Islam dan Kebudayaan

Islam salah satu agama terbesar didunia, yang pada saat ini sedang mendapat ujian yang sangat berat. Di satu pihak Islam dianggap sebagai agama teroris, yang membuat kita gerah sehingga negara-negara Barat yang beranggapan bahwa Islam itu identik dengan kekacauan dan kekerasan. Islam di identikan dengan ‘tukang bom’, dimana ada Islam disana ada kekerasan. Ini akibat dari kejadian yang mengguncangkan dunia yaitu serangan 11 September 2001 yang menghancurkan salah satu gedung kebanggaan Negara superpower/adikuasa yaitu World Trade Center (WTC) milik Amerika Serikat. Hal ini pula yang menjadi banyak pertanyaan apakah mungkin Negara yang super canggih dapat diserang begitu saja (kecolongan)? Apakah ini hanya sebuah strategi untuk memojokan Islam? Apakah hanya untuk menguasai minyak dia rela mengorbankan banyak nyawa? Dan berjuta pertanyaan lainnya.
 Belum selesai kasus teroris tiba-tiba kita dikagetkan dengan propokasi dari pihak yang tidak bertanggung jawab, kali ini datangnya dari Denmark salah satu warganya membuat karikatur yang membuat gerah umat Islam. Akan tetapi kayaknya cobaan belum selesai bagi umat Islam baru-baru ini kita di kagetkan lagi oleh film dokumenter yang berjudul “Fitna” hasil karya anggota parlemen yang ‘terhormat’ dari Negara kincir Angin.
Itulah potren Islam sekarang, yang terus mendapatkan ujian yang bertubi-tubi. Akan tetapi kita harus berbangga bahwa dengan terus dipojokannya Islam, maka semakin banyak orang yang mempelajari Al-Qur’an. Bahkan kata salah seorang warga Amerika Serikat yang pernah berkunjung ke Bandung pada bulan Juni lalu (tepatnya di gedung Pimpinan Wilayah Muhammadiayah (PWM) Jawa Barat). Ketika dia sedang meluncurkan sebuah buku yang berjudul “Hebron Journal” karya Mr. Arthur G Gish,(aktivis perdamaian timur tengah) dia mengatakan “orang-orang Amerika sekarang ini banyak yang memeluk Islam termasuk dirinya, itu semua karena gencarnya pemberitaan tentang Islam sebagai agama teroris. Kami merasa ingin tahu kenapa Islam harus dihancurkan”. Kemudian lanjut dia “rata-rata orang Amerika yang masuk Islam sekarang ini tiga orang perhari”. Dan ini katanya tidak disadari oleh sang ‘Djajal’. Mungkin inilah sebagian hikmah yang diberikan Allah SWT kepada umat Islam. Akibat serangan AS dan sekutunya ke Afganistan dan Irak banyak kebudayaan-kebudayaan peninggalan kerajaan Islam yang hilang. Dan ada yang sengaja dihancurkan, inilah yang menjadi keprihatinan kita.
Ajaran-ajaran Islam yan penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini, tentunya mencakup segala aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun bentuk kegiatan yang dilakukan manusia, kecuali Allah telah meletakkan aturan-aturannya dalam ajaran Islam ini. Kebudayaan adalah salah satu dari sisi pentig dari kehidupan manusia, dan Islampun telah mengatur dan memberikan batasan-batasannya.Tulisan di bawah ini berusaha menjelaskan relasi antara Islam dan budaya. Walau singkat mudah-mudahan memberikan sumbangan dalam khazana pemikian Islam.

Islam dan kebudayaan
1. Pengertian Islam dan Kebudayaan
Pengertian Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk semua mahluk. Hal ini berbeda dengan agama-agama yang lain hanya diperuntukan untuk kaum tertentu, sedangkan Islam diperuntukan untuk seluruh umat. Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta budhayah, bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Jadi, kebudayaan bias diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada seorang sarjana yang mengupas kata budaya sebagai perkembangan kata budi daya yang berarti daya dari budi (P.J Zoetmulder,seperti dikutip Prof.Dr. Koentjaraningrat, 1982:80). Karena itu kata budaya dan kebudayaan dibedakan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa; sedangkan kebudayaan berarti segala hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu (MM. Djoyodiguno, 1958:24).
Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa: “budaya“ adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan (adat, akhlak, kesenian, ilmu dll). Sedang ahli sejarah mengartikan kebudaaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan ahli Antropologii melihat kebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan kelakuan. Definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan sangatlah luas. Untuk memudahkan pembahasan, Ernst Cassirer membaginya menjadi lima aspek : 1. Kehidupan Spritual 2. Bahasa dan Kesustraan 3. Kesenian 4. Sejarah 5. Ilmu Pengetahuan. Aspek kehidupan Spritual, mencakup kebudayaan fisik, seperti sarana (candi, patung nenek moyang, arsitektur) , peralatan (pakaian, makanan, alat-alat upacara). Juga mencakup sistem sosial, seperti upacara-upacara (kelahiran, pernikahan, kematian). Adapun aspek bahasa dan kesusteraan mencakup bahasa daerah, pantun, syair, novel-novel. Aspek seni dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu ; visual arts dan performing arts, yang mencakup ; seni rupa (melukis), seni pertunjukan (tari, musik) Seni Teater (wayang) Seni Arsitektur (rumah,bangunan, perahu). Aspek ilmu pengetahuan meliputi scince (ilmu-ilmu eksakta) dan humanities (sastra, filsafat kebudayaan dan sejarah).
2. Apakah Islam itu Kebudayaan
Ini menarik untuk dikaji, karena sampai sekarang masih banyak terjadi perdebatan tentang status Islam ini. Sebagai umat Islam yang taat kita punya keyakinan bahwa Islam itu bukan kebudayaan akan tetapi para oriantalis Barat menganggap bahwa agama Islam adalah kebudayaan. Mereka beralasan bahwa agama Islam ini merupakan hasil kreasi dari Muhammad bin Abdullah yang merasa jenuh terhadap keadaan spiritual masyarakat Mekah pada waktu itu.
Namun kalau kita mengkaji dari pengertian diatas dan atas keyakinan kita bahwa jelas Islam bukan kebudayaan. Karena apa yang ada dalam Islam khususnya dari segi ibadah ritual kita kepada sang khalik ini merupakan perinatah langsung dari Allah SWT yang dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW. Akan tetapi tidak bias dipungkiri bahwa dalam Islam ada kebudayaan-kebudayaan misalnya, Bentuk Mesjid dan Shawalat yang sering di nyanyikan. Ini merupakan hasil dari kreasi umat Islam karena dalam Al-Qur’an maupun Sunnah nabi menyebutkan yang mengharuskan bentuk mesjid harus seperti apa. Tapi sejatinya kebudayaan yang dimaksud ini tidak bertentangan dengan syari’at yang dibawa oleh Islam. Kalau sudah bertentangan apapun namanya dan apapun alasannya ini sudah merupakan bentuk pemurtadan.

Kebudayaan Sebelum Islam
Kebuadayaan yang ada sebelum Islam ini sungguh sangat banyak sekali. Akan tetapi kami membatasinya kepada hal-hal yang urgen saja, disini kami mengambil kebudayaan bangsa Arab saja. Karena disanalah Islam lahir dan disana juga Islam berkembang dengan pesat. Bangsa Arab pada waktu itu sudah memiliki berbagai kebuadayaan yang sudah maju, diantara kebuadayaan mereka adalah kebiasaan dalam hal kesusastraan yang pada puncaknya.
Namun sayangnya kemajuan kebuadayaan yang begitu pesatnya tidak dibarengi dengan ahlak yang baik justru dibarengi kemunduran ahlak yang sangat parah. Untuk melihat manusia dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya dari satu sisi saja. Islam memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur tanah dan unsur ruh yang ditiupkan Allah kedalam tubuhnya. Ini sangat terlihat jelas di dalam firman Allah Qs As Sajdah 7-9 : “ ( Allah)-lah Yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya dari saripati air yan hina ( air mani ). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam ( tubuh )-nya roh ( ciptaan)-Nya “
Allah telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini, Islam mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk selalu menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian, Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “berbudaya“. Dan dalam satu waktu Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini, mungkin bisa dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama. Teori seperti ini, nampaknya lebih dekat dengan apa yang dinyatakan Hegel di atas.

Hubungan Islam dan Budaya
Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara agama (termasuk Islam) dengan budaya, kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : mengapa manusia cenderung memelihara kebudayaan, dari manakah desakan yang menggerakkan manusia untuk berkarya, berpikir dan bertindak? Apakah yang mendorong mereka untuk selalu merubah alam dan lingkungan ini menjadi lebih baik? Sebagian ahli kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk berbudaya merupakan dinamik ilahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhan karya sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat tak lain daripada proses realisasidiri dari roh ilahi. Sebaliknya sebagian ahli, seperti Pater Jan Bakker, dalam bukunya “Filsafat Kebudayaan” menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena menurutnya, bahwa agama merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan ilahi. Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan pemberian dari Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia.
Sehingga keduanya tidak bisa ditemukan. Adapun menurut para ahli Antropologi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA bahwa agama merupakan salah satu unsur kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan bahwa manusia mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing- masing agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan kemampuan yang ada. Di sinilah, , bahwa agama telah menjadi hasil kebudayaan manusia. Berbagai tingkah laku keagamaan, masih menurut ahli antropogi,bukanlah diatur oleh ayat- ayat dari kitab suci, melainkan oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat suci tersebut.

Sikap Islam terhadap Kebudayaan
Islam, sebagaimana telah diterangkan di atas, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.
Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam : Pertama : Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam. Dalam kaidah fiqh disebutkan : “ al adatu muhakkamatun “ artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syareat, seperti ; kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam Islam budaya itu syah-syah saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar yang harus diberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan Masjid, dibolehkan memakai arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk Joglo.
Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum. Sebagai contoh adalah apa yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam sebuah harian yang menyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam dengan dalil “ al adatu muhakkamatun “ karena nikah antar agama sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir.
Kedua : Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam , kemudian di “ rekonstruksi” sehingga menjadi Islami.Contoh yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untuk meronstruksi budaya tersebut, menjadi bentuk “ Ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantukan syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap dipertahankan, tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Ketiga: Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam. Seperti, budaya “ngaben“ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“ , sebuah upacara pembakaran mayat. Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih. Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang besar , karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di daerah Toraja, untuk memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan biaya yang besar. Biaya tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang berupa kerbau. Lain lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah. Mereka mempunyai budaya “Tumpeng Rosulan“, yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan penguasa Lautan selatan (Samudra Hindia).
Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya, karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang menurunkan derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah meninggal dunia.
Dalam hal ini al Kamal Ibnu al Himam, salah satu ulama besar madzhab hanafi mengatakan : “Sesungguhnya nash-nash syareat jauh lebih kuat daripada tradisi masyarakat, karena tradisi masyarakat bisa saja berupa kebatilan yang telah disepakati, seperti apa yang dilakukan sebagian masyarakat kita hari ini, yang mempunyai tradisi meletakkan lilin dan lampu-lampu di kuburan khusus pada malam- malam lebaran. Sedang nash syareat, setelah terbukti ke-autentikannya, maka tidak mungkin mengandung sebuah kebatilan. Dan karena tradisi, hanyalah mengikat masyarakat yang menyakininya, sedang nash syare’at mengikat manusia secara keseluruhan., maka nash jauh lebih kuat. Dan juga, karena tradisi dibolehkan melalui perantara nash, sebagaimana yang tersebut dalam hadits : “apa yang dinyatakan oleh kaum muslimin baik, maka sesuatu itu baik “

Kesimpulan
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa Islam bukanlah kebuadayaan akan tetapi dalam Islam ada suatu kebuadayaan. Namun tidak semua kebudayaan yang ada selaras dengan Islam. Islam tidak melarang adanya kreasi budaya justru dalam Islam dianjaurkan selama budaya itu tidak bertentang dengan syari’at. Kebudayaan yang ada bukan dari agama akan tetapi dari pemahaman agama, sejatinya ketika melihat suatu kebudayaan harus dapat dilihat dulu dari sudut pandang nama kita melihatnya.
Kebudayaan yang ada sebelum agama Islam ikut mewarnai tatanan Islam, namun perlu ditekankan disini bahwa kebudayaan yang tidak bertentanganlah yang harus dipelihara. Manakala kebudayaan itu sudah tidak sesuai atau bahkan bertentangan maka harus ditolak, atau minimal kebudayaan itu diwarnai nilai-nilai agama Islam. Agar menghasulkan akulturasi yang susui dengan ajaran Islam serta tidak membawa madharat. Akan tetapi kalau dikemudian hari ternyata membawa madharat maka kebudayaan tersebut harus dihapus. Islam dan Kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat erat sekali dan kalau boleh dikata tidak bisa dipisahkan.

Daftar Pustaka
Basit Wahid, dkk. 1998: Pemikiran dan Peradaban Islam, Ull Press :Yogyakarta
Poerwadarminta. 2005: Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. Jakarta
http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=566614967345466855#

BERITAHU TEMAN

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites