Gerakan Mahasiswa di tengah kebuntuan

Belakangan ini berbagai aksi gerakan mahasiswa relatif mendapat sorotan yang tajam oleh sebagian besar publik, terutama sekali menyangkut upaya gerakan mahasiswa untuk merespon kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada akhir bulan Mei 2008 yang lalu. Berbagai bentuk gerakan mahasiswa dilakukan di beberapa tempat baik pusat maupun di daerah dengan tujuan untuk menolak kebijakan pemerintah tersebut yang notabene dinilai oleh mahasiswa sebagai langkah yang tidak tepat di tengah penderitaan dan beban hidup yang cukup berat dihadapi oleh rakyat, terutama rakyat miskin.
Oleh karenanya mahasiswa sebagai bagian dari komponen sosial mencobamengambil peran dan menjalankan fungsinya kembali sebagai presure group untuk menyuarakan kepentingan dan hak rakyat agar pemerintah menghentikan kebijakan yang jelas-jelas tidak berpihak pada hajat hidup rakyat. Hanya saja upaya mahasiswa untuk menolak kebijakan pemerintah tersebut bermuara pada prilaku anarkhis pada tanggal 24 Juni 2008 di depan gedung DPR/MPR dan di kampus Atma Jaya Jakarta dengan melakukan perusakan terhadap beberapa fasilitas public atau fasilitas yang merepresentasikan wajah kekuasaan. Gerakan yang bermuara pada anarkhisme ini serta merta menarik banyak pihak untuk menuding dan menyalahkan gerakan mahasiswa semata-mata. Berbagai tudingan dan stigma yang bersifat negatif dengan mudah dilekat terhadap aksi-aksi mahasiswa. Pertanyaannya, begitu besar dan salahkah langkah mahasiswa tersebut ?
Kebuntuan Aspiratif
Dalam kerangka demokrasi, memang prilaku anarkhis merupakan satu kendala untuk melanjutkan proses demokrasi, karena anarkhisme menjadi penghalang bagi tumbuhnya tradisi dan legitimasi terhadap nilai-nilai demokrasi. Sementara upaya mewujudkan sustainable democracy (Demokrasi yang berkelanjutan) harus adanya legitimasi publik terhadap nilai-nilai demokrasi dan diikuti oleh prilaku rakyat dan elit yang kompromistis, toleran dan menerima perbedaan dalam bentuk sharing power sesuai dengan konstitusi yang berlaku (bukan dagang sapi). Legitimasi dalam konteks ini sebagaimana pandangan Larry Diamond dalam bukunya “Developing Democracy; Toward Consolidation” bukan sekedar sebuah komitmen normative ansich, melainkan juga harus diperlihatkan dan dirutinkan dalam bentuk prilaku. Atau meminjam istilahnya Danwart Rustow, sebuah “pembiasaan prilaku”, dimana norma-norma prosedur-prosedur, harapan-harapan tentang demokrasi menjadi sedemikian terinternalisasi, sehingga para aktor secara rutin, secara mekanis, mencocokkan diri dengan aturan permain demokrasi.
Akan tetapi jika harapan-harapan terhadap demokrasi gagal digejewantahkan serta langkah-langkah kompromistis antara elit dan massa tidak tumbuh dalam arena demokrasi tersebut, maka akan mudah mendorong terjadinya kebuntuan demokrasi yang mengakibatkan pada amukan maupun aksi-aksi massa yang bersifat anarkhis. Kebuntuan aspirasi rakyat dan massa yang terus meluas itulah yang jauh hari dikhawatirkan oleh banyak ahli sosial, sebab kondisi tersebut bisa menumbuhkan revolusi sosial, atau sekurang-kurangnya perluasan gejala tersebut bisa menimbulkan pembangkangan secara semu yang muncul dalam bentuk anarkhisme sosial.
Dalam konteks ini, gerakan anarkhisme yang dilakukan oleh mahasiswa dalam penolakan terhadap kebijakan pemerintahan SBY-JK dalam menaikkan harga BBM menurut hemat penulis merupakan implikasi dari kebuntuan aspirasi massa yang tidak mendapatkan jalan kompromi elit. Sebagaimana yang diketahui, bahwa penolakan mahasiswa dan rakyat terhadap kenaikan harga BBM ini sudah berlangsung dalam waktu yang lama termasuk ketika pemerintah menaikkan harga BBM di awal pemerintahannya. Aksi yang dilakukankan pada saat itu pun masih dalam koridor demokrasi dalam bentuk penyampaian aspirasi publik dengan menolak kebijakan tersebut. seperti demonstrasi secara tertib di titik-titik kekuasaan, mogok makan, dialog, dan audiensi. Hanya saja berbagai langkah dan upaya mahasiswa melakukan penolakan tersebut tidak ada jalan kompromi elit untuk memenuhi aspirasi publik tersebut. Bahkan yang yang terjadi adalah prilaku kekerasan oleh aparat kepolisian terhadap demontrasi mahasiswa sebagaimana yang terjadi di kampus UNAS (Universitas Nasional) Jakarta dan beberapa daerah lainnya.
Selain upaya kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap demontrasi mahasiswa, pemerintah seakan-akan dengan mudah untuk mematikan langkah gerakan massa dan melakukan pengalihan isu demi mengamankan kebijakan yang tidak populis tersebut. Misalnya untuk mematikan kritisisme publik terhadap kebijakan pemerintah tersebut, upaya melakukan kanalisasi terhadap kesadaran publik begitu kuat dilakukan melalui pemberian bantuan-bantuan langsung yang sebenarnya tidak memiliki korelasi yang kuat terhadap pengurangan kemiskinan dan beban hidup masyarakat pasca kenaikan BBM ini. Hal tersebut dilakukan semata-mata untuk mengamankan amukan dan frustasi massa atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM semata. Jadi BLT atau sejenisnya hanya sebagai obat penenang massa yang bersifat sementara demi memuluskan agenda pemerintah. Begitu pula halnya dengan pengalihan isu yang dilakukan, persis ketika mata publik terkonsentrasi membicara dan menolak kenaikan harga BBM, tiba-tiba perhatian publik dialihkan dengan isu-isu keagamaan seperti kasus Ahmadiyah, kekerasan antar kelompok keagamaan dan sebagainya. Tentu saja tujuan dari semua ini untuk menghentikan gerakan mahasiswa agar gerakan demontrasi atas kenaikan harga BBM ini tidak mendapat perhatian dan dukungan publik lagi.
Dalam ruang yang sepertilah menurut penulis bagaimana gerakan mahasiswa yang bersifat anarkhis itu muncul. Pertama, untuk membangunkan kembali kesadaran dan kritisme publik bahwa kenaikan harga BBM bukanlah solusi bagi perbaikan hidup rakyat. Kedua, sebagai sebuah counter issu atau isu tandingan yang diciptakan oleh berbagai pihak untuk menghentikan konsentrasi massa terhadap penolakan harga BBM. Ketiga, sebagai jalan dan ruang kompromi antara mahasiswa atau rakyat dengan elit-elit bangsa menyangkut harga BBM.
Jadi jika upaya-upaya massa maupun mahasiswa terbuka dan diakomodir oleh elit bangsa atau pemegang kebijakan, penulis tidak yakin jika gerakan anarkisme ini bisa tumbuh dan terjadi di dalam gerakan mahasiswa. Sebab mahasiswa adalah kelompok terdidik yang lebih mengedepankan nilai-nilai dan kekuatan moral (moral force) dalam melakukan gerakan-gerakannya. Hanya saja jika otoritarianisme dan kekerasan elit menjadi jalan untuk meneruskan kebijakan yang jelas-jelas jauh dari keinginan rakyat, maka prilaku anarkhis akan mudah tumbuh dengan sendirinya. Catatan ini sekaligus menyangsikan bahwa di balik aksi-aksi kekerasan mahasiswa tersebut ada dalang dan sebagainya. Sebab menurut penulis kebuntuan aspirasi bagi siapapun akan mudah menimbulkan gejolak yang cenderung anarkhis.
Oleh karenanya, anarkhisme gerakan mahasiswa tersebut harus bisa dilihat dalam kerangka yang obyektif dengan melihat konteks sosial politiknya serta melihat berbagai kausalitas yang menyebabkan terjadinya aksi-aksi yang seperti demikian. Karena selama ini aspek kekerasan selalu mudah dilihat dalam bentuk langsung, sementara jika bicara teori kekerasan, tidak hanya kekerasan yang berbentuk langsung, akan tetapi juga terdapat kekerasan yang bersifat tidak langsung, seperti kebijakan yang tidak berpihak pada hidup rakyat banyak, sehingga meningkatkan angka kemiskian, pengangguran serta warga yang kekuraangan gizi, merupakan bagian dari kekerasan tidak langsung. Nah, kalau yang demikian dilakukan melaui sebuah kebijakan dalam institusi negara, tentu saja obyek yang mendapat prilaku kekerasan tersebut sangat besar jumlahnya jika dibandingkan oleh sikap anarkhis mahasiswa tersebut. Hal ini tentu saja bukan membenarkan gerakan mahasiswa harus berprilaku anarkhis, namun ini sebuah perbandingan agar kita semua juga melihat dan menilai persoalan-persoalan sosial secara obyektif, sehingga tidak selalu dan mudah menyalahkan kelompok kecil dan lemah.
sumber : www.imm.or.id

BERITAHU TEMAN

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites