Madilog dan Tan Malaka

Madilog merupakan karya tersohor Tan Malaka yang mendapatkan pengakuan dari filsuf dunia, karena kemampuan dan kekuatan berpikir Tan Malaka yang mampu mengabungkan tiga aliran filsafat yakni Materialisme, Dialektika dan Logika menjadi satu konsep berpikir. Bila kita membaca Madilog maka sangat terasa buku ini berkerabat dengan materialisme dialektik Friedrich Engels yang tak lain merupakan konco sahabat karib dari Karl Marx yang menyempurnakan filsafat sosial Marx dengan filsafat alam dan ontologi materialis yang kemudian akan menjadi dasar filosofis Marxisme-Leninisme). Tan Malaka sendiri secara jujur mengatakan bahwa Materialisme dan dialektika bukanlah produk asli dari pemikirannya melainkan diambil dari Engels, Lenin dan tokoh-tokoh lain Marxisme-Leninisme, tetapi hebatnya Tan Malaka, ia mampu melepaskan Madilog dari bau-bau Marxisme Leninisme.
Penekanan kekuatan berpikir Tan Malaka yang menjadi ciri khas dari sosok filsuf Tan Malaka terletak pada logikanya. Tan Malaka secara khusus membahas Logika dan Dialektika, beliau menyebutkan bahwa logika tidak dibatalkan oleh dialektika, melainkan tetap berlaku dalam dimensi mikro. Tan Malaka justru menunjukkan bahwa pemikiran logis, dengan paham dasar dialektis, membebaskan ilmu pengetahuan untuk mencapai potensialitas yang sebenarnya. Tan Malaka melihat dan berkeyakinan bahwa kemajuan umat manusia dilakukan melalui tiga tahap dari logika mistika lewat filsafat ke ilmu pengetahuan atau sains.
Penulis memandang Tan Malaka sangat gelisah dan risau dengan keterbelakangan kejumudan berpikir masyarakat ketimuran Indonesia oleh logika mistika, yakni logika gaib dimana orang percaya bahwa yang terjadi di dunia adalah kekuatan-keuatan keramat alam gaib sehingga ia berharap kekuatan-kekuatan ghaib tersebutlah yang akan membantu ia terlepas dari belenggu keterbelakangan dan kepicikan berpikir orang Indonesia saat itu, menyebabkan pudarnya keberanian dalam mengusir penjajah, dalam bahasa lain yang lebih populer penulis lebih nyaman menggunakan kata Tahayul, Khurafat dan Bit’ah (TBC).
Berangkat dari sebuah fenomena sosial yang akut itu, Tan Malaka berusaha menjadi aktor perubahan melalui materialisme, dialektik dan logika (Madilog) yang merupakan cara berpikir sebagai bentuk perlawanan atas cara berpikir mistik timur untuk mengubah masyarakat Indonesia agar berpikir lebih rasional. Menurut Tan Malaka pikiran manusia bersifat kreatif sehingga manusia itu sendiri dapat mengubah dirinya sendiri, tetapi pikirannya terlebih dahulu harus logis, realistis dan dinamis. Untuk mengwujudkan pikiran tersebut maka seseorang harus terdidik, agar dapat menjadi orang terdidik disanalah dibutuhkan peran sekolah. Kesadaran bersekolah pada saat itu masih sangat rendah, dengan sendirinya orang-orang terdidik pada saat itu sangat sedikit. Tan Malaka berpendapat sesuatu tidak berubah dengan sendirinya harus ada usaha untuk merobahnya.
TAN MALAKA DAN KEISLAMAN
Minangkabau adalah daerah yang pondasi ke Islamannya sangat kuat, filosofisnya adalah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Sangat tegas filosofis ini menyabarkan bahwa alam Minangkabau adalah alam yang bersandikan kepada kitabullah yakni kitab Allah. Adat tidak berdiri sendiri tetapi adat harus sesuai dengan komitmen ke Islaman. Alam inilah yang melahirkan sekaligus membesarkan seorang filsuf Tan Malaka. Secara otomatis tentu Tan Malaka dilahirkan di tengah-tengah keluarga Islam.
Sebagai seorang anak yang lahir dari keluarga yang taat dalam beragama tentu Tan Malaka belajar agama seperti menghafalkan Al-Qur’an dan mempelajari dasar-dasar agama Islam, sebagaimana anak-anak kampung di pelosok Minangkabau yang belajar di surau-surau, bahkan ia juga sempat aktif mengajar mengaji anak-anak yang lain. Tan Malaka beberapa kali menyelesaikan terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Belanda.
Tan Malaka mengatakan pada saat menyaksikan ibunya yang sedang sakit, menentang malaikat maut sambil menyebut Juz Yasin berkali-kali dan Bapaknya pingsan di dalam air pada saat mau berwudhuk untuk melaksanakan sholat, bahkan pada saat di Belanda ia mengatakan sering membeli sejarah dunia berjilid-jilid yang disana juga ada sejarah Islam, ia juga mengkaji Islam lewat tulisan-tulisan pengamat Islam bangsa Belanda, Snouck Hurgronje dan Tan Malaka membandingkan semua itu dengan karya-karya filosof dan pemikir Eropa.
Penulis berpendapat walaupun Tan Malaka sangat mengerti Islam tetapi Tan Malaka memiliki pandangan yang berbeda terkait dengan Islam. Sistem filsafatnya terpengaruh oleh sistem filsafat bangsa Barat. Dalam Madilog, Tan Malaka menulis, agama Yahudi, Nasrani dan Islam memiliki kedudukan yang sama, Tan Malaka juga berpendapat Tuhan lebih berkuasa dari hukum alam, akan tetapi selama alam semesta ada selama itu pula hukum alam berlaku. Menurut hukum alam, materilah yang mengandung kekuatan. Berdasarkan hukum alam, materi-materi yang ada bergerak, bersatu, berpisah, tarik-menarik dan lain seterusnya.
Tan Malaka tidak dapat kita pungkuri adalah filsuf yang kontroversi, ia lenyap dalam misteri kontroversinya. Tetapi tidak dapat kita picingkan mata bahwa karya Madilog Tan Malaka adalah mahakarya yang tidak mungkin lahir dari orang-orang biasa. Madilog berperan mengubah kejumudan berpikir orang-orang ketimuran yang berimplikasi kepada meningkatnya nasionalisme kebangsaan untuk mengwujudkan manusia Indonesia yang merdeka dari penjajahan. Seiring dengan kepergian Tan Malaka yang tak tau entah dimana kuburnya, namun pemikirannya telah berbuah yakni Republik Indonesia yang dulu sangat di cita-citakannya. Pada masa depan Tan Malaka baru harus lahir dari rahim Republik Indonesia, untuk terus mengisi kemerdekaan guna mengwujudkan Indonesia Jaya. Indonesia yang adil dan sejahtera.
Bahan Bacaan : Malaka,Tan, MADILOG (Materialisme Dialektika Logika). 1951. Jakarta; Pusat Data Indikator.

BERITAHU TEMAN

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites