Islam dan Globalisasi

Sebagai umat Islam, kita bersifat terbuka kepada Barat sesuai dengan anjuran agama. Hal yang mendorong kita untuk memiliki sifat itu adalah: (1) Kita adalah pemilik risalah ‘alamiyah (global) yang datang untuk seluruh manusia di seluruh penjuru dunia. Benar bahwa Kitab suci kita berbahasa Arab, Rasul kita seorang Arab, dan Islam tumbuh di dunia Timur (Arab). Tetapi ini bukan berarti bahwa Islam ditujukan hanya untuk bangsa tertentu, melainkan untuk segenap penduduk bumi. Agama masehi sendiri tumbuh di dunia Timur, lalu tersebar di penjuru dunia. (2) Jalan untuk menuju saling pengertian dan berdekatan cukup banyak. (Salah satunya adalah ta’aruf). Jadi ta’aruf bukan saling bermusuhan merupakan kewajiban semua penduduk bumi. Kita tidak sependapat dengan seorang sastrawan Barat yang mengatakan, ‘Timur adalah Timur, dan Barat adalah Barat. Keduanya tidak mungkin bertemu.’ Keduanya justru bisa bertemu, dan bahkan wajib untuk bertemu bila niatnya benar. (3) Dunia yang semakin dekat ini mengharuskan penganut agama-agama samawi dan pemilik tiap peradaban untuk bertemu, berdialog dan saling memahami. Dan tentu saja dialog semacam itu lebih baik daripada pemusuhan. (Yusuf al-Qardhawi : 2001).
Globalisasi sebagai sebuah fenomena mulai menampakkan dirinya pada sekitar tahun delapan puluhan abad ini. Dan pemunculan itu setidaknya sangat berkiatan erat dengan 3 peristiwa besar yang masing – masing mewakili ranah politik, teknologi (informasi) dan ekonomi. Ketiga peristiwa itu adalah:
1.      Ranah politik: berupa berakhirnya perang dingin antara Timur yang dalam hal ini diwakili oleh Uni Soviet-  dan Barat yang dalam hal ini diwakili oleh Amerika. Tentu saja dengan “kekalahan” di pihak Uni Soviet yang belakangan harus rela membiarkan wilayahnya tercabik dan melepaskan diri satu persatu.
2.      Ranah teknologi: yang mewujud dalam revolusi informasi, dimana dunia menyaksikan ledakan yang luar biasa dalam bidang telekomunikasi dan arus perpindahan informasi yang tak terkendali dari satu tempat ke tempat yang lain.
3.      Ranah ekonomi: berupa lahirnya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 1995 yang kemudian menjadi bibit persemaian awal ide pasar dan perdagangan bebas di antara semua negara.
Satu hal unik yang patut dicatat adalah bahwa globalisasi belum pernah terjadi atau ditemukan pada abad-abad sebelumnya, meskipun beberapa negara atau bangsa memiliki kekuasaan penuh (baca: menjajah) bangsa lainnya secara militer dan ekonomi. Meskipun Romawi pernah menguasai hampir semua wilayah Eropa misalnya, namun kekuasaan itu kemudian tidak melahirkan fenomena globalisasi ini.
Demikian pula jika kita menariknya jauh ke belakang di saat bangsa Eropa menggalakkan ekspedisi pencarian wilayah baru di kawasan timur bumi, sejarah tidak pernah mencatat adanya fenomena baru yang disebut globalisasi ini, meskipun sebagian negara Eropa itu berhasil menanamkan kekuatan dan kekuasaannya di berbagai wilayah timur dunia. Namun di zaman ini, di saat kita setidaknya secara kasat mata tidak lagi melihat bentuk-bentuk imperialisme klasik atas bangsa lain, gelombang globalisasi dengan dukungan perkembangan telekomunikasi dan transportasi yang berkembang nyaris setiap detik, justru menjelma menjadi fenomena yang tak mungkin lagi terbendung. Kita nampaknya tidak mempunyai pilihan lain selain turut serta menjadi “pemain” dalam arusnya yang sangat kuat. Tinggal kemudian kita yang menentukan: apakah kita sekedar menjadi “pemain” yang pasrah mengikuti ke mana saja ia mengalir, atau justru menjadi “pemain” yang lihai memanfaatkan arusnya untuk mewujudkan cita-cita keislaman kita. Untuk Memahami bagaimana itu Globalisasi dam apa itu Globalisasi?.
Era globalisasi ditandai dengan kemajuan di bidang teknologi komunikasi, transportasi dan informasi yang sedemikian cepat (Yusuf Al-Qardhawi ; 2001) Kemajuan di bidang ini membuat segala kejadian di negeri yang jauh bahkan di benua yang lain dapat kita ketahui saat itu juga, sementara jarak tempuh yang sedemikian jauh dapat dijangkau dalam waktu yang singkat sehingga dunia ini menjadi seperti sebuah kampung yang kecil, segala sesuatu yang terjadi bisa diketahui dan tempat tertentu bisa dicapai dalam waktu yang amat singkat (Bahtiar Effendy ; 2003/Makalah)
Sulit rasanya meletakkan proses perubahan sosial, budaya dan politik dewasa ini lepas dari perkembangan dinamika global. Kemajuan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi memberi pengaruh luas dalam kehidupan sehari-hari, bahkan merombak sistem sosial. Globalisasi ekonomi dan budaya berpengaruh pada penciptaan kultur yang homogen yang mengarah pada penyeragaman selera, konsumsi, gaya hidup, nilai, identitas, dan kepentingan individu. Sebagai produk modernitas, globalisasi tidak hanya memperkenalkan masyarakat di pelosok dunia akan kemajuan dan kecanggihan sains dan teknologi serta prestasi lain seperti instrumen dan institusi modern hasil capaian peradaban Barat sebagai dimensi institusional modernitas, tetapi juga mengintrodusir dimensi budaya modernitas, seperti nilai-nilai demokrasi, pluralisme, toleransi, dan hak-hak asasi manusia.
Pendidikan Islam Dan Tantangan Globalisasi
Hakikat Globalisasi
Spektrum tantangan masa depan ini amat luas kaitannya dengan globalisasi yang semakin menguat luas dan mengakibatkan batas-batas politik, ekonomi dan sosial budaya antar bangsa semakin samar dan hubungan antar negera menjadi transaparan (Maksum Mukhtar : 2005/ Pengantar membedah nalar pendidikan Islam).
Globalisasi telah mengubah wajah dunia. Dari era indutrialisasi menuju era informasi tanpa batas. Dimana batas-batas geografis atau teritorial seakan tidak ada lagi. Kebudayaan asing bisa memasuki suatu Negara dengan bebas. Perdagangan antar bangsa pun menjadi semakin mudah karena tiadanya batas-batas hukun yang nyata.
Pengertian Pendidikan Islam dan Globalisasi
Pengertian pendidikan Islam adalah menurut Zakiyah Drajat proses transpormasi Ilmu dan nilai dari seorang individu terhadap individu lain yang bermuatan Islam. Sedangkan menurut Darmaningtyias (Direktur Taman Siswa) adalah proses mencerdaskan individu dengan meneladani sumber Islam yang diimplemtasikan dalam proses belajar mengajar dengan segala instrument yang menopangnya.
Sedangkan Globalisasi banyak sekali terminologi yang menjelaskan tentang Globalisasi diantaranya. Jika kita setuju dengan tesis dari Samuel P.Huntington tentang Clash of Civilization, maka yang akan kita hadapi dengan istilah globalisasi adalah interaksi budaya global dengan sekat-sekat yang hampir tidak dapat membendungnya. Globalisasi sebagai proses percepatan untuk menyatukan dunia (Edy Suandi Hamid: 2008/ Makalah seminar internasional di UMM).
Dalam pengertian umum Davies dan Nyland menemukan lima pengertian globalisasi yaitu 1) Internasionalisasi, 2) Liberasi, 3) Universialisasi, 4) Westerenisasi atau modernisasi dan 5) Suprateritorialitas, yang mengandung makna bahwa ruang sosial tidak lagi ditetapkan atas dasar tempat, jarak dan batas-batas wilayah. Menurut Peter J.M Nas, globalisasi dapat dipahami sebagai reaksi dan elaborasi terhadap gejala-gejala sosiologis yang sekarang terjadi yaitu berkembangnya “the world system and modernization”.
Selain itu globalisasi juga dimaknai sebagai sebuah proses terintegrasinya bangsa-bangsa dunia dalam sebuah system global yang melintasi batas-batas Negara (transnasional). Negera-negara nasional-teritorial tersebut mengalami deteritorialisasi. Dengan deteritorialisasi tersebut, batas-batas geografis menjadi kurang bermakna karena jarak ruang dan waktu sudah bias diatasi dengan keunggulan teknologi informasi. Batas-batas nasional menjadi kabur dan digantikan dengan transnasional.
Berbagai Paradigma Islam dalam Menghadapi Globalisasi
Pada mulanya agama-agama muncul dari unsur kebudayaan sebuah masyarakat sebagai bagian ritus transendental yang didominasi kekuatan mistis. Agama ini lahir dalam bentuk-bentuk yang plural sesuai dengan corak ekonomi sosial tiap-tiap masyarakat pada masanya (Harun Nasution : 1985). Dalam perkembangannya mengalami perubahan bentuk aplikasi pemaknaan di kalangan umatnya. Sejalan dengan perubahan tersebut, dapat dikemukakan bahwa pada saat ini ada dua paradigma fundamental yang berkembang di kalangan umat Islam dalam menghadapi globalisasi yaitu :
1.      Paradigma Konservatif
Paradigma yang cenderung bersifat konservatif, yang memposisikan Islam sebagai agama yang memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama yang belum mau bersentuhan dengan wacana keilmuan selain Islam. Unsur-unsur sosial selain Islam dalam hal ini dianggap sebagai bagian yang senantiasa berlawanan bahkan mengancam. Dalam dimensi teologi, Tuhan menempati pokok segala kekuasaan yang telah diterjemahkan dalam kajian-kajian pendahulunya dengan peletakan unsur mazhab yang dianggap representatif. Tuhan dengan segala kekuasaannya telah memberikan ukuran dan solusinya sesuai dengan ajaran yang tertulis. Bagi mereka menafsirkan ayat yang berkaitan dengan ketuhanan dengan metode baru adalah kesesatan.
Demikian pula dalam bidang syariat yang menjadi pusat kajian hukumnya. Aspek hukum yang telah ada dalam kitab-kitab tersebut sudah menjadi final untuk dijadikan acuan hukumnya. Alasannya, hukum tersebut murni bersumber dari Alquran dan hadis. Oleh karenanya, tidak ada yang perlu disempurnakan lagi. Realitas sosial politik yang menandai kemunculan hukum-hukum tersebut nyaris tak mendapatkan tempat kajian yang mendalam. Dalam kategori sosiologis Islam seperti di atas, menurut Ali Syariati Islam hanya menjadi kumpulan-kumpulan dari tradisi asli dan kebiasaan masyarakat yang memperlihatkan suatu semangat kolektif suatu kelompoknya. Ia berisi kumpulan kepercayaan nenek moyang, perasaan individual, tata cara, ritual, aturan, kebiasaan, dan praktik-praktik dari suatu masyarakat yang telah mapan, berlangsung dari generasi ke generasi. Kebiasaan inilah yang biasanya dipelihara oleh penguasa politik untuk melegitimasi kekuasaan. Karena indoktrinasi menjadi bagian yang kuat dalam pemaknaan ajaran agama maka paradigma ini sering pula disebut paradigma konservatif.
Melihat pemahaman tersebut dapat kita mengerti bahwa kelompok ini, memposisikan Islam sebagai agama yang serba lengkap, sehingga doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama yang ada tidak dapat bersentuhan dengan wacana keilmuan selain Islam.
2.      Paradigma Liberal
Paradigma yang bersifat antagonistik dengan paradigma konservatif. Islam diasumsikan sebagai agama yang dapat berperan sebagai agen perubahan sosial. Unsur-unsur sosial selain Islam dalam hal ini menjadi komponen yang diterima bahkan menjadi acuan penting di dalam merumuskan berbagai solusi terhadap persoalan kekinian yang dihadapi umat. Dalam dimensi teologi paradigma ini mengedepankan aspek rasionalisme. Teologi bukan semata menjadi objek kajian bagaimana meyakinkan umat secara doktriner, melainkan sebagai pembimbing tindakan praksis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari paradigma kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang terus menyuarakan kepentingan mayoritas umat. Paradigma ini berpendirian bahwa walaupun Islam memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama tapi harus dilakukan banyak dekonstruksi terhadap pemahaman doktrin tersebut melalui pengembangan wacana keilmuan yang dapat diperoleh pada sumber-sumber eksternal.
Berkebalikan dengan teologi kaum konservatif yang gigih membela Tuhan, dimensi teologi yang mereka ajukan justru menginginkan konsistensi menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran yang membebaskan umat dari penindasan kultural dan struktural. Mereka lebih menekankan pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sehingga terkadang melampaui garis-garis “larangan” demi mewujudkan teologis humanisnya. Dalam dimensi syariat paradigma ini mengambil hukum-hukum melalui pemahaman yang cenderung terlalu kontekstual, sehingga terkadang mengabaikan tekstualitas dan latar belakang munculnya doktrin-doktrin agama. Mereka juga mengajukan berbagai wacana tentang perlunya tafsir ulang terhadap al-Qur’an dan hadis. Paradigma pemikiran yang cenderung sangat liberal ini sering diistilahkan dengan paradigma liberal.
3.      Paradigma Alternatif
Untuk mengintegrasikan dua kubu paradigma yang paradoks ini maka perlu kiranya dikembangkan satu paradigma alternatif, yang mungkin dapat mengkompromikan dua pandangan di atas. Sebab dengan mengkompromikan dua pandangan tersebut paling tidak kita berusaha menjembatani adanya titik temu sebagai salah satu upaya mencari konsepsi final yang paling ideal dalam Islam, meski memang untuk mengejawantahkannya dalam tataran realitas bukanlah persoalan mudah. Paradigma alternatif yang di tawarkan adalah paradigma moderat yakni paradigma yang cenderung mencoba mengintegrasikan pandangan-pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan Islam dan persoalan kemasyarakatan. Di pihak lain, pandangan ini juga ingin melunakkan Paradigma Konservatif yang seringkali melakukan generalisasi bahwa Islam selalu mempunyai kaitan atau hubungan yang tak terpisahkan dengan masalah-masalah kemasyarakatan. Serta berusaha mengakomodasi dilakukannya pembaruan wacana sesuai dengan diinginkan kalangan liberal dengan tetap memperhatikan nilai-nilai luhur dan keislaman.
Dalam dimensi teologi paradigma ini selain mengedepankan aspek rasionalisme namun juga tidak melupakan aspek keimanan, sebab aspek keimanan ini merupakan salah satu faktor penting di dalam menyikapi berbagai persoalan kekinian. Teologi selain menjadi obyek kajian bagaimana meyakinkan umat secara doktriner, tetapi juga sebagai pembimbing tindakan praksis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari paradigma kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang terus menyuarakan kepentingan mayoritas umat. Berbeda dengan teologi kaum konservatif yang gigih membela Tuhan dan kaum liberal yang terlalu humanis, paradigma ini selain berusaha memelihara nilai-nilai ketauhidan yang bersifat formalistik tetapi juga berusaha secara konsisten menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran yang membebaskan umat dari penindasan kultural dan struktural. Dalam arti nilai tauhid harus “membumi” dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dimensi syariat, paradigma ini selain mengambil hukum-hukum Islam dari aspek nilai/substansi tetapi berusaha pula memahami secara tekstual kitab-kitab Islam lama yang dimapankan oleh kalangan konservatif. Alquran dan Hadis memang harus ditafsir ulang tetapi harus dengan pertimbangan ilmiah teoretis dalam pertimbangan praksis sosialnya.
Yang menjadi tantangan paradigma moderat di masa datang adalah situasi global yang kian tidak menentu serta menampakkan hegemoni yang memungkinkan munculnya resistensi kultural yang bersifat radikal dan anarkis, selain kebijakan politik nasional yang tidak memihak kaum lemah, seperti gejala penggusuran dan hilangnya pekerjaan bagi sejumlah buruh perusahaan dan pabrik. Hal-hal seperti ini akan turut menghambat kampanye paradigma moderat di tanah air. Wacana paradigma moderat akan selalu tampil ke permukaan dengan tradisi dan khazanah keagamaan yang dimilikinya. Paradigma akan kian sempurna bila mendapat "ruang publik" yang memungkinkan terwujudnya wawasan keagamaan yang terbuka dan damai, yaitu kondisi obyektif yang dapat memayungi keadilan bagi tiap warga, kesetaraan bagi keragaman suku dan agama, serta kedamaian di antara pelbagai konflik horizontal yang menyelimuti masyarakat kita belakangan ini.
Kesimpulan
Pada akhirnya, Islam dan umat Islam sesungguhnya dapat memanfaatkan globalisasi sebagai jalan efektif untuk memperteguh identitasnya. Bahkan sudah seharusnya demikian. Artinya pemanfaatan globalisasi dalam rangka meneguhkan bahkan menyebarkan identitas Islam dan umat Islam sesungguhnya telah sampai pada taraf kewajiban. Apalagi salah satu doktrin penting yang sering digaungkan oleh umat Islam sendiri adalah bahwa Islam adalah agama ‘alami.
Pemanfaatan globalisasi tentu saja didasarkan pada pandangan objektif bahwa fenomena ini tidak sepenuhnya mengandung nilai-nilai negatif. Fenomena ini sebenarnya menyimpan sebuah kekuatan yang sangat dahsyat, yang dampak-dampaknya sepenuhnya bergantung pada “siapa dan bagaimana” ia dimanfaatkan. Senjata paling mematikan yang dimiliki oleh globalisasi adalah media informasi dan sarana telekomunikasi dengan segala variannya yang berkembang setiap hari. Hari ini kita menantikan kolaborasi cantik antara ulama, pemikir, ilmuwan ahli, budayawan, dan pelaku-pelaku globalisasi muslim untuk meracik secara tepat, untuk kemudian menyajikan jawaban positif Islam atas globalisasi.
Daftar Pustaka
Al-Qardhawi, Yusuf, Islam dan Globalisasi Dunia, terj. dari buku Al-Muslimun wa Al-Aulamah, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, Cet. I, 2001.
Effendi, Bachtiar, Masyarakat Agama dan Tantangan Globalisasi : Mempertimbangkan Konsep Deprivatisasi Agama, Makalah tidak diterbitkan.
Huntington P.Samuel. 1999: Clash Civilication .Jakarta. Gramedia.
Nasution, Harun, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspek Jilid I, Jakarta : UI Press, Cet. V, 1985.
Manshur, Faiz, Pilihan Paradigma Islam Menghadapi Globalisasi, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0303/21/0801.htm
Ratea, Tita Dewinta, Membongkar (Kejahatan) Globalisasi, http://www.sekitarkita.com/wacana/dewinta.htm.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, Edisi kelima, 1993. (Makalah Ini di sampaikan dalam kuliah Pendidikan Islam Kontemporer)

BERITAHU TEMAN

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites