Harus jujur
diakui, meski telah memproklamirkan sebagai gerakan modernis-substansialis di
Indonesia, tetapi masih tampak kegagapan dan kegamangan Muhammadiyah dalam
mengaitkan doktrin agama dengan persoalan publik. Seperti tampak secara jelas
(sering) keterlambatannya dalam merespon persoalan-persoalan politik, sosial,
dan budaya yang berkembang begitu cepat. Di sisi lain, bahkan ada kecenderungan
Angkatan Muda Muhammadiyah tengah mengembangkan wacana intelaktual “formalisme
Islam”, yang tampak seperti gerakan “back to salaf”, dan gerakan
jilbabisasi yang marak di kampus-kampus Muhammadiyah.
Dari semula,
paham keagamaaan Muhammadiyah
selalu mengaitkan dan mempertautkan dimensi ajaran ke sumber al-Qur’an dan
Sunnah yang shahih dengan dimensi ‘Ijtihad’ dan ‘Tauhid’ dalam satu kesatuan
yang utuh. Ibarat sebuah mata uang logam, paham keagamaan tersebut memiliki dua
permukaan, yakni dua sisi permukaan yang dapat dibedakan antara keduanya,
tetapi tidak dapat dipisahkan. Begitu pula hubungan antara adagium ‘kembali ke
Al-Qur’an dan Sunnah’ pada satu sisi dengan adagium lain yakni ‘ijtihad’dan
‘tajdid’. Keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Jika
keduanya sampai terpisah atau sengaja dipisahkan maka paham keagaman tersebut
tidak layak lagi digunakan sebagai predikat paham keagamaan Muhammadiyah.
Menurut Amin Abdullah, dalam studi agama-agama, pemahaman dan pendekatan yang
bersifat utuh komprehenshif tersebut disebut pendekatan yang bersifat scientific
cum doctrinaire.
Tetapi sekali
lagi, selama ini Muhammadiyah telah terjebak dalam kubangan puritanisme yang
akut, sehingga adagium ar-ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah hanya
semata-mata terkait dengan persoalan ibadah mahdlah, untuk tidak
mengatakan hanya terfokus pada persoalan-persoalan fiqih. Tidak mencoba untuk
dikembangkan dalam arti yang lebih luas dan fundamental yakni back to the
principle of Qur’anic ethical values. Dan ‘ijtihad’ di Muhammadiyah hanya
terkait dengan isu-isu hukum agama atau hukum-hukum fiqih an sich dan
tidak melebar pada al-ulum al-kauniyyah dan al-hayat al-insaniyyah.
Kecenderungan
konservatisme dalam alam pikiran Muhammadiyah tersebut disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama, keterjebakan Muhammadiyah terhadap aktivisme yang
cenderung memperluas demografi dan keanggotaan. Aktivisme tersebut
mengakibatkan para aktivis Muhammadiyah terlalu bersifat politis-idiologis dan
apologis ketimbang berfikir secara reflektif-kontemplatif dan folosofis. Kedua
peran Majlis Tarjih sebagai thik-thank Muhammadiyah terlalu bersifat fiqh-oriented
dan tekstual normatif. Kecenderungan ini telah menafikan konteks
perkembangan jaman dan perubahan sosial yang menghajatkan suatu pola pemikiran
keislaman yang asumtif-probabilistik-pluralis. Ketiga, di tingkat
aplikasi praktis, muncul truth claim dari pensakralan produk-produk
Majlis Tarjih seperti Himpunan Putusan Tarjih (HPT) terhadap masalah-masalah
muamalah. Keempat, belum meluasnya tradisi berfikir empirik di kalangan
para anggota Majlis Tarjih.
Sebuah
Pendekatan
Dalam wacana
klasik, secara bahasa ijtihad berarti antara lain “kesungguhan” mencurahkan
segala kemampuan”, dan “menanggung beban”. Dari pengertian ijtihad yang
dikatakan al-Ghazali di atas, dapat dipahami bahwa lapangan ijtihad hanya
terbatas pada mengeluarkan hukum syara’ yang bersifat praksis dan yang merujuk
kepada nash peringkat dzanni. Tetapi apakah wilayah ijtihad sesempit itu?
Dr. Yusuf
al-Qordlawi termasuk salah seorang ulama terkemuka saat ini yang tidak
membatasi ijtihad dengan tema terbatas hukum syara’, tetapi melebar pada
persoalan-persoalan ijtima’iyah (kemasyarakat), iqtishadiyyah
(ekonomi) dan siyasah (politik). Labih lanjut, dia menjelaskan
bahwa ijtihad pada zaman modern ini merupakan sebuah kebutuhan, bahkan suatu
keharusan bagi masyarakat Islam. Sambil merujuk pada pendapat Imam Hambali,
Qordlawi berpendapat bahwa tidak boleh pada suatu masa vakum dari seorang
mujtahid yang dapat dijadikan rujukan oleh masyarakat dalam persoalan-persoalan
yang muncul di tengah-tengah mereka.
Muhammad Iqbal
pernah mengatakan bahwa ijtihad adalah prinsip ‘gerak dalam Islam’, sambil
mengutip Ibn Taimiyyah yang mengatakan bahwa al-haqiqatu fi al-a’yan la fi
al-‘addzan (kebenaran terletak pada realitas, bukan pada konsepsi-konsepsi
akal semata). Memang kemudian timbul pertanyaan, gerak macam apa yang dimaksud
? Apakah gerak tersebut berlaku semata-mata untuk hukum-hukum fiqih atau juga
untuk berbagai aspek kehidupan?
Lebih lanjut
Amin Abdullah mengelaborasi pertanyaan-pertanyaan di atas dengan melontarkan
pertanyaan kritisnya, yakni mana yang perlu diprioritaskan ? Apakah back to
the principle of Qur’anic ethical values yang dalam hal ini menggunakan
pendekatan aksiologis, atau apakah pendekatan ushuliyyah al-bayaniyyah lewat
qaidah ushuliyyah ? Atau kedua-duanya memang sama-sama penting, tetapi mempunyai
wilayah kerja masing-masing?
Back
to the principle of Qur’anic ethical values (pendekatan
aksiologis) mempunyai ruang lingkup dan wilayah kerja yang bersifat universal
inklusif, sedangkan pendekatan qa’idah bayaniyyah-ushuliyyah hanya
mempunyai wilayah yang berrsifat partikular-eksklusif, yakni diperuntukkan
khusus bagi kalangan sendiri. Lalu bagaimana hubungan yang proporsional antara
keduanya ? Itu karena umat Islam selain hidup dalam dan dengan komunitasnya
sendiri, mereka juga hidup dengan komunitas lain dalam era kemajemukan
(pluralitas).
Pertanyaan-pertanyaan
dari Amin Abdullah di atas dinilai sebagai sebuah kegelisahan intelektual
paling awal sebelum memulai langkah konseptual untuk menggagas pendekatan baru
dalam ijtihad Muhammadiyah. Sebenarnya langkah menuju ke sana sudah dirintis
oleh beberapa kalangan kritis di Muhammadiyah, sebagai contoh terlontarkannya
tiga corak pendekatan dalam mengembangkan pemikiran Islam di Muhammadiyah,
yaitu pendekatan bayani, burhani dan irfani. Memang ketiga model pendekatan
tersebut bukan gagasan genuine dari dalam Muhammadiyah, tetapi terambil
dari konsep kritik nalar Arab al-Jabiri. Tetapi satu hal yang bebeda dengan
al-Jabiri yaitu penerapan ketiganya yang tidak terpisah-pisah melainkan sebagai
satu pola hubungan yang sirkuler. Amin Abdullah sendiri menamai teori tersebut
dengan at-Ta’wil al-Ilmi.
Akan tetapi
agaknya jalan ke arah metode baru ijtihad Muhammadiyah masih memerlukan
perjuangan panjang. Dalam munas Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam
beberapa waktu lalu di Padang, metode baru yang dirintis Amin Abdullah dkk.
agaknya mengalami hambatan, karena sebagian peserta masih enggan dengan metode
irfani menjadi salah satu metode atau pendekatan dalam berijtihad di
Muhammadiyah, sungguh sebuah kesenjangan intelektual yang perlu untuk segera
diretas.
Sebagai
perbandingan akan penulis sampaikan ringkasan metode dan pendekatan ijtihad
yang selama ini dipakai Muhammadiyah. Dalam Putusan Munas Tarjih XXIV majlis
Tarjih dan pengembanganm pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah dinyatakan
bahwa ijtihad adalah ‘Mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan
merumuskan ajaran Islam baik bidang hukum, aqidah, filsafat, tasawuf, maupun
disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu”.
Sedangkan metode
atau pendekatan yang dipakai dalam berijtihad, sesuai dengan keputusan Munas
Majlis Tarjih PP Muhammadiyah XXIV di Malang, disepakati sebagai berikut : a) bayani
(semantik), yaitu metode yang menggunakan pendekatan kebahasaan b) ta’lili
(rasionalistik), yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan
penalaran; c) istishlahi (filosofis), yaitu metode penetapan hukum yang
menggunakan pendekatan kemashlahatan.
Secara prinsip
apa yang menjadi prinsip ijtihad Muhammadiyah tidak jauh berbeda dengan apa
yang juga menjadi prinsip berijtihad Yusuf Qardlawi, masing-masing masih
memiliki keterikatan dengan ijtihad terdahulu, khususnya dilihat dari
metodenya. Hanya saja keduanya tidak mengikatkan diri pada madzab tertentu dan
terikat pada syarat-syarat mujtahid, sebagaimana telah dikemukakan oleh ulama
ushul fiqh. Pada sisi lain, keduanya menonjolkan aspek kemashlahatan umat atau maqashid
al-Syar’iyyah.
Dari paparan
metode atau pendekatan ijtidah dalam Muhammadiyah dapat dilihat begitu
kentalnya pendekatan qa’idah bayaniyyah-ushuliyyah yang bercorak
pertikular-eksklufif sehingga sulit untuk bisa mengatasi persoalan-persoalan
yang bersifat lintas agama dan keyakinan. Padahal persoalan-persoalan yang
bersifat lintas agama itu sangatlah mendesak untuk diselesaikan mengingat
banyaknya persoalan bangsa yang berbasis hubungan antar agama.
Kritik kedua
berkaitan mode ijtihad Muhammadiyah di atas adalah adanya asumsi bahwa sebagian
hasil ijtihad ulama masa lampau adalah sudah final (qath’iy). Padahal
pemikiran keagamaan bersifat open ended, terbuka, terus menerus dapat
diperdebatkan, dipertanyakan, dikoreksi dan diangun kembali. Para ahli
keislaman kontemporer mengatakan bahwa pemikiran keagamaan tidak boleh
disakralkan atau disucikan. Begitu ia disakralkan atau disucikan, tanpa
disadari ia berubah menjadi idiologi yang bersifat tertutup. Begitu ia
tertutup, akan sangat sulit berkomunikasi dan berdialog dengan bentuk
pemikiran-pemikiran sejawat yang lain.
Untuk itu perlu
pendekatan baru dalam melakukan ijtihad di Muhammadiyah. Jangan sampai kritikan
berbagai kalangan terhadap kelambanan pihak Islam dalam merespon persoalan
zaman, seperti ketidakmampuan organisasi-organisasi Islam dalam menangani nasib
TKI, diabaikan begitu saja. Sepertinya agama dipahami sebagai ajaran yang
mengurusi masalah keagamaan an sich (baca : masalah-masalah fiqih),
sedangkan masalah-masalah kemanusiaan dan kekinian (al-mu’ashir)
dianggap bukan tanggung jawab agama.
Pendekatan dan
metode baru ijtihad itu meliputi pemakaian alat-alat analisis yang tidak
semata-mata berasal dari ulum ad-din, seperti ulum al-Qur’an, ulum
al- Hadis maupun ushu al-fiqh, tetapi juga melibatkan ulum
al-ijtima’iyyah (ilmu-ilmu sosial dan humaniora) seperti sosiologi,
antropologi, sejarah, politik bahkan ulum al-lughawiyah al-mu’ashirah
(ilmu-ilmu bahasa kontemporer). Dengan itu diharapkan akan ada warna baru baik
dalam kerangka proses maupun hasil ijtihad. Disamping itu persoalan yang disentuh
dalam proyek ijtihad meliputi segala aspek kemodernan yang memang membutuhkan
jawaban-jawaban etis-normatif ajaran Islam. Ketidakpekaan agamawan dalam
menyoroti masalah kemanusiaan adalah bentuk lain dari pemberian legitimasi
terhadap pelanggaran kemanusiaan.
Jika agama
terlambat dalam menangani dan mengatasi masalah kemanusiaan, agama akan
mengalami dua masalah bersamaan15) : Pertama, agama akan manja dalam
kemapanannya. Agama akan selalu dianggap sebagai doktrin yang mapan dan tak
perlu melihat ke bawah. Agama akan selalu suci dalam kapasitasnya sebagai
wahyu, bukan seperangkat nilai yang semestinya menyapa kemanusiaan. Kedua
peran agama akan semakin sempit hanya pada masalah ritual belaka, yang kedua
ini menjadikan agama tidak berarti apa-apa dalam panggung sejarah manusia.
Untuk itu
Ijtihad dalam Muhammadiyah harus terkait dengan proyek untuk mendefinisikan
posisi agama dengan tanggungjawab kemanusiaannya. Agama harus keluar dari
persembunyaiannya di ruang privat yang sepi dan hening dan harus tampil keluar
di arena publik yang ramai dengan berbagai masalahnya.
C. SEBUAH CONTOH PERSOALAN
a. Muhammadiyah dan
pluralitas Agama
Berikut ini akan dipaparkan sebuah
persoalan yang secara real ada dalam panggung sejarah kehidupan di mana
Muhammadiyah melakukan aktifikas pergerakannya. Masalah pertama adalah
bagaimana sikap Muhammadiyah dalam merespon persoalan pluralisme agama di
Indonesia sedangkan masalah kedua adalah bagaimana Muhammadiyah berinteraksi
dengan budaya lokal.
A. N. Wilson
(1989)16), seorang jurnalis, dalam bukunya yang
sangat sinis terhadap agama, Agains Religion : Why The Should Try to Live
Without It (Melawan Agama : Mengapa Kita Harus Mencoba Hidup Tanpa Dia),
mengatakan bahwa agama adalah tragedi umat manusia. Ia mengajak yang paling
luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa manusia, namun hampir tidak ada
sebuah agama yang tidak ikut bertanggungjawab atas berbagai peperangan, tirani
dan penindasan peperangan. Marx menggambarkan agama sebagai candu rakyat,
tetapi agama jauh lebih berbahaya daripada candu. Agama mendorong orang untuk
menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri
atas perasaan dan pendapat orang lain. Untuk mengklaim bagi diri mereka sendiri
sebagai pemilik kebenaran.
Wilson dalam
buku tersebut menunjukkan dilema dalaam konflik-konflok antar agama, yang jika
diringkas, jika seseorang dalam sebuah agama konflik dengan orang lain yang
berbeda agama akan dianggap sebagai “sebuah tindakan kebenaran melawan
kedhaliman”. Sedang jika orang itu ada di agama lain yang dilawan itu, maka dia
akan mengganggap sebaliknya, agamanya sendiri sebagai yang benar, melawan agama
lawannya itu sebagai yang salah, yang dhalim. Tetapi jika seseorang berada di
luar dua agama yang sedang konflik itu, ia akan melihat keduanya da dalam
kesesatan, dan ia akan menganggap konflik yang sama-sama menggunakan klaim
kebenaran itu sebagai kenaifan, karena jelas keduanya salah.
Wilson
menggambaran bahwa agama yang ada dalam kenyataan itulah yang sering mewarnai
konflik-konflik antar agama sepanjang zaman hingga hingga dewasa ini. Seorang
beragama bisa mengatakan bahwa yang salah adalah yang beragama itu, yang tidak
mengerti arti agamanya itu. Tetapi Wilson menjawab, “Kalau agama itu yang
benar, namun tidak mampu mempengaruhi pemeluknya, lalu bagaimana membuktikan
kebenaran agama itu? Dan apa gunanya agama yang benar namun tidak bisa
mempengaruhi pemeluknya?”. Tentu hal itu menjadi sebuah pertanyaan retorik yang
menggugah kearifan jawaban dari seorang penganut agama.
Dari gugatan
Wilson di atas umat dapat merefleksikan apa yang bisa terjadi jika agama
menjadi tertutup dan penuh kemunafikan. Lalu mengklaim kebenaran sendiri dengan
mengirim ke neraka agama yang lain inilah yang menimbulkan problema yang studi
agama-agama sebagai “masalah klaim kebenaran” (the problem of truch claim).
Nurcholish
Madjid (1999)17), cendekiawan Muslim terkemuka Indonesia
menawarkan sebuah teologi alternatif yang dia namai teologi pluralistik. Dalam
defininisinya yang fundamental, teologi pluralistik adalah percaya bahwa
seluruh kepercayaan agama lain ada juga dalam agama kita (all religions are
the some different parths leading to some goal). Pada dasarnya semua agama
adalah sama (dan satu), walaupun mempunyai jalan yang berbeda-beda untuk suatu
tujuan yang sama dan satu. Dalam al-Qur’an, misalnya diilustrasikan bahwa semua
Nabi dan Rsul itu adalah Muslim (orang yang pasrah kepada Allah). Semua agama
para Nabi dan Rasul itu adalah Islam (berserah diri secara total kepada Allah).
Sementara Islam par exellence adalah bentuk terlembaga dari agama yang sama,
sehingga semua agama itu sebenarnya adalah satu dan sama. Perbedaannya hanyalah
dalam bentuk syariah. Dalam bahasa keagamaan inilah yang disebut “jalan”. Semua
agama adalah “jalan” kepada Tuhan. Di dalam al-Qur’an istilah jalan
diekspresikan dengan banyak kata, sesuai dengan maknanya yang memang plural,
adanya banyak jalan itulah yang dipakai al-Qur’an, seperti shirat, sabil,
syari’ah, thariqah, minhaj, mansak (jamaknya manasik) dan maslak
(jamaknya suluk).
Semua istilah
seorang-olah menggambarkan bahwa jalan dalam beragama kelihatan tidaklah satu,
tetapi banyak, dan sangat tergantung pada masing-masing pribadi yang mempunyai
idiom sendiri-sendiri mengenai bagaimana beragama. Tetapi sesungguhnya jalan
itu satu, tetapi jalurnya banyak. Inilah prinsip yang menggambarkan kesatuan
dalam keanekaragaman. Misalnya dalam al-Qur’an Surat al-Maidah/5:16, Allah
berfirman :
“Dengan itu Allah memberi petunjuk
kepada siapa saja yang mengikuti keridlaan-Nya menuju jalan kedamaian dan
keselamatan, dan mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, -dengan
izin-Nya dan menunjuki mereka jalan yang lurus.”
Dalam ayat
tersebut tidak dipakai kata sabilassalami tetapi dalam jamak (plural)
subulassslami (berbagai jalan). Sehingga kira-kira tafsirnya, “Mereka yang
sungguh-sungguh mencari jalan-Ku (ridla-Ku), pasti Kami akan tunjukkan berbagai
jalan-Ku.”
Di tengah
keragaman atau pluralitas keberagamaan pada masa kenabian Muhammad, tidaklah
menghalangi beliau untuk mengembangkan sikap-sikap toletansi antar pemeluk
agama atau kepercayaan yang berbeda. Bahkan, Muhammad pernah memberi suri
tauladan yang sangat inspiring dihadapan para pengikutnya. Sejarah
mencatat bahwa, Nabi pernah dikucilkan dan bahkan diusir dari tumpah darahnya
(Makkah). Beliau terpaksa hijrah ke Madinah untuk beberapa lama dan kemudian
kembali ke Makkah. Peristiwa itu dikenal dalam Islam dengan fathul Makkah.
Dalam peristiwa yang penuh kemenangan ini, Nabi tidak menggambil langkah balas
dendam kepada siapapun juga yang telah mengusirnya dahulu dari tanah kelahirannya.
“Antum Tulaqa (kamu sekalian bebas)”, Begitu ucapan Nabi kepada mereka.
Peristiwa itu
sangat memberi inspirasi dan memberi kesan yang mendalam terhadap penganut
agama Islam di mana pun mereka berada. Nabi telah memberi contoh kongkret dan
sekaligus contoh pemahaman dan penghayatan pluralisme keagamaan yang amat riel
dihadapan umatnya. Tanpa didahului polemik pergumulan filosofis-teologis, Nabi
tidak menuntut “truth claim” atas nama dirinya maupun atas nama agama
yang dianutnya. Dia mengambil sikap agree in disagreement (al-Qur’an s. al-Takatsur
: 1-8), dia tidak memaksakan agamanya untuk diterima oleh orang lain (al-Qur’an
s. al-Kafirun : 1-6).
Etika Islam,
sebagaiman telah disebut oleh George F. Hourani (1985), adalah sifat “Ethical
Voluntarism”, sebenarnya mengandung dimensi historisitas keteladanan (uswatun
hasanah) yang terpancar dari perilaku Nabi Muhammad SAW. Etika pemihakan terhadap
fundamental values kemanusiaan sangat dijunjung tinggi oleh penganut Islam.
Memihak kepada fundamental values, aturannya, berarti menepikan segala
macam sekat-sekat teologis yang selama ini telah terkristal dan terbentuk oleh
perjalanan hidup sejarah kemanusiaan itu sendiri dalam perspeksif Islam,
konsepsi etika keberagamaan, khususnya yang menyangkut hubungan antar umat
beragama, adalah bersifat sangat terbuka dan dialogis. Panggilan untuk mencari
titik temu (kalimatun sawa’) antar berbagai penganut ahli kitab adalah
tipikal model panggilan al-Qur’an.
Menciptakan
kondisi ideal untuk mencapai titik temu antar umat beragama adalah merupakan
kepentingan semua pihak dan tanggung jawab bersama. Beban itu sepenuhnya tidak
dapat dipikul oleh umat Islam atau Protestan atau oleh pihak-pihak umat
Katholik dan lain-lain secara sepihak. Hal demikian juga terjadi dalam sejarah
kehidupan Nabi terutama yang terkait langsung dengan deklarasi “konstitusi
Madinah” yang oleh Robert N. Bellah (1965) disebut sebagai deklarasi “modern”
yang muncul sebelum peradaban manusia yang benar-benar modern timbul.
Dalam perspektif
Islam, dasar-dasar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang pluralistik secara
religius, sejak semula, memang telah dibangun di atas landasan normativ dan
historis sekaligus. Jika ada hambatan atau anomali-anomali di sana sini,
penyebab utamanya bukan karena inti ajaran Islam itu sendiri yang bersifat
intoleran atau eksklusif, tetapi lebih banyak ditentukan dan dikondisikan oleh
situasi historis-ekonomis-politis yang melingkari komunitas umat Islam di
berbagai tempat. Kompetisi untuk menguasai sumber-sumber ekonomi, hegemoni
kekuasaan, jauh lebih mewarnai ketidak-mesraan hubungan antar pemeluk beragama
dan bukannya oleh kandungan ajaran etika agama itu.
Itu
sumbangan pemikiran yang perlu disampaikan kepada Muhammadiyah terkait dengan
realitas pluralistik yang seringkali menimbulkan konfik antar-agama yang sangat
akut adalah bagaimana menjadikan teologi pluralistik sebagai teologi baru (new
teology) agar klaim-klaim kebenaran dapat terhapus dalam cara pandang warga
Muhammadiyah. Dan tidak klah pentingnya adalah bagaimana Muhammadiyah sebagai
institusi gerakan gerakan Islam mampu berbuat banyak dalam mengatasi konflik
agama yang telah mengoyak persatuan dan persaudaraan bangsa.
Sedikitnya, ada
dua langkah yang bisa dilakukan dalam kerangka pencegahan dan penanganan
konflik antar agama. Satu, mengubah cara pandang umat terhadap agama
dari citra yang impersonal menuju citra yang personal. Dari sesuatu yang
simbolistik menjadi sesuatu yang substantif. Karena, memang, hal yang paling
esensial dari keberadaan suatu agama bukanlah penyelenggaraan ritus-ritus dan
upacara praksis keagamaan lainnya; melainkan bagaimana nilai-nilai keluhuran,
keadilan, kemanusiaan, rahmat dan kedamaian -yang notebene merupakan pesan
pokok turunnya agama itu sendiri-bisa teraplikasi dalam keseharian para
pemeluknya. Dalam wawasan agama Islam misalnya, Allâh Swt. Berfirman: “Dan
bukanlah kebajikan itu memasuki rumah-rumah [kabah] dari pintu belakangnya,
akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang-orang yang bertakwa ” (Qs.
2; 189).
Agama bukanlah
sekumpulan doktrin yang mati, statis, simbolis, ataupun utopis. Agama harus
benar-benar dipahami sebagai kesatuan nilai-nilai tersebut di atas yang amat
personal dan realistis. Sebab itulah penghayatan keagamaan yang baik bisa
dilihat dari amal perbuatan, moralitas, serta praktek kehidupan sosial setiap
umat.
Dua,
mengembangkan dialog antar umat beragama. Sejauh ini, wacana dialog antar agama
cenderung menjadi konsumsi kalangan elit umat beragama saja. Sementara pada
tingkatan grass root umat, wacana ini relatif asing. Padahal, potensi
konflik antar umat beragama justru menguat pada level akar rumput. Maka diperlukan
pengembangan wacana dialog antar agama dengan lebih intens lagi melibatkan
kalangan grass root umat.
Pada tahap awal,
dialog tersebut bisa berupa kajian masing-masing umat terhadap ajaran agamanya
tentang persaudaraan, kemanusiaan, interaksi antar umat beragama, dst. Karena
toh pada setiap agama itu terdapat nilai-nilai universal yang bisa menyatukan
persepsi setiap pemeluk agama yang berbeda akan hubungan sosial yang sehat dan
wajar. Dan pada tahapan berikutnya, umat dari agama yang berbeda tersebut bisa
mulai membicarakan permasalahan yang mereka hadapi secara bersama-sama, dalam
format “kita” semua berbicara tentang “kita”. Bukan lagi dalam format “kami”
berbicara tentang “kalian”.
b. Masalah Kearifan
Muhamadiyah Atas Budaya Lokal
Sebagai sebuah
kenyatan sejarah, begitu kata Kuntowijioyo, agama dan kebudayaan dapat saling
mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol
yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai
dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem
simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya
perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial)
dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat
partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang
sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak
akan mendapat tempat.
Islam yang hadir
di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau budaya Indonesia.
Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian
rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana
yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu
saja dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu
yuha), dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi
masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan
tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh
misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah di sana
menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru
alaina dan seterusnya.
Berbeda dengan
agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara begitu elastis. Baik itu
yang berhubungan dengan pengenalan simbol-simbol Islami (misalnya bentuk
bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan (untuk memahami nilai-nilai
Islam).
Dapat kita
lihat, masjid-masjid pertama yang dibangun di sini bentuknya menyerupai
arsitektur lokal-warisan dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih toleran
terhadap warna/corak budaya lokal. Tidak seperti, misalnya Budha yang masuk
“membawa stupa”, atau bangunan gereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat.
Dengan demikian, Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur
Tengah (Arab), tempat lahirnya agama Islam.
Demikian pula
untuk memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam kita dulu, memang lebih
luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat yang heterogen
setting nilai budayanya. Mungkin kita masih ingat para wali –yang di Jawa
dikenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka dapat dengan mudah memasukkan Islam
karena agama tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam
racikan dan kemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi “bingkisan”
yang dibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam.
Sunan Kalijaga
misalnya, ia banyak menciptakan kidung-kidung Jawa bernafaskan Islam, misalnya Ilir-ilir,
tandure wis semilir. Perimbangannya jelas menyangkut keefektifan memasukkan
nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat ruang gerak dakwah yang lebih
memadai. Meminjam pendapat Mohammad Sobary (1994: 32)24) dakwah Islam di Jawa masa lalu memang
lebih banyak ditekankan pada aspek esoteriknya, karena orang Jawa punya
kecenderungan memasukkan hal-hal ke dalam hati. Apa-apa urusan hati. Dan banyak
hal dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan budi. Islam di masa lalu
cenderung sufistik sifatnya.
Akan tetapi
Kaitannya dengan ketegangan kreatif antara dakwah Islam dengan budaya lokal,
Amin Abdullah dalam sebuah tulisan di Suara Muhammadiyah mengingatkan para
pelaku dakwah sekarang ini (muballigh/da’i) untuk pandai memilah-milah mana
yang substansi agama dan mana yang hanya sekadar budaya lokal. Metode dakwah
al-Qur’an yang sangat menekankan “hik-mah dan mau’idzah hasanah” adalah
tegas-tegas menekankan pentingnya “dialog intelektual”, “dialog budaya”,
“dialog sosial” yang sejuk dan ramah terhadap kultur dan struktur budaya
setempat. Hal demkian menuntut ‘kesabaran’ yang prima serta membutuhkan waktu
yang cukup lama, karena dakwah ujung-ujungnya adalah merubah kebiasaan cara
berfikir (habits of mind) masyarakat.
Lalu akhir-akhir
ini dapat melihat, misalnya, kelompok umat yang mempunyai orientasi keagamaan
Syiah juga menggunakan sumber daya budaya. Penulis tidak tahu apakah Haddad
Alwi itu mengikuti paham Syiah atau tidak, tapi kalau dilihat lagu-lagunya
(misalnya lagu ana madinatul ‘ilm, wa-aliyyu babuha) sungguh luar biasa.
Itu merupakan representasi dakwah Syiah yang memakai instrumen budaya dan
hasilnya sangat efektif.
Wujud dakwah
dalam Islam yang demikian tentunya tidak lepas dari latar belakang kebudayaan
itu sendiri. Untuk mengetahui latar belakang budaya, diperlukan sebuah teori
budaya. Menurut Kuntowijoyo dalam magnum opusnya Paradigma Islam:
Interpretasi untuk Aksi, sebuah teori budaya akan memberikan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan berikut: Pertama, apa struktur dari budaya. Kedua,
atas dasar apa struktur itu dibangun. Ketiga, bagaimana struktur itu
mengalami perubahan. Keempat, bagaimana menerangkan variasi dalam
budaya.
Persoalan
pertama dan kedua, akan memberikan penjelasan mengenai hubungan antar simbol
dan mendasarinya. Paradigma positivisme –pandangan Marx di antaranya– melihat
hubungan keduanya sebagai hubungan atas bawah yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi,
yakni modus produksi.
Berbeda dengan
pandangan Weber yang dalam metodologinya menggunakan verstehen atau
menyatu rasa. Dari sini dapat dipahami makna subyektif dari perbuatan-perbuatan
berdasarkan sudut pandang pelakunya. Realitas ialah realitas untuk pelakunya,
bukan pengamat. Hubungan kausal –fungsional dalam ilmu empiris-positif–
digantikan hubungan makna dalam memahami budaya. Sehingga dalam budaya tak akan
ditemui usaha merumuskan hukum-hukum (nomotetik), tapi hanya akan
melukiskan gejala (ideografik).
Dengan demikian,
mengikuti premis Weber di atas, dalam simbol-simbol budaya yang seharusnya
dipahami atau ditangkap esensinya adalah makna yang tersirat. Dari sini lalu
dapat dikatakan bahwa dalam satu makna (esensi), simbol boleh berbeda otoritas
asal makna masih sama.
Dari kerangka
berfikir di atas, dapat dipakai untuk menilai sekaligus memaknai fenomena
budaya yang ada di masyarakat yang selama ini dibid’ahkan oleh Muhammadiyah, ruwahan,
nyadran, sekaten tahlilan, selamatan, berjanjen, kholdan puji-pujian. Dalam
bahasa Kuntowijoyo inilah gejala gerakan kebudayaan baru Muhammadiyah yang
tanpa kebudayaan lama.
Semua tradisi
yang tersebut diatas, pada level penampakannya (appearence) adalah
simbo-simbol pengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga dapat
mengungkapkan makna ‘subyektif’ (kata ini mesti diartikan sejauhmana tingkat
religiusitas pemeluknya) dari pelakunya. Tindakan seperti ini ada yang menyebut
sebagai syahadat yang tidak diungkapkan, tetapi dijalankan dalam dimensi
transeden dan imanen.
Dengan kata lain
high tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika ingin
ditampakkan, perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition yang niscaya
merupakan hasil pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisi tahlilan
misalnya, high tradition yang diusung adalah taqarrub ilallah,
dan itu diapresiasikan dalam sebuah bentuk dzikir kolektif yang dalam tahlilan
kentara sekali warna tradisi jawaismenya. Lalu muncul simbol kebudayan bernama
tahlilan yang didalamnya melekat nilai ajaran Islam. Dan Kuntowijiyo
merekomendasikan kepada umat Islam untuk berkreasi lebih banyak dalam hal
demikian, karena akan lebih mendorong gairah masyarakat banyak menikmati
agamanya.
Hanya saja yanag
perlu dikoreksi adalah bahwa simbol-simbol (pengungkapan) tadi pada dasarnya
adalah kata benda. Sedangkan menurut logika berpikir, kata benda atau
simbol-simbol tadi yang sering diperdebatkan untuk kemungkinan disalahkan atau
dibenarkan. Perdebatan simbol itu akan menggiring kita untuk kemudian
memitoskan sesuatu.
Dengan kata
lain, yang bisa dibenarkan atau disalahkan adalah pernyataan yang menyertai
(kata benda tadi). Pendek kata, nyadran yang bagaimana? Ruwahan yang
bagaimana? Sebab ritus-ritus tersebut, sebagai suatu simbol (pengungkapan)
dapat direkayasa oleh pernyataan-pernyataan yang menyertainya. Nah, kita dapat
menilainya (benar atau salah) dari pernyataan itu, bukan simbolnya. Memang itu
tugas besar bagi pemikir maupun tokoh-tokoh Islam kita sekarang. Orang zaman
dahulu menciptakan simbol agar perasaan kita tajam. Namun apa yang terjadi
sekarang? Karena pengaruh pemikiran Barat (baca: positivisme) kita menangkap
semua itu dengan visi dan paradigma positivisme. Sehingga makna yang tersembul
dalam ritus-ritus itu dipahami dengan kacamata fiqih ansich. Artinya,
simbol-simbol budaya yang hanya menjelaskan gejala, sering dihakimi supaya
dapat menentukan hukum-hukum halal haram.
DAFTAR PUSTAKA
A.N. Wilson, Againt Religion, Why The
Should Try to Live Without It, London : Chattp and Windus,1986
Amin Abdullah, “Al-Ta’wil Al-‘Ilm :
Keraah Perubahan Paradigma Penafsran al-Qur’an”, dalam Journal of Islamic
Studies al-Jam’iah, Yogyakarta : State Institute of Islamic Studies (IAIN)
Sunan Kalijaga,2001
_____________Tauhid Sosial ke Tauhid Ke
Dakwah Kultural”, dalam Suara Muhammadiyah, No 24/TH.Ke-87//16-31
Desember 2002
_____________, “Manhaj Trajih dan
Pengembangan Pemikiran Keislaman” dalam Muhammad Azhar dan Hamim Ilyas, Pengembangan
Pemikiran Keislaman Muhammadiyah ; Purifikasi & Dinamisasi, Yogyakarta
LPPi UMY, 2000
_____________, Dinamika Islam
Kultural, Bandung : Mizan, 2000
_____________, Studi Agama :
Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid,
Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme
transendental, Bandung : Mizan, 2001
___________, Paradigma Islam,
Interpretasi untuk Aksi, Bandung : Mizan, 1990
___________, Pengantar Buku
Membendung Arus, Alwi Syihab, Bandung : Mizan.
Mammad Azar dan Hamim Ilyas, Pengembangan
Pemikiran Keislaman Muhammadiyah ; Purifikasi & Dinamisasi, Yogyakarta
LPPi UMY, 2000
Nurcholish Madjid, Islam Agama
Kemanusiaan : Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta : Paramadina,
1996
_______________, Islam Doktrin dan
Peradaban, Badung : Mizan, 2000.
PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, Hasil
Keputusan Munas Tarjih ke XXIV, Malang : Universitas Muhammadiyah Malang, 22-24
Syawal 1420 H.
Robert N. Bellah (ed)., Religion and
Progress in Modern Asia, New York : The Free Press, 1965.
Yusuf Qardlawi, al-Ijtihad
al-Mu’ashir Baina al-Indilbath wa al-Infirath, terj. Abu Bazani, Surabaya :
Risalah Gusti, 1995
(Tulisan Muhammad Amilan untuk DAM Sukoharjo)