang diusung adalah taqarrub ilallah, dan itu diapresiasikan dalam sebuah bentuk dzikir kolektif yang dalam tahlilan kentara sekali warna tradisi jawaismenya. Lalu muncul simbol kebudayan bernama tahlilan yang didalamnya melekat nilai ajaran Islam. Dan Kuntowijiyo merekomendasikan kepada umat Islam untuk berkreasi lebih banyak dalam hal demikian, karena akan lebih mendorong gairah masyarakat banyak menikmati agamanya.
Hanya saja yanag perlu dikoreksi adalah bahwa simbol-simbol (pengungkapan) tadi pada dasarnya adalah kata benda. Sedangkan menurut logika berpikir, kata benda atau simbol-simbol tadi yang sering diperdebatkan untuk kemungkinan disalahkan atau dibenarkan. Perdebatan simbol itu akan menggiring kita untuk kemudian memitoskan sesuatu.
Dengan kata lain, yang bisa dibenarkan atau disalahkan adalah pernyataan yang menyertai (kata benda tadi). Pendek kata, nyadran yang bagaimana? Ruwahan yang bagaimana? Sebab ritus-ritus tersebut, sebagai suatu simbol (pengungkapan) dapat direkayasa oleh pernyataan-pernyataan yang menyertainya. Nah, kita dapat menilainya (benar atau salah) dari pernyataan itu, bukan simbolnya. Memang itu tugas besar bagi pemikir maupun tokoh-tokoh Islam kita sekarang. Orang zaman dahulu menciptakan simbol agar perasaan kita tajam. Namun apa yang terjadi sekarang? Karena pengaruh pemikiran Barat (baca: positivisme) kita menangkap semua itu dengan visi dan paradigma positivisme. Sehingga makna yang tersembul dalam ritus-ritus itu dipahami dengan kacamata fiqih ansich. Artinya, simbol-simbol budaya yang hanya menjelaskan gejala, sering dihakimi supaya dapat menentukan hukum-hukum halal haram.




DAFTAR PUSTAKA
A.N. Wilson, Againt Religion, Why The Should Try to Live Without It, London : Chattp and Windus,1986
Amin Abdullah, “Al-Ta’wil Al-‘Ilm : Keraah Perubahan Paradigma Penafsran al-Qur’an”, dalam Journal of Islamic Studies al-Jam’iah, Yogyakarta : State Institute of Islamic Studies (IAIN) Sunan Kalijaga,2001
_____________Tauhid Sosial ke Tauhid Ke Dakwah Kultural”, dalam Suara Muhammadiyah, No 24/TH.Ke-87//16-31 Desember 2002
_____________, “Manhaj Trajih dan Pengembangan Pemikiran Keislaman” dalam Muhammad Azhar dan Hamim Ilyas, Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah ; Purifikasi & Dinamisasi, Yogyakarta LPPi UMY, 2000
_____________, Dinamika Islam Kultural, Bandung : Mizan, 2000
_____________, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme transendental, Bandung : Mizan, 2001
___________, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, Bandung : Mizan, 1990
___________, Pengantar Buku Membendung Arus, Alwi Syihab, Bandung : Mizan.
Mammad Azar dan Hamim Ilyas, Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah ; Purifikasi & Dinamisasi, Yogyakarta LPPi UMY, 2000
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan : Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1996
_______________, Islam Doktrin dan Peradaban, Badung : Mizan, 2000.
PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, Hasil Keputusan Munas Tarjih ke XXIV, Malang : Universitas Muhammadiyah Malang, 22-24 Syawal 1420 H.
Robert N. Bellah (ed)., Religion and Progress in Modern Asia, New York : The Free Press, 1965.
Yusuf Qardlawi, al-Ijtihad al-Mu’ashir Baina al-Indilbath wa al-Infirath, terj. Abu Bazani, Surabaya : Risalah Gusti, 1995
(Tulisan Muhammad Amilan untuk DAM Sukoharjo)


Ahmad Dahlan dimata Peneliti


Penelitian tentang sosok KH. Ahmad Dahlan akan terus dilakukan dan bermuculan. Sosok KH. Ahmad Dahlan sangat unik untuk dibahas dan diteliti, orang yang sedikit sekali meninggalkan karya yang berupa tulisan namun kaya akan karya nyata. Dalam buku karya M. Yusron Asrofie yang berjudul KH. Ahmad Dahlan: Pemikiran dan Kepemimpinannya. Buku yang semula skripsi penulis ketika menyelesaikan kuliah sarjananya ini, membahas pemikiran KH. Ahmad Dahlan dalam bukunya tersebut dibahas bahwa KH. Ahmad Dahlan tidak terlalu membahas masalah teologi antara hubungan manusia dengan Allah Swt namun KH. Ahmad Dahlan lebih sering membahas amal yang berimplikasi pada tatanan kehidupan sosial. Dalam hal ini dapat terlihat bahwa sosok KH. Ahmad Dahlan orang yang sangat peduli terhadap kehidupan sosial dan nasib warga masyarakat sekitar. Untuk menghindari siksa api neraka dalam pandangan KH. Ahmad Dahlan tidak hanya berhenti pada ibadah ritual semata namun harus diwujudkan dalam aksi nyata membantu masyarakat. Kesalehan individu tidak memiliki manfaat apabila tidak ditransformasikan dalam kesalehan sosial, pemahaman keagamaan tidak berhenti pada tataran teori namun diwujudkan dalam aksi nyata. Ibadah ritual saja tidak cukup untuk menghindarkan seseorang dari siksa api neraka, tapi harus dibarengi dengan peran sosialnya dalam kehidupan masyarakat.
Kemudian dalam buku yang sama dijelaskan tentang kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan selama memimpin Muhammadiyah. Namun sosok kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan sebelum mendirikan Muhammadiyah juga dibahas namun tidak begitu mendalam. Selain itu, dibahas tentang sosok KH. Ahmad Dahlan dalam kapasitasnya sebagai tokoh Islam dalam memimpin usaha kemerdekaan. Dalam buku ini dijelaskan bagaimana kapasitas KH. Ahmad Dahlan dalam berhubungan dengan organisasi-organisasi lain.
Dalam buku yang lain yaitu karya Abdul Munir Mulkhan yang berjudul : Warisan Intelektual KH. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah. Dalam buku ini penulis mencoba mempertegas gerakan Muhammadiyah yang sudah mengalami pendangkalan makna. Muhammadiyah yang diawal berdirinya lebih mengedepankan kerja sosial direduksi hanya mengurusi masalah Tahayul, Bid’ah dan Khurafat padahal KH. Ahmad Dahlan lebih sering mengedepankan kerja sosial.
Disini penulis ingin mengaris bawahi bahwa peran KH. Ahmad Dahlan yang sangat universal sering dipersempit. Padahal esensi dari gerakan yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan ini berpusat pada gerakan memberikan solusi bukan mencaci, kita dapat melihat dari berbagai literatur bahwa kehidupan KH. Ahmad Dahlan penuh dengan kerja sosial yang selalu memberikan aksi nyata dalam setiap masalah yang dihadapi oleh umat Islam. Disinilah letak keunggulan KH. Ahmad Dahlan dalam berdakwah. Dakwah yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan tidak hanya dengan bil lisan tapi dengan bil hal atau dengan kegiatan nyata. Dalam bahasa lainnya bukan hanya teoritis namun garakan prkasis.
Kemudian kita dapat menemukan kajian tentang KH. Ahmad Dahlan dalam bukunya Junus Salam, yang berjudul: Riwayat Hidup KH. Ahmad Dahlan, Amal dan perjuangannya. Dalam buku ini hanya membahas nasehat-nasehat KH. Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya, selain hal itu dalam buku ini juga membahas bagaimana perjuangan KH. Ahmad Dahlan dalam mendirikan organisasi Muhammadiyah. Namun dalam buku ini tidak ditemukan bagaimana KH. Ahmad Dahlan memberikan pelajaran pendidikan kepada para muridnya. Buku ini hanya membahas sisi perjuangan KH. Ahmad Dahlan dalam memperjuangan organisasi Muhammadiyah.
Dalam karya Abdul Munir Mulkhan, di dalam bukunya yang berjudul Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan; dalam Hikmah Muhammadiyah. Dalam buku ini menjelaskan mengenai pesan dan kisah KH. Ahmad Dahlan. Dalam kajian buku ini pula menjelaskan bagaimana cita-cita beliau mendirikan organisasi ini yakni menciptakan para pendidik Islam di Nusantara ini menjadi seseorang yang memiliki daya intelektual yang tinggi. Agar menjadi contoh bagi masyarakat lainnya. Dalam untaian hikmah Muhammadiyah, merupakan nisbat pandangan keagamaan dan penyebaran nilai-nilai kehidupan daripada pemimpin para tokoh-tokoh Muhammadiyah. Demikian pula pola kehidupan pendiri gerakan ini, KH. Ahmad Dahlan yang hingga kini beberapa nasehatnya masih terus hidup dalam sanubari aktivis Muhammadiyah dipusat kota atau yang berada jauh didaerah terpencil.
Dari keempat buku yang penulis ungkapkan diatas semuanya hanya berfokus pada pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan amal nyata. Belum menyentuh pada hal yang bersifat fundamental dalam kehidupan umat Islam. Dalam hal inilah penulis merasa tertarik untuk meneliti Konsep Pendidikan Aqidah yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan, karena belum ada penelitian yang khusus membahas hal ini. Tentunya ini menjadi sangat menarik karena akan sangat berbeda dengan hasil penelitian dari penulis sebelumnya. KH. Ahmad Dahlan merupakan pendidik sejati yang pernah ada, tidak mengenal adanya dikotomi pendidikan. Keyakinan yang dia yakini ini dibuktikan dengan kegiatan KH. Ahmad Dahlan dalam mengajar disekolah umum (nasrani) dan madrasah. Hal inilah yang akan membedakan hasil penelitian penulis dengan penelitian-penelitian sebelumnya karena fokus pada metode pengajaran yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan. Penelitian ini menjadi sangat mungkin dilakukan karena sumber dan literatur yang ada sangat banyak sekali, sehingga dapat mendukung dalam proses penelitian tentang sosok KH. Ahmad Dahlan.

Imam Shalat dan Pemimpin

Imam shalat adalah sebuah ‘jabatan’ yang sangat mulia dan memiliki tanggung jawab yang sanggat besar. Tidak setiap orang dapat menjadi imam dalam shalat karena harus memiliki kompetensi tertentu yang sudah menjadi konsesus ulama fiqih. Oleh karena itu, orang yang menjadi imam adalah orang yang terbaik diantara yang lainnya bukan berdasarkan lamanya hidup didunia tetapi kualitas individu yang dimiliki yang menyebabkan seseorang bisa menjadi seorang imam. Begitupun dengan seorang pemimpin harus memiliki kompetensi yang lebih dari yang lain, sehingga bisa membuat visi dan misi yang bisa dilaksanakan oleh para pembantu serta kebijakan yang dikeluarkan dapat dilaksanakan dengan baik oleh seluruh pembantunya. Dan hasilnya kemajuan atau kesejahtraan yang dicita-citakan akan dapat tercapai.
Namun yang menjadi persoalan adalah ketika seorang imam dan pemimpin dipilih bukan berdasarkan kompetensi yang ditetapkan tapi berdasarkan kekayaan dan kekuatan uang atau besarnya uang yang diberikan kepada masyarakat. Maka kemajuan yang diharapkan sulit karena pemimpin yang dipilih tidak memiliki keahlian dibidangnya, begitupun dengan seorang imam shalat bukan tidak mungkin akan menyebabkan tidak sahnya proses ibadah (shalat) karena kesalahan yang dilakukan atau diperbuat sang imam.
Kekeliruan Imam dan Pemimpin
Berbicara kekeliruan setiap orang meski pernah mengalami namun jangan sampai diulangi kembali, agar kredibelitas tidak tereduksi karena sering berbuat yang tidak sesuai dengan aturan janji yang disampaikan. Hal yang patut menjadi teladan dalam proses melaksanakan shalat berjamaah untuk seorang pemimpin atau pejabat publik. Ketika seorang dipilih menjadi seorang imam shalat maka semua mematuhi gerakan dan arahan dari imam tidak boleh ada yang membantah bahkan memprotes, selama semua itu dalam koridor aturan agama dan tidak melakukan kesalahan yang fatal.
Namun ketika imam melakukan kesalahan atau keluar dari koridor yang telah ditentukan imam harus dan akan diingatkan oleh makmun (umat) yang ada dibelakangnya. Dan hal ini dilakukan agar proses ibadah berjalan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, sehingga ibadah yang dilakukan tidak sia-sia. Yang menjadi imam ketika diingatkan tidak boleh dan tidak akan marah namun menyadari kesalahan dan memperbaiki kesalahannya.
Kita bandingkan dengan pemimpin yang ada di Negeri ini apakah seperti imam dalam shalat atau sebaliknya. Ketika masyarakat mengingatkan kesalahan pemimpinnya justru pimpinan kita membela diri dan balik mengkritik, bukan menyadari dan berterima kasih telah diingatkan. Sejatinya masyarakat itu mencintai pemimpinnya dan untuk kebaikan seluruh yang dipimpinnya. Namun gengsi dan arogansi telah mengalahkan filosofi shalat dalam proses kepemimpinan seseorang. Ini fakta bahwa shalat yang dilakukan hanya sebatas pada proses ritual semata belum pada tataran aplikasi nyata dan diterapkan dalam kehidupan sosial.
Metode Mengingatkan
Dalam shalat ada metode mengingatkan seorang imam apabila melakukan kekeliruan dan dengan maksud bukan untuk menjatuhkan atau menghinakan imam. Sebaliknya seorang imam justru harus peka terhadap kesalahan yang dilakukannya dan kembali kepada jalan yang benar. Ketika seorang imam membaca keliru satu ayat saja dalam bacaan shalatnya maka dengan cepat orang yang berada dibelakang mengingatkan, jadi orang yang ada di belakang imam atau wakil imam harus benar-benar orang yang memiliki kompetensi untuk menjadi seorang imam. Dan ketika keliru dalam gerakan shalat maka makmum yang berada dibelakang harus mengingatkan dengan membaca bacaan yang sudah ditentukan yaitu subhanallah  dan imam harus menyadari kekeliruannya dan kembali kepada aturan yang sesungguhnya. Begitu indanya kebersamaan dalam shalat ada proses kebersamaan dan saling mengingatkan antara pimpinan dan orang yang dipimpin.
Begitupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara maka filosofi dalam shalat berjamaah ini dapat dijadikan pegangan dalam kehidupan bernegara dan dijadikan acuan oleh seorang pemimpin. Dengan melihat metode mengingatkan dalam shalat maka dapat takwilkan atau diqiyaskan ketika seorang pemimpin keluar dari aturan yang sebenarnya maka seorang wakil harus selalu mengingatkan agar kembali kepada aturan yang sesungguhnya. Hal ini semata-mata dilakukan dengan ikhlas dengan tujuan untuk seluruh orang yang dipimpin. Maka ketika proses mengingatkan tersebut tidak boleh ada tendensi apapun, namun murni untuk perbaikan dan kebaikan bersama. Sebaliknya seorang pemimpin harus menyadari itu dan jangan arogan merasa orang yang paling benar sendiri.
Imam dan Ketegasan Pemimpin
Seorang imam shalat memiliki ketegasan dalam membawa jamaahnya dan telah memiliki idikator yang sangat jelas dan memiliki batasan yang jelas. Jadi semua makmum yang mengikutinya merasa yakin dan percaya apa yang dilakukan oleh imamnya. Maka dari itu seorang imam tidak boleh was-was atau ragu-ragu, seorang imam harus memiliki keyakinan yang nyata dan ketegasan sehingga makmum menjadi percaya kepada imam dan ibadah yang dilaksanakan sah dan benar.
Ini berlaku bagi seorang pemimpin yang harus memiliki ketegasan dalam memimpin bangsa agar rakyat yang dipimpinnya memiliki keyakinan bangsa ini akan maju. Namun akan menjadi sebaliknya apabila pemimpin peragu maka rakyat yang dipimpinnya akan kurang yakin dengan kemampuan yang sesungguhnya. Perlu diingat seorang pemimipin juga harus memiliki indikator yang jelas dalam mencapai program-programnya supaya masyarakatnya bisa mengevaluasi dan mengawasi. Dan ketidakjujuran yang dilakukan oleh para pembantu pemimpin dapat diminimalisir mungkin. Tulisan ini bukan untuk mencari kesalahan seorang pemimpin ataupun yang lainnya hanya kita dapat mengambil pelajaran dari proses Ibadah Shalat yang selalu kita lakukan.
Shalat yang selama ini kita lakukan hendaknya dapat kita ejawantahkan dalam prilaku sosial sehingga fungsi shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar dapat direalisasikan. Sejatinya juga perintah shalat dalam al-Qur’an dengan jelas yaitu disuruh menegakan shalat, hal ini kalau kita maknai secara mendalam adalah bukan hanya dilakukan tapi dapat difahami filosofi dari nilai-nilai shalat tersebut. Yang pada akhirnya segala apa yang dilakukan dalam shalat dapat dimanifestasikan dalam kehidupan yang nyata. Maka kalau sudah memahami nilai-nilai shalat dan dapat dilaksanakan dengan baik bukan tidak mungkin fungsi shalat seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an dapat terwujud.
Ketika semua itu terwujud maka segala bentuk ketidakjujuran yang menggerogoti kepercayaan bangsa ini terhadap pemimpinnya akan hilang dengan sendirinya. Disinilah sesungguhnya fungsi agama dalam kehidupan nyata, sehingga agama tidak difahami hanya sebatas ritual semata tetapi dapat diejawantakan dalam kehidupan sehingga pada akhirnya dapat menjadi kontrol kehidupan sosial masyarakat kita.
Negara baldatun toyibatun warrofun ghofur tidak hanya sebatas selogan tapi dapat diwujudkan dengan nyata. Untuk mencapai hal tersebut perlu adanya keterlibatan seluruh steakholder masyarakat sehingga menjadi gerakan sosial yang massif, dan dapat merubah kehidupan kebangsaan kearah yang lebih baik. Kita masih memiliki harapan terhadap bangsa ini untuk menjadi bangsa yang kuat dan disegani. Tidak perlu adanya formalisasi aturan agama dalam kehidupan bernegara tapi cukup mengamalkan filosfi shalat itu sendiri yang ada akan dengan baik dan tidak adanya pemakasaan terhadap umat Islam. Semoga bangsa ini bisa menjadi lebih baik serta terbebas dari korupsi dan kebohongan yang terus dilakukan oleh seluruh rakyat dan pimpinannya.
 *Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang dan Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.

Enam 'W' Bikin Hidup Sukses

Siapa yang tidak ingin sukses dalam hidupnya? Semua orang pastilah ingin sukses, tidak hanya sukses dunia tetapi juga sukses akhirat. Meraih kesuksesan itu membutuhkan sebuah proses, tidak bisa secara instant. Butuh perjuangan yang sangat keras, tidak mudah putus asa ketika menghadapi masalah hidup ini. Masalah itu muncul sebagai ujian keimanan kita. Apakah kita lulus atau tidak? Itu semua tergantung bagaimana kita menyikapi persoalan-persoalan dalam hidup kita.
Jika kita ingin sukses di dunia dan di akhirat, maka selalu ingatlah 6 ”W” yang merupakan nasehat dari Imam Al-Ghazali :
What is the nearest to us in this world?
Mungkin kita berpikir yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini adalah ibu karena ibulah yang mengandung, melahirkan, merawat dan mendidik dengan penuh kasih sayang. Akan tetapi, yang paling dekat dengan kita sebenarnya kematian. Firman Allah dalam Q.S Al-Jumuah (62) : 8, yang artinya :
“Katakanlah : ‘Sesungguhnya, kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, …….”
Kematian adalah rahasia Ilahi dan tidak ada satupun yang dapat mengelaknya. Kapanpun, dimanapun, hari ini pun mungkin kita bisa mati. Kematian merupakan hukum mutlak yang telah ditetapkan oleh Allah di Lauhl Mahfudz dan tak satupun yang dapat merubahnya. Jika kita ingin sukses, ingatlah akan kematian. Sebenarnya mengingat mati akan memberi motivasi atau dorongan besar kepada kita untuk senantiasa memanfaatkan kesempatan hidup di dunia dan sebagai ladang investasi amal kelak diakhirat.
What is the farthest to us in this world?
Kita pasti memikirkan benda-benda langit seperti bulan, bintang, planet dll yang jauh dari diri kita.Akan tetapi, jawaban itu salah besar karena sudah banyak astronot yang dapat menginjakan kaki di bulan. Hal yang tidak mungkin kita datangi yaitu masa lalu. Kita tidak mungkin kembali lagi kemasa lalu karena waktu tidak dapat diputar. Masa lalu akan menjadi kenangan saja baik kenangan manis maupun pahit.
Dengan demikian kita harus memanfaatkan waktu denagn sebaik-baiknya. Kita manfaatkan untuk hal-hal yang positif. Misalnya saja, sebagai mahasiswa kita harus belajar sungguh-sungguh, aktif dalam berorganisasi dan lain-lain. Sehingga, kita tidak akan menyesal dalam hidup ini.  Jika kita memanfaatkan hari ini dengan hal-hal yang positif pasti kenangan manis yang kita tuai kemudian hari dan begitu juga sebaliknya.
What is the biggest in this world?
Jika pertanyaan ini di tunjukkan bagi anak-anak, mereka mungkin akan menjawab bahwa gajah adalah yang paling besar. Akan tetapi, sesungguhnya yang paling besar adalah hawa nafsu. Manusia memang memerlukan hawa nafsu. Jika tidak, manusia tidak akan bertahan hidup. Beberapa hawa nafsu yang dimiliki manusia yaitu nafsu makan, minum, seks, berkuasa, mengumpulkan harta dan masih banyak lagi. Manusia memang membutuhkan hawa nafsu tetapi kita jangan sampai diperbudak oleh hawa nafsu karena manusia itu sendiri yang akan rugi atau menyesal. Firman Allah Q.S Al-Furqan (25) : 43-44, yang artinya :
Terangkanlah kepada-Ku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Ataukah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat jalannya(dari binatang ternak)”
Memang tidak mudah mengendalikan hawa nafsu, butuh perjuangan ekstra keras. Jika kita selalu mencoba dan  mencoba memenage hawa nafsu , kita tidak akan diperbudak oleh hawa nafsu itu sendiri. Insyaallah kita akan berjalan di jalan yang Allah ridhoi. Amin
What is  heaviest in this world?
Memegang amanah merupakan hal yang paling berat di dunia ini. Karena suatu saat orang yang memegang amanah akan di mintai pertanggung jawaban. Misalnya, seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Jika kita di percaya oleh teman kita untuk menjaga rahasia, sebagai seorang yang amanah kita harus menjaga betul amanah yang diberikan kepada kita, apapun yang akan terjadi. Sekali saja kita mengecewakan amanah yang telah diberikan kepada kita, sangat sulit orang akan memberikan amanah lagi kepada kita. Untuk itu, kita harus betul-betul menjadi seorang yang amanah dalam hal apapun karena kelak kita akan dimintai pertanggung jawaban.
What is  lightest in this world?
Hal yang paling mudah dilakukan oleh manusia di dunia ini adalah meninggalkan shalat. Kadang kita tidak merasa berdosa meninggalkan shalat, padahal janji Allah bagi orang –orang yang meninggalkan shalat adalah masuk neraka. Kita lihat diri kita sendiri saja, nggak usah lihat orang lain. Misalnya, ketika kita lagi ke asyikan main kadang-kadang gak tau waktu, eh ternyata waktu shalatnya udah abiz dech. Ini contoh manusia yang mempertuhankan urusan dunia daripada urusan akhirat. Sungguh orang yang celaka adalah orang yang lalai dari shalatnya. 
What is sharpest in this world?
Dalam benak kita mungkin pedang yang paling tajam di dunia ini. Akan tetapi, yang paling tajam adalah lidah manusia. Lidah manusia dapat menyakiti hati orang lain dan dapat membuat orang lain bahagia. Bilamana lidah dapat menyakiti hati orang lain? Bila manusia memanfaatkan lidah untuk hal-hal yang tidak baik seperti menggunjing orang, menfitnah orang dan lain-lain.  Allah memberikan perumpamaan bagi orang yang menggunjing seperti memakan bangkai saudaranya sendiri. Firman Allah dalam Q.S Al-Hujurat (49) : 12, yang artinya
“ ….Dan janganlah sebagian kamu menggunjingkan sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya….”
Seharusnya kita bersyukur Allah telah memberikan lidah kepada kita, bukti syukur itu kita gunakan lidah ini untuk berbicara yang baik-baik. Ingatlah keenam nasehati tersebut dalam hidup kita. Insyaallah Allah jika kita selalu ingat kematian, selalu berbuat yang terbaik setiap harinya, memanage hawa nafsu, tidak meninggalkan shalat dan selalu menjaga lisan , kita tergolong orang-orang yang beruntung. Tidak hanya sukses di dunia, tetapi insyaallah sukses akhirat juga.
Sumber : Bulletin Tarbawy PAI UM Magelang

BERITAHU TEMAN

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites