Kritik Kuntowijoyo (Muslim Tanpa Masjid) bahwa
Muhammadiyah adalah gerakan budaya tanpa kebudayaan penting menjadi catatan
abad kedua nya.Ini terlihat saat Muhammadiyah sekadar meniru Kiai Dahlan tanpa
memahami gagasan dan etos gerakannya. Daya kreatif pembaruan bagi kemajuan dan
kesejahteraan umat terperangkap birokrasi organisasi, gurita pendidikan dan
rumah sakit sehingga terasing dari kehidupan rakyat. Hal serupa dihadapi bangsa
ini saat praktik pendidikan nasional menjadi ritual dan kehilangan etos budaya
kreatif.
Awalnya, gerakan ini sibuk memberdayakan fakir miskin
melalui pendidikan, kesehatan, dan aksi sosial. Seperti tesis Max Weber tentang
Etika Protestan dengan paradigma this worldly, aktivis gerakan ini memandang
kesalehan surgawi bisa dicapai dengan memajukan dan menyejahterakan rakyat
tertindas.
Tahun 1930-an lebih sebagai gerakan kelas menengah kota
ketika purifikasi dipahami sebagai pembersihan Islam dari tradisi bermuatan
virus TBC (takhayul, bidah, k(c)hurafat). Akibatnya, kian kehilangan nuansa
budaya dan terasing dari dinamika kehidupan mayoritas penduduk.
Citra antitradisi secara keras memberantas TBC seperti
Wahabi adalah episode generasi kedua sesudah Kiai Dahlan wafat Februari 1923.
Posisi Kiai sebagai abdi dalem keraton, yang saat itu menjadi pusat tradisi dan
ikon budaya rakyat, tidak mungkin melancarkan kritik dan memberantas tradisi
secara terbuka.
Posisi Kiai itu lebih jelas dalam
paparan GBPH Joyokusumo, adik Sultan Hamengku Buwono X pada Sidang Tanwir
’Aisyiyah 2002, tentang peran Hamengku Buwono VII dalam kelahiran Muhammadiyah.
Rajalah yang memberangkatkan Kiai naik haji, mengganti
nama Mohammad Darwis menjadi Ahmad Dahlan, mendorong Kiai terlibat dalam Budi
Utomo. Problem yang dihadapi generasi pendiri bukan tradisi lokal, tetapi
penolakan umat terhadap sistem pendidikan dan kesehatan modern, penerjemahan Al
Quran ke bahasa Melayu atau Jawa, pembagian zakat, fitrah, dan korban kepada
fakir miskin.
Tujuan didirikan Muhammadiyah: a. memajukan dan
menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam..., b. memajukan dan
menggembirakan cara kehidupan sepanjang kemauan agama Islam.... Kegiatannya
meliputi: a. mendirikan dan memeliharakan atau membantu sekolah yang diberi
pengajaran agama Islam, lain dari ilmu-ilmu yang biasa diajarkan di sekolah; b.
mengadakan perkumpulan sekutu-sekutunya dan orang-orang yang suka datang;
...dibicarakan perkara-perkara agama Islam; c. mendirikan dan memeliharakan
atau membantu tempat sembah yang..., yang dipakai melakukan agama buat orang
banyak; dan d. menerbitkan serta membantu terbitnya kitab-kitab... sebaran...
khotbah, surat kabar ...yang muat perkara ilmu agama Islam, ilmu ketertiban
cara Islam dan iktikad cara Islam... tetapi sekali-kali tiada boleh menyalahi
undang-undang Tanah di sini dan tiada boleh melanggar keamanan umum atau
ketertiban.
Masa itu anggotanya menjadi: anggota
biasa, kehormatan, dan donatur. Anggota biasa ialah semua orang Islam,
kehormatan ialah yang berjasa besar pada Muhammadiyah, donatur ialah siapa saja
tanpa memandang agama dan kebangsaan yang bersedia memberi bantuan.
Sasaran kegiatan Muhammadiyah masa
generasi pendiri ialah mengubah cara pandang umat tentang kehidupan duniawi
melalui pendidikan, dakwah, penerbitan, pendirian tempat ibadah, penerjemahan
Al Quran, penerbitan buku, pelatihan dan pendidikan guru desa dan guru
keliling, santunan kesehatan dan ekonomi bagi fakir-miskin. Zakat mal dan fitrah, korban dan infak dikelola secara modern bagi
peningkatan taraf hidup rakyat kebanyakan sehingga berkemajuan dan sejahtera.
Dengan sendirinya umat akan menanggalkan tradisi TBC diganti ilmu dan
teknologi.
Pengelolaan rumah sakit melibatkan dokter-dokter Nasrani
Belanda yang bekerja sukarela, sekolah dikelola secara modern guna meningkatkan
taraf hidup dan berperan dalam dunia modern. Umat mulai menyadari manfaat
bekerja sama dengan semua pihak tanpa melihat agama dan kebangsaan bagi
kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Citra gerakan berubah setelah Ahmad Dahlan
wafat saat orientasi budaya digeser orientasi legal-formal. TBC diberantas dan
bersamaan pembentukan lembaga tarjih tahun 1927. Nuansa budaya tergerus
regulasi birokratis berbagai praktik ibadah dan amalan sosial.
Orientasi budaya bisa dibaca dari naskah Tali Pengikat
Hidup Manusia, pidato Kiai dalam Kongres 1922 (Almanak Muhammadiyah 1923; lihat
The Humanity of Human Life dalam Charles Kurzman Modernist Islam: A
Sourcebook).
Bersediakah Muhammadiyah melakukan kritik budaya
mengaktualkan kembali peran kreatif ijtihad membela duafa? Saatnya menjawab
”untuk siapa gerakan ini bekerja, untuk anggota atau bangsa dan kemanusiaan?”
Dari sini Muhammadiyah bisa berperan bagi kemajuan
bangsa dan pemeliharaan martabat kemanusiaan universal. (http://www.bungsucikal.com)