Filosofi Lima Jari

Hujan di Kota Magelang mengingatkan saya pada kampung halaman. Kepada enaknya manisan, nasi yang sangat harum dan Tauco yang menjadi ciri khas kampungku itu. Di tambah lagi dengan jagung bakar puncak yang sangat enak dimakan di tengah dinginnya suasan kebun teh. Ada satu nasihat seorang kyai yang masih terngiang di telingaku yakni filosofi lima jari dalam Ukhwah Islamiyah.
KH. Abdul Qodir Rozy atau yang akrab di sapa Ust. Koko memberikan penjelasan yang sangat mendalam tentang filosofi lima jari. Beliau bilang ada lima golongan yang kalau saja mereka mau bersatu, ibarat lima jari ini, semua perkara dapat diselesaikan.
1.        Jari Jempol
Jari jempol ini adalah simbol pemimpin. Dia yang utama dan induk keempat jari lainnya. Kenapa ini identik dengan simbol pejabat? Karena jempol bisaanya identik dengan persetujuan, kebagusan dan sifat baik. Bukankah pemimpin bisaanya menjadi tokoh sentral untuk segala urusan setuju dan tidak setuju pada sebuah keputusan? Pemimpin juga merupakan patron, dimana apa yang bisaanya dianggap baik oleh pemimpin, juga diikuti oleh rakyatnya? Coba angkat jempol untuk menyatakan rasa setuju, maka keempat jari lainnya pasti menunduk.
2.        Jari Telunjuk
Jari telunjuk adalah simbol dari orang-orang  kaya. Sebab budaya orang kaya bisaanya menunjuk. Jika butuh apa-apa orang kaya bisaanya tinggal tunjuk karena dia punya kekuatan. Bahkan dengan harta yang dia miliki, dia bisa mengatur keputusan seorang pemimpin untuk setuju atau tidak setuju akan suatu masalah. Sekarang coba tunjuk sesuatu, ketika sedang menunjuk ibu jari menekan ketiga jari lainnya untuk tunduk.
3.        Jari Tengah
Ini simbol ulama. Posisi di tengah, jari tengah merupakan jari yang paling tinggi di antara kelima jari, akan tetapi setiap kali, akan makan menggunakan tangan, atau mengambil barang, secara otomatis jari tengah akan menarik diri menjadi sejajar dengan empat jari lainnya. Itulah perlambang kebijakan jari rengah, ulama.
Jari tengah tidak ke kiri dan tidak ke kanan. Memang begitulah sebaiknya ulama. Dia tida kemana-mana, tapi ada dimana-mana. Posisi ulama itu ditengah-tengah umat, itulah lapangan perjuangannya. Di situlah habitatnya, maka jangan coba meninggalkan habitat kalau tidak tuntunannya hanya akan menjadi tontonan.
Keberadaan ulama ditengah-tengah umat, laksana harimau di tengah hutan. Keduanya saling membutuhkan, hutan perlu harimau untuk menjaganya dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Dan harimau perlu hutan, karena disitulah dia lebih berwibawa.
4.        Jari Manis
Ini simbol remaja, dimana segala sesuatunya tidak lepas dari unsur “manis”. Senyum manis, wajah manis dan segalanya manis. Sekali lagi coba kita lihat, pernah coba mengangkat jari manis? Bisakah dia dengan sempurna berdiri tegak? Ternyata sulit bukan? Itulah ibarat masa remaj. Pada masa itu, para remaja merasa sudah bisa mandiri, tidak mau diatur, maunya bebas, lepas tanpa aturan, padahal sesungguhnya dia masih memerlukan topangan dari orang tua, guru dan orang lain.
5.        Kelingking
Ini jari terkecil dalam susunan lima jari kita. Ini adalah simbol kaum perempuan, mohon maaf bukan bermaksud menyinggung, karena ini hanyalah simbol kelingking ini kecil, mungil tapi “fungsional”. Justru karena kecilnya, dia bisa melakukan banyak hal yang tidak bisa di lakukan oleh keempat jari yang lain. Biarpun kecil, kelingking ini “menangan”, coba ingat ketika kita suit, kelingking bertemu jempol maka yang menang kelingking, itu juga simbol. Bahwa meskipun kecil kaum wanita bisa “merayu” para pemimpin yang kebetulan suaminya mungkin untuk menjadi lebih baik atau menjadi sebaliknya, sejarah banyak menceritakan, bahwa puluhan laki-laki perkasa, terjatuh di kaki kaum wanita. Maka sungguh dahsyat peran kaum wanita ini untuk menentukan masa depan peradaban bangsa.
Sebagaimana sabda Rasalulullah saw: “Wanita tiang Negara, kalau baik kaum wanita, maka mulyalah Negara. Kalau rusak kaum wanita, maka hancurlah Negara”. Kalau semua unsur jari ini bisa bersatu, maka pekerjaan apa yang tidak bisa dilaksankan? Dari sekedar bersalaman, menulis, menggaruk, membelai, memijat, memukul, mengangkut sesuatu, menggenggam, melempar, semuanya menjadi terasa sangat mudah bila kelima jari ini bersatu. Begitu juga umat ini, bila kelima unsur diatas bisa saling mengisi dan menjaga, maka tidak ada permasalahan yang tidak bisa di bereskan.
Sekarang kita lihat bangsa ini apakah kelima unsur ini bersatu dengan baik atau tidak. Kalau kita melihat dan menganalisa kelima unsur yang ada di negeri ini tidak bersatu dengan baik, ulama yang kita harapkan bisa mempersatukan umat masuk kedalam ranah politik maka dia sudah keluar dari habitatnya, sehingga ucapannya menjadi politis. Bahkan untuk urusan Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) saja ulama ikut campur memberikan fatwa tapi tidak jadi karena banyak kritikan, belum lagi fatwa haram merokok. Yang kesemuanya itu kalau kita analisasi lebih lanjut bukan persoalan-persoalan yang subtansi dalam ajaran Islam. Seadainya saja ulama berani memberikan fatwa yang ekstrim untuk para koruptor, penguasa yang tidak menepati janjinya dan para penjarah hutan maka mungkin itu masuk akal, karena Islam harus bisa menjawab persoalan-persoalan yang muncul.
Namun kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya ulama, karena pemerintah yang seharusnya kita taati selalu melakukan ketidak jujuran dalam kerjanya. Berhenti pada janji-janji yang tidak ditepati, ketika erupsi gunung merapi meletus pemerintah berjanji mau mengganti ternak para korban merapi, tapi faktanya itu hanya isapan jempol semata. Apalagi dengan kebiasaan manipulasi data laporan yang harus dilaporkan, seperti Laporan Tahunan Gubernur Jawa Tengah yang copy paste dari Laporan dua tahun sebelumnya. Apakah masih bisa kita taati pemerintah seperti ini? Jawabannya hanya ada pada diri kita masing-masing.
Berbicara pengusaha juga tidak jauh berbeda sangat jarang  kita jumpai para pengusaha yang peduli terhadap permasalah yang ada. Bahkan kesuksesan yang dia raih hanya dinikmati oleh mereka dan keluarga, padahal kalau kita teliti sebagian besar pengusaha kita adalah muslim yang sejatinya memiliki kewajiban untuk melakukan zakat untuk kesejahtraan umat. Ketika zakat tidak mau, pajak di manipulasi maka integritas “pengusaha” dipertanyakan, pernyataan Dr.KH. Didin Hafiuddin sangat mencengangkan ternyata semua lembaga zakat yang ada hanya mampu atau baru menampung 20% zakat dari seluruh umat muslim. Dapat kita bayangkan kalau seadainya zakat itu di gunakan untuk kesejahtraan rakyat maka tidak ada lagi ketimpangan.

BERITAHU TEMAN

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites