Mahasiswa merupakan kaum
akademisi yang memiliki kapasitas yang besar dalam ilmu pengetahuan dan wawasan
yang sarat dengan teori-teori keilmuan yang kuat. Eksistensi mereka sangat diharapkan untuk mentransformasikan kondisi sosial dilingkungannya dengan bekal meminjam istilah Prof. Dr. Syahrin Harahap˗˗˗intelektual force dan moral force˗˗˗yang dimilikinya. Seiring
cepatnya perubahan dan perkembangan zaman yang mempengaruhi peradaban bangsa,
secara langsung berimplikasi pada paradigma mahasiswa pula, dan hal itu memberi
pengaruh pada cara mahasiswa dalam berfikir, bersikap maupun dalam bertindak.
Pada realitas-empiris dewasa
ini mahasiswa terkesan eksklusif-individualistis, sebab begitu banyak
problematika kehidupan dalam kondisi sosial saat ini, akan tetapi kaum intelektual
tersebut hanya berfikir bagaimana menyelesaikan studinya dengan nilai terbaik
dan memperoleh pekerjaan mapan sesuai yang mereka harapkan. Hal tersebut nampak
seperti sudah menjadi stigma yang melekat pada diri mereka, sebab menurut
pandangan masyarakat, mahasiswa saat ini tidak lagi berfikir untuk menyalurkan
ilmu-ilmu yang dimiliki (transfer of knowledge) dilingkungannya, mereka tak
lagi merefleksikan bagaimana mengentaskan problem kemiskinan di daerah mereka,
padahal khasanah keilmuan yang mereka miliki sangat diharapkan untuk menciptakan
masyarakat yang sejahtera, bebas dari penindasan dan ketidakadilan.
Apatisme mahasiswa dalam
menanggapi problematika sosial masyarakat yang memprihatinkan merupakan sikap
yang harus disingkirkan, sebab seyogyanya mereka dapat menjadi pilar perubahan bangsa
yang berdiri di garda terdepan dengan segala kemampuan yang dimilikinya.
Setiap orang menganggap bahwa mahasiswa yang ideal adalah mereka yang selain mempunyai
kecakapan akademis juga dapat melakukan manifestasi disertai dengan implementasi di kehidupan bermasyarakat.
Akan tetapi hal itu tidak mudah untuk kita temui pada tataran realitas-empiris dewasa
ini, jika ada itu merupakan kaum minoritas yang harus
dijaga kelestariannya, karena untuk menciptakan generasi yang memiliki nilai-nilai
akademik dan dan entitas pengabdian yang
baik seperti itu tidaklah semudah mambalikkan telapak tangan.
Menciptakan generasi yang
punya kepekaan sosial tinggi, apalagi menciptakan generasi ideal, yaitu
generasi yang unggul pada aspek akademik dan tidak melupakan tugasnya sebagai agent
of change tidaklah mudah, sebab harus dibangun dengan formulasi dan langkah
yang tepat. Meskipun begitu, bukan berarti menutup kemungkinan untuk melahirkan
kaum intelektual yang ideal seperti itu, walaupun memang harus ditempuh dengan
cara yang sulit. Paling tidak para mahasiswa yang mempunyai kesadaran dapat
menyalurkan keilmuannya dan dapat berbagi dengan masyarakat yang membutuhkan sumbangsih mereka.
Para mahasiswa harus diberikan pemahaman
tentang hal ini, bukan berarti digiring dengan tidak memberi kebebasan berfikir
dan berkreatifitas kepada mereka, akan tetapi agen perubahan ini harus dituntun
dengan cara-cara yang baik dan benar.
Dalam langkah awal,
mahasiswa harus diarahkan pada paradigma yang tepat. Momentum itu ada pada awal mula
para calon-calon intelektual menginjakkan kakinya di universitas, di saat pemikiran dan niat
yang dimilikinya belum terkontaminasi dengan hal-hal yang membawa mereka kepada
tindakan yang bersifat individualistis dan apatis terhadap segala
problematika yang terjadi dilingkungannya. Kemudian, para akademisi ini perlu dibekali teori-teori analisis sosial,
teknik advokasi, dan segala pengetahuan yang nantinya dibutuhkan untuk mengarahkan
gerak praksis mereka di lingkungan masyarakat, baik masyarakat kampus (civitas
akademika) ataupun masyarakat secara luas. Pembekalan semacam ini sudah barang
tentu menjadi prasyarat bagi mahasiswa untuk segala aktifitas sosial, sehingga
mereka tidak lagi mengalami dis-orientasi dalam menentukan langkah, baik secara
konseptual-teoritis maupun secara praksis. Dan yang tidak kalah penting, dengan
adanya penguatan dan pembekalan hal-hal yang bersifat fundamental semacam ini,
analisis sosial mereka pun lebih tajam, dan selanjutnnya gerakan sosial ini
bisa dirancang-bangun secara terprogram-terencana, dan komprehensif sesuai
kebutuhan masyarakat, dalam hal ini adalah kebutuhan masyarakat tertindas,
tersisih dan terpinggirkan/ termarginalkan.
Paradigma
intelektual transformatif seperti itu memang harus segera diinternalisasikan
dalam benak mahasiswa. Sebab mahasiswa yang menyandang predikat sebagai kaum
intelelektual tentunya tidaklah cukup hanya dituntut memperkaya wawasan dan memperkuat
bangunan ilmu pengetahuan untuk kebutuhan mereka sendiri. Memang betul tugas
utama mereka di jenjang universitas adalah untuk mencari ilmu
sebanyak-banyaknya, tetapi apakah tugas kaum intelektual cukup sampai di situ?
Kaum
intelektual adalah sosok yang reflektif dan mencerahkan, tidak hanya sebatas dalam
intelektual enrichment tetapi juga intelektual enlightment. Maka
konsekuensi logisnya, kaum intelektual dituntut dapat memberikan pencerahan
bagi orang-orang di sekitarnya dengan khasanah-khasanah keilmuan yang mereka
miliki. Senada dengan yang dikatakan Antonio Gramsci dalam bukunya “The Prison
Notebook: Selections”, bahwa semua orang boleh mengaku dirinya intelektual.
Akan tetapi belum tentu semua orang memiliki fungsi intelektual. Adapun orang
yang dikategorikan mempunyai fungsi intelektual, pertama adalah
“intelektual tradisional”; yaitu sosok intelektual yang selalu menebarkan
ide-ide, gagasan-gagasan, dan wawasan-wawasan yang dia miliki, sebagai contoh :
guru, da’i, dan sebagainya. Kedua, “intelektual organik” atau lebih
popular disebut dengan istilah “intelektual profetik” atau “intelektual
transformatif”, yakni merupakan sosok intelektual yang selalu peka terhadap
problematika sosial yang ada, dan sebisa mungkin mentransformasikan kondisi
sosial ke arah yang ke arah yang lebih baik.
Untuk
itu, mahasiswa sebagai kaum intelektual muda dituntut untuk peka dan berusaha
mengentaskan masyarakat dari bencana kemiskinan, ketertindasan, ketidakadilan, krisis
kemanusiaan, tuna moral, tuna sosial, tuna intelektual, dan sederet
permasalahan lainnya. (M. Lukman Hakim)