Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur'an

Al-Qur’an yang merupakan salah satu kitab suci umat Islam telah ada 14 Abad yang lalu. Sudah di uji dengan sejarah yang sangat panjang dan melewati berbagai zaman yangn beragam. Akan tetapi masih bisa tetap eksis hingga sampai saat ini, bahkan isi yang berbentuk teks ini telah mengalami berbagai interpretasi yang berbeda-beda.
Pada dasarnya Al-Qur’an adalah benda mati yang tidak ada fungsinya, kalau bukan oleh manusia yang menggunakannya. Oleh sebab itu muncul berbagai penafsiran terhadap teks Al-Qur’an dengan berbagai metodologi yang berbeda. Sehingga menghasilkan tafsir yang beragam yang sejatinya dari sumber sama, bahkan bagi orang awan ini sangat membingungkan karena banyak penafsiran yang seakan-akan paradoks antara satu mufasir dengan mufasir yang lainya.
Peradaban dan kebudayaan dibangun oleh dialektika manusia dengan realitas disatu pihak, dan dialognya dengan teks di pihak lain[1]. Dewasa ini, muncul upaya-upaya untuk mengaplikasikan hermeneutika sebagai metode tafsir Al-Qur’an menggantikan metode yang telah dirumuskan oleh para ulama. Namun tentu saja, ide tersebut harus ditelaah dan dikritisi. Para filosof muslim tidak menelan mentah-mentah filsafat Aristoteles atau Plato, akan tetapi mengkritisi bahkan memodifikasinya. Mereka menerima selama itu sesuai dengan akidah dan syariat Islam.
Akan tetapi bagi sebagian ulama ’salaf’ yang berhaluan fundamentalis merasa cemas dengan metode heremeneutika tersebut sehingga mereka berkesimpulan bahwa metode ini haram hukumnya diterapkan dalam Al-Qur’an. Hal ini tentunya terlalu berlebihan tanpa kita mengetahui dulu bagaimana sesungguhnya metode ini. Dengan mengetahui metode ini secara benar dan tepat maka terhindar dari mengkafirkan sesama muslim itu sendiri.
Pengertian
Membincang hermeneutika dan tafsir tentunya tidak bisa lepas dari Al-Qur’an dan Bibel, mengapa? Karena hermeneutika dan tafsir keduanya dipakai untuk menyibak arti risalah Tuhan untuk manusia. Selain itu, konsep beserta karakter yang berbeda antara satu kitab suci dengan lainnya berimplikasi pada perbedaan metode dan pendekatan dalam proses memahaminya. Sebagaimana pendekatan yang digunakan dalam mengamati fenomena sosial berbeda dengan pendekatan dalam ilmu pasti. Yang tak lain berangkat dari perbedaan objek bahasan.
Kata Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani “Hermeneuo” yang berarti menafsirkan. Dalam terminologi, hermeneutika adalah aliran filsafat yang bisa didefinisikan sebagai teori interpretasi dan penafsiran sebuah naskah melalui percobaan.Istilah berikutnya yang akan kita singgung adalah “Tafsir”. Kata tersebut berasal dari bahasa Arab “al-tafsîr” yang artinya menerangkan dan memperjelas (al-îdhâh wa al-tabyîn). Sedang dalam istilah, ada beberapa pendapat. Imam al-Zarkasyî mendefinisikan tafsir sebagai sebuah ilmu untuk memahami, menerangkan artiarti serta mengambil hukum dan hikmah dari kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw[2]
Sedang Imam al-Zurqânî mengistilahkan tafsir sebagai ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an dari interpretasi (al-dalâlah) maksud Allah Swt. Sebatas kemampuan manusia.
 Sejarah Hermeneutika
Sebagaimana metode-metode lain, hermeneutika tidak lahir dari ruang kosong. Ada lingkungan yang turut mempengaruhi kelahiran hermeneutika serta membentuk konsepnya. Yang tentunya sangat mempengaruhi output dari hermeneutika itu sendiri.
Hamid Fahmi Zarkasyi dalam tilusan membagi sejarah hermeneutika menjadi tiga fase, yaitu:
  1. Dari mitologi Yunani ke teologi Yahudi dan Kristen 
  2. Dari teologi Kristen yang problematik ke gerakan rasionalisasi dan filsafat 
  3.  Dari hermeneutika filosofis menjadi filsafat hermeneutika
Dari filsafat hermeneutika inilah akhirnya hermeneutika dikembangkan dan diujicoba untuk dimasukkan dalam kajian-kajian Al-Qur’an oleh Fazlur Rahman (1919-1998), Aminah Wadud, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, yang kemudian diadapsi oleh pemikir-pemikir yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL) seperti Ulil Abshar Abdalla, Lutfhie Assyaukanie dan Taufik Adnan Amal.
Orang orang tersebut di atas sering di kafirkan oleh para intelektual muslim yang findamentalis. Dan biasanya mereka merasa bahwa aliran dan paham mereka adalah yang paling benar. Tentunya hal ini akan merusak tradisi keilmuan yang secara inplisit menyarankan untuk taklid buta.
1.      Dari Mitologi Yunani ke Teologi Yahudi dan Kristen
Dalam mitologi Yunani, dewa-dewa dipimpin oleh Zeus bersama Maia. Pasangan ini mempunyai anak bernama Hermes. Hermes inilah yang bertugas untuk menjadi perantara dewa dalam menyampaikan pesan-pesan mereka kepada manusia. Metode hermeneutika secara sederhana merupakan perpindahan fokus penafsiran dari makna literal atau makna bawaan sebuah teks kepada makna lain yang lebih dalam.
Mereka mengartikan Zeus sebagai Logos (akal), luka Aphrodite-dewi kecantikan-sebagai kekalahan pasukan Barbar dan sebagainya. Dasar mereka adalah kepercayaan bahwa dibalik perkataan manusia pun sebenarnya ada inspirasi Tuhan. Kepercayaan tersebut sejatinya refleksi pandangan hidup orang-orang Yunani saat itu. Walaupun hermeneutika sudah diterapkan terlebih dahulu, namun istilah hermeneutika pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM). Dalam Definitione Plato dengan jelas menyatakan hermeneutika artinya “menunjukkan sesuatu” dan dalam Timeus Plato mengaitkan hermeneutika dengan otoritas kebenaran.
Sementara itu, Kristen Protestan membentuk sistem interpretasi hermeneutika yang bersesuaian dengan semangat reformasi mereka. Prinsip hermeneutika Protestan berdekatan dengan teori yang digulirkan Aquinas. Di antaranya keyakinan bahwa kehadiran Tuhan pada setiap kata tergantung pada pengamalan yang diwujudkan melalui pemahaman yang disertai keimanan (self interpreting). Protestan juga berpandangan bahwa Bibel saja cukup untuk memahami Tuhan (sola scriptura), di sisi lain, Kristen Katolik menolak pandangan ini dan menegaskan dua sumber keimanan dan teologi Kristen, yaitu Bibel dan tradisi Kristen.
2.      Dari Teologi Kristen ke Gerakan Rasionalisasi dan Filsafat
Dalam perkembangan selanjutnya, makna hermeneutika bergeser menjadi bagaimana memahami realitas yang terkandung dalam teks kuno seperti Bibel dan bagaimana memahami realitas tersebut untuk diterjemahkan dalam kehidupan sekarang. Satu masalah yang selalu dimunculkan adalah perbedaan antara bahasa teks serta cara berpikir masyarakat kuno dan modern
Semangat, mentalitas dan pandangan hidup sang pengarang terlepas dari segala konotasi teologis ataupun psikologis. Dari pembagian di atas, dapat dicermati bahwa obyek penafsiran tidak dikhususkan pada Bibel saja, akan tetapi semua teks yang dikarang manusia.
3.      Dari Hermeneutika Filosofis ke Filsafat Hermeneutika
Pergeseran fundamental lain yang perlu dicatat dalam perkembangan hermeneutika adalah ketika hermeneutika sebagai metodologi pemahaman berubah menjadi filsafat. Perubahan ini dipengaruhi oleh corak berpikir masyarakat modern yang berpangkal pada semangat rasionalisasi. Dalam periode ini, akal menjadi patokan bagi kebenaran yang berakibat pada penolakan hal-hal yang tak dapat dijangkau oleh akal atau metafisika. Babak baru ini dimulai oleh Schleiermacher (1834) yang dianggap sebagai bapak hermeneutika modern dan pendiri Protestan Liberal. Salah satu idenya dalam hermeneutika adalah universal hermeneutic. Dalam gagasannya, teks agama sepatutnya diperlakukan sebagaimana teks-teks lain yang dikarang manusia.
Teori-teori Hermeneutika
a.      Schleiermacher
Model hermeneutika sebelum Schleiermacher masih terbagi menjadi dua kelompok besar, hermeneutika filologis yang diterapkan atas teks-teks Romawi dan Yunani kuno serta hermeneutika teologis yang dipakai dalam interpretasi kitab suci (Bibel). Namun Schleiermacher menyatakan bahwa seorang interpret harus berada di atas objek interpretasinya, baik teks klasik maupun Bibel.
Hermeneutika schleiermarher berpijak pada prisnip dasar bahwa teks merupakan ekspresi perangkat linguistik yang mentransformasikan ide pengarang kepada pembaca[3]. Poin penting lain dalam pemikiran universal hermeneutics Schleiermacher adalah persamaan sikap atau perlakuan antara Bibel dengan teks karya manusia. Karena permasalahan tidak terletak pada materi akan tetapi cara memahaminya. Sebagai konsekuensinya, kajian filologi teks dan teologi dalam Bibel disubordinasikan kepada problem penafsiran yang umum. Schleiermacher juga berpendapat bahwa kesalahpahaman dalam interpretasi berakar pada perbedaan pandangan hidup dan sebagainya yang disebabkan oleh perbedaan zaman dan rentang waktu antara pengarang dan penafsir. Makna sebenarnya sebuah teks didapatkan dengan rekonstruksi historis saat teks tersebut ditulis. Jadi apa yang dimaksud oleh sebuah teks bukanlah apa yang kelihatannya dikatakan kepada sang pembaca.
b.      Wilhelm Dilthey
Teori hermeneutika Dilthey banyak dipengaruhi oleh Schleiermacher, Dilthey sepakat bahwa dengan hermeneutika, seorang penafsir dapat memahami teks sebaik atau lebih baik dari pengarang teks itu sendiri. Untuk itu Dilthey membagi pemahaman menjadi tiga tingkat:
1)     Pemahaman sebagai menangkap sebuah makna dengan melalui tanda yang menunjukkan atau mewakili apa yang dimaksud
2)     Nacherleben, mengimbas kembali perasaan dan pengalaman yang dipercayai telah dialami oleh pengarang dengan berdasarkan pengalaman yang terwujudkan dalam ungkapan yang dapat diakses
3)     Besserverstehen. Di tingkatan inilah seorang penafsir dapat memahami maksud sebenarnya seorang pengarang.
Ide yang mendasari teori tingkatan terakhir Dilthey adalah pertimbangan unsur historis teks. Menurutnya unsur historis memegang peran penting karena yang dikaji adalah teks dengan segala keterkaitannya dengan komponen sejarah yang lain. Karena itu Dilthey mengkritik Schleiermacher yang telah mengabaikan sisi sejarah dalam interpretasi teks. Sebenarnya proses pemahaman ini terjadi dengan cara menghidupkan pengalaman yang diekspresikan teks[4]. Hal ini sangat jelas bhawa sikap dari Dalthey sangat memperhatikan konteks dan history dimana kitab itu di turunkan.
c.       Mohammed Arkoun
Arkoun berpandangan bahwa banyak hal yang terdapat dalam Islam yang unthinkable (tak terpikirkan) karena kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Sebagai contohnya adalah mushaf Utsmani yang ia anggap sebagai representasi unthinkable. Arkoun menganjurkan free thinking (berpikir liberal) untuk mengubah unthinkable menjadi thinkable. Ia beralasan bahwa free thinking merupakan respon terhadap dua kebutuhan utama, pertama, umat Islam perlu memikirkan masalah-masalah yang tak terpikirkan sebelumnya dan kedua, umat Islam perlu membuka wawasan baru melalui pendekatan sistematis lintas budaya terhadap masalah-masalah fundamental.
Arkoun juga membagi wahyu menjadi dua tingkatan
a)      Umm al-kitâb. Wahyu jenis ini berada di lauh al-mahfûzh, bersifat abadi, tak terikat waktu dan mengandung kebenaran tertinggi
b)      Apa yang disebut Arkoun sebagai wahyu edisi dunia (terrestres edition). Termasuk dalam wahyu ini adalah Al-Qur’an dan Bibel.
Menurutnya wahyu edisi dunia ini telah mengalami modifikasi, revisi dan substitusi. Selain itu Arkoun juga membagi sejarah Al-Qur’an dalam tiga periode:
1)      Masa Prophetic Discourse (610-632 M). Al-Qur’an periode ini lebih suci dan otentik dibanding periode-periode lain. Sebabnya Al-Qur’an periode ini berbentuk lisan yang terbuka untuk semua arti yang mungkin.
2)      Masa Official Closed Corpus (12-324 H/632-936 M). Arkoun berpendapat bahwa Al-Qur’an di masa ini telah tereduksi dari al-kitâb al-mûhâ menjadi tak lebih dari buku biasa. Karena itu mushaf menurutnya tak patut untuk disucikan.
3)      Masa ortodoks (324 H/936 M)
d.      Nasr Hamid Abu Zayd
Jika Arkoun menggunakan pendekatan historis terhadap Al-Qur’an, Nasr Hamid Abu Zayd memilih untuk mengaplikasikan metode analisis teks bahasa-sastra. Abu Zayd berpijak pada pendapat bahwa Al-Qur’an walaupun ia merupakan kalam ilahi, namun Al-Qur’an menggunakan bahasa manusia. Karena itu ia tak lebih dari teks-teks karangan manusia biasa. Menurut Abu Zayd, Al-Qur’an telah terbentuk oleh realitas dan budaya Arab selama kurang lebih 20 tahun. Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan produk budaya (muntaj tsaqâfî). Al-Qur’an yang terbentuk melalui realitas, budaya dan terungkapkan dalam bahasa menjadikan Al-Qur’an sebagai teks bahasa. Sedang realitas, budaya dan bahasa itu sendiri tak lepas dari sisi historis yang melingkupinya, karena itu Al-Qur’an juga merupakan teks historis. Ia juga mengkritik paradigma penafsiran yang dipakai oleh para ulama, menurutnya muatan metafisis yang selalu tercamkan dalam benak mereka tidak mendorong pada sikap ilmiah.
Prinsip Dasar Hermeneutika
Dari penjabaran mengenai teori-teori yang diajukan oleh para hermeneut, bisa kita ambil benang merah yang menghubungkan teori-teori hermeneutika sejak zaman Yunani, Yahudi, Kristen, filsafat, hingga masa penggunaannya dalam memandang Al-Qur’an:
1.            Hermeneutika muncul atas desakan rasionalisasi atas teks-teks yang dianggap penuh dengan mitos atau jauh dari kenyataan atau bahkan bertentangan dengan akal sehat. Sifat defensif hermeneutika ini bertujuan agar teks-teks “ilahi” tersebut dapat diimani dan diaplikasikan sepanjang waktu.
2.            Pembagian teks pada dua dimensi, makna literal dan spirit teks.
3.            Dekonstruksi otoritas yang terdapat dalam teks, baik otoritas bermakna pengaruhnya dalam masyarakat, atau nilai keilahian teks tersebut. bahwa Al-Qur’an tak lebih dari teks-teks manusia biasa dan karena itu hermeneutika dapat diaplikasikan.
4.            Dalam mekanismenya, hermeneutika menuntut penafsir untuk kembali merujuk pada masa awal teks tersebut tertulis demi mengetahui ruang lingkup yang mengitari pembentukan teks, berikut sisi psikologis sang pengarang untuk mengetahui inti maksud teks tersebut. Penafsir kemudian berusaha untuk mengartikan teks tersebut sesuai dengan konteks sekarang, dengan arti yang barangkali sangat berbeda dengan makna teks secara literal.
Perbandingan dengan Konsep Tafsir
1.   Sejarah Ilmu Tafsir
a)      Masa Nabi Saw. dan Sahabat
Yang dimaksud dengan masa ini adalah saat Rasulullah Saw. Masih hidup bersama para sahabat. Walaupun para sahabat termasuk golongan yang paling paham bahasa Arab, dan Al-Qur’an juga turun dalam bahasa Arab, namun pada kenyataannya banyak para sahabat yang baru mengetahui arti sebuah kalimat dari Rasulullah Saw. atau dari sahabat lain yang lebih tahu dan paham. Tafsir pada masa ini mempunyai empat sumber pokok:
1)  Al-Qur’an.
Para sahabat memanfaatkan variasi cara Al-Qur’an menyampaikan pesannya, yaitu dengan îjâz, ithnâb, ithlâq, taqyîd, ‘umûm dan khushûsh. Selain itu, perbedaan antar kiraat juga dapat digunakan untuk menjelaskan maksud Al-Qur’an. Yang perlu digarisbawahi, meskipun dalam cara ini Al-Qur’an ditafsirkan dengan Al-Qur’an, namun bukan berarti mengabaikan fungsi akal dalam penafsirannya.
2)  Rasulullah Saw.
Allah Swt. telah memberikan otoritas kepada Rasulullah Saw. untuk menjelaskan arti dan kandungan Al-Qur’an kepada umatnya. Meskipun demikian Rasulullah Saw. tidak mengurai arti Al-Qur’an secara keseluruhan, melainkan apa yang susah dipahami oleh para sahabat saja. Penjelasan beliau Saw. Terhadap ayat-ayat Al-Qur’an terdokumentasikan dalam bentuk hadits atau sunnah yang diriwayatkan dari generasi ke generasi.
3)  Ijtihad
Jika para sahabat tidak menemukan keterangan dalam Al-Qur’an dan sunnah mengenai tafsiran sebuah ayat, mereka berijtihad. Adapun alat yang mereka gunakan dalam ijtihad mereka adalah:
a)      Pengetahuan tata-bahasa Arab.
b)      Pengetahuan adat dan kebiasaan bangsa Arab
c)      Pengetahuan tentang keadaan kaum Yahudi dan Nasrani yang tinggal di jazirah Arab waktu turunnya Al-Qur’an.
d)      Kekuatan pemahaman dan luasnya wawasan.
4)   Ahlul Kitab
Jika tidak didapatkan keterangan tafsir dari ketiga sumber di atas, para sahabat terkadang mengambil penafsiran ahlul kitab dengan catatan apa yang diriwayatkan oleh mereka tidak bertentangan dengan akidah dan ajaran Islam. Adapun dasar mereka adalah sabda Rasulullah Saw. untuk tidak membenarkan ahlul kitab dan tidak juga mendustakannya.
b)      Masa Tabi’in
Usai masa sahabat, Islam telah menyebar ke berbagai penjuru. Para sahabat pun tidak lagi berkumpul di satu tempat melainkan berpencar demi memberikan keterangan tafsir kepada masyarakat setempat dalam majelis-majelis ilmu.
Mayoritas ahli tafsir menerima riwayat dari tabi’in sebagai pijakan. Karena Tabi’in memperoleh kebanyakan tafsir mereka dari sahabat. Akan tetapi disyaratkan bahwa riwayat tersebut tidak mengandung keraguan dan pertentangan serta berkenaan dengan perkara yang tak memungkinkan campur tangan akal di dalamnya. Karakter tafsir di zaman ini adalah sebagai berikut:
1)      Masuknya Israiliyat sebab banyaknya ahlul kitab dari kaum Yahudi dan Kristen yang masuk Islam.
2)      Ditransmisikan melalui jalur riwayat.
3)      Munculnya corak mazhab tertentu dalam tafsir.
4)     Banyaknya perbedaan antar tabi’in mengenai tafsir yang  diriwayatkan dari sahabat,
c)      Masa Pembukuan
Setelahnya tafsir melalui beberapa periode sebelum akhirnya terbukukan seperti sekarang. Hingga pada masa tabi’in, tafsir ditransmisikan melalui riwayat generasi ke generasi. Ketika hadits mulai dibukukan, tafsir masuk menjadi salah satu babnya. Tafsir di masa ini bersumber dari Rasulullah Saw., sahabat dan tabi’in.
Kemudian tafsir terus berkembang dan muncullah ide untuk memisahkan pembahasan tafsir dari buku hadits dan mengkhususkannya dalam buku tersendiri. Mulailah tafsir ditulis per ayat secara runtut sesuai dengan tartîb al-tilâwah.
Umumnya penafsiran masa ini mengambil bentuk al-tafsîr bi al-ma’tsûr, sekedar menafsirkan ayat berdasarkan riwayat yang diterima. Akan tetapi Ibn Jarîr al-Thabarî dalam tafsirnya mencantumkan rujukan arti bahasa dari syair jahiliyah, perbedaan yang timbul karena perbedaan kiraat, serta permasalahan-permasalahan fikih dan kalam. Kelebihan-kelebihan ini menjadikan tafsir Jâmi‘ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân salah satu buku tafsir bi al-ma’tsûr yang istimewa.
Pada masa setelahnya, sesuai dengan perkembangan ilmu-ilmu dalam Islam semisal ilmu kalam, tasawuf dan fikih, muncullah corak tafsir baru yang ditulis oleh para ulama di bidangnya. Di samping itu, unsur akal juga mulai dipakai dalam penafsiran Al-Qur’an (al-Tafsîr bi al-Ra’yi).
2.   Metode Tafsir
a.   Al-Tafsir bi al-Ma’tsur
Cara yang digunakan dalam al-tafsîr bi al-ma’tsûr adalah riwayat tafsir yang bersumber dari Al-Qur’an, Rasulullah Saw., para sahabat, atau tabi’in. Jalur riwayat tersebut mulanya berbentuk hafalan yang didapat langsung dengan bertatap muka. Pada periode setelahnya, riwayat tersebut ditulis dalam bentuk buku. Cara ini merupakan jalan terbaik untuk mengetahui tafsir Al-Qur’an.
Mengandalkan metode ini, jelas memiliki keistimewaan, namun juga memiliki kelemahankelemahan, Kesitimewaannya, antara lain, adalah :
a)      Menekankan pentingnya bahasa dalam memahai Al-Qur’an.
b)      Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan pesannya.
c)     Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat ayat, sehingga membatasi terjerumus dalam subjektifitas berlebihan.
Di sisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab kitab tafsir yang mengandalkan metode ini adalah :
a)      Terjerumusnya mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesusastraan yang bertele tele sehingga pesan pokok Al Qur’an menjadi kabur di celah uraian itu.
b)     Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab al nuzul atau isi kronologis turunnya ayat ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam masa atau berada di tengah tengah masyarakat tanpa budaya[5]
b.   Al-Tafsir bi al-Ra’yi
Yang dimaksud dengan al-ra’yu di sini bukan murni rasional atau bersandar pada akal secara mutlak, tapi ada proses ijtihad. Model tafsir ini dapat di definisikan al-tafsîr bi al-ra’yi adalah penafsiran Al-Qur’an dengan ijtihad setelah sang mufassir mempunyai pengetahuan yang cukup tentang perkataan Arab beserta sisi-sisinya, kosakata Arab beserta segi maknanya, syair zaman jahiliyah, asbâb al-nuzûl, naskh dan sebagainya.
Mengenai keabsahan metode ini, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama melarang al-tafsîr bi al-ra’yi, di antara alasan mereka adalah bahwa tafsir dengan akal merupakan bentuk zhann. Dan zhann belum mencapai derajat yaqîn. Karena itu al-tafsîr bi al-ra’yi sama dengan mengatakan sesuatu yang tak diyakini secara mutlak kebenarannya dan menisbahkannya kepada Allah Swt..
Namun ulama yang mendukung penafsiran dengan cara ini membantah alasan tersebut. Zhann adalah bagian dari ilmu, walaupun belum semutlak yaqîn. Dan zhann dilarang jika yaqîn memungkinkan dengan adanya nash yang jelas. Allah Swt. sendiri tidak membebani seorang hamba di luar batas kemampuannya, Rasulullah Saw. sendiri menyetujui perkataan Mu‘âdz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman bahwa jika ia tidak mendapatkan dalil dari Al-Qur’an dan sunnah, maka ia akan berijtihad. Karena al-tafsîr bi al-ra’yi merupakan bentuk ijtihad, maka para ulama menetapkan sederet ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir sekaligus kaidahnya. Kaidah-kaidah tersebut adalah:
1)      Mengetahui pertentangan antara tafsir bi al-ma’tsûr dan bi al-ra’yi serta metode tarjîh.
2)      Mengetahui “pertentangan” antar ayat.
3)      Mengetahui “pertentangan” antara ayat dan hadits.
4)      Mengetahui perbedaan dan pertentangan.
5)      Mengetahui apa yang menyerupai ikhtilaf.
6)      Mengetahui apa yang menyebabkan dugaan ikhtilaf.
7)      Menguasai ilmu mubhamât.
8)      Mengetahui sisi-sisi tersembunyi dalam kalimat Al-Qur’an.
c.   Al-Tafsir al-Isyârî
Al-Isyârî berasal dari kata al-isyârah yang berarti isyarat atau penunjukan (al-îmâ’). Sedang yang dimaksud dengan al-tafsîr al-isyârî adalah takwil ayat Al-Qur’an berdasar isyarat tersembunyi yang diketahui oleh ahli ilmu dan amal yang berpijak atas persamaan antara isyarat dan zahir ayat pada salah satu sisinya. Secara umum, terdapat dua bentuk isyarat:
1)     Isyarat yang jelas. Seperti isyarat ayat-ayat kauniyyah Al-Qur’an terhadap fenomena alam.
2)     Isyarat yang tersembunyi dan diperoleh seorang ahli ilmu serta ibadah ketika merenungi bacaan Al-Qur’an.
3.   Karakteristik Tafsir
Setelah mengurai sejarah tafsir dan beberapa metode yang digunakan, dapat disimpulkan bahwa:
a)      Dalam tradisi tafsir Islam, dikenal adanya otoritas. Otoritas untuk menafsirkan telah diberikan oleh Allah Swt. kepada Rasulullah Saw. dengan turunnya ayat:
Dengan kata lain, Rasulullah Saw. yang menerima wahyu telah diberi amanat oleh Allah Swt. untuk menjelaskan kandungannya kepada umatnya. Setelah Rasulullah Saw. wafat, otoritas selanjutnya berada di tangan sahabat. Rasulullah Saw. telah bersabda bahwa masa yang terbaik adalah masa beliau Saw., selanjutnya masa sahabat. Rasulullah Saw. juga telah menegaskan ‘adalah para sahabatnya. Setalah masa sahabat selanjutnya adalah masa tabiin yang mendapatkan pengajaran langsung dari para sahabat. Sehingga sampai kepada masa saat ini.
b)     Tafsir-tafsir dari Rasulullah Saw. dan sahabat kemudian ditransmisikan dalam bentuk riwayat dengan sanad yang jelas.
c)      Penafsiran Al-Qur’an berangkat dari arti kosakata.
d)      Tafsir Al-Qur’an tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang.
Kesimpulan
Metode ini mengesampingkan peran dari pembuat teks/pengarang. Dalam kaitannya dengan kitab suci tentulah akan menafikan peran (keinginan) dari Tuhan sang pembuat dari kitab suci itu sendiri. Namun bukan berarti metode ini salah secara total akan tetapi apabila kita memakai metode ini secara kebablasan. Maka akan menimbulkan hasil penafsiran yang hanya mengikuti rasionalitas saja, tidak memperhatikan lagi peran dari pembuat teks itu sendiri,
Setelah perbandingan-perbandingan tersebut, di penghujung makalah ini, penulis menyimpulkan bahwa hermeneutika mempunyai latar belakang dan metode yang berbeda bahkan cenderung bertentangan dengan karakter Al-Quran, tafsir, serta pandangan hidup Islam. Karena itu hermeneutika tidak dapat diterapkan sebagai metode tafsir Al-Qur’an.

Daftar Pustaka
Shihab, M. Quraish. “Membumikan” Al Qur’an. Bandung. PT. Mizan Pustakas
Zaid, Nashr Hamid Abu. 2004. Hermeneutika Inklusif. Yogyakarta. PT LKIS Pelangi Aksara
Zaid, Nashr Hamid Abu. 2005. Tekstualitas Al-Qur’an. Yogyakarta. PT LKIS Pelangi Aksara

BERITAHU TEMAN

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites